Setiap konflik bersenjata pastilah sangat merugikan bagi
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Materi, energi dan setiap sumber daya
akan dikerahkan oleh pihak-pihak yang terlibat supaya bisa memenangkan konflik
tersebut. Hingga pada akhirnya, banyak konflik-konflik yang terjadi merugikan
warga sipil yang sama sekali tak mempunyai kepentingan dalam konflik tersebut,
terlebih lagi bagi mereka yang tergolong anak-anak.
Makrim Wibisono (2006)
menyebutkan bahwa 90 persen dari korban perang adalah warga sipil. Ia
menuliskan dalam esainya yang dimuat dalam buku Tantangan Diplomasi
Multilateral, bahwa yang menjadi kekhawatiran masyarakat internasional ialah
partisipasi anak-anak di dalam konflik bersenjata sebagai tentara aktif. Banyak
terjadi di dalam konflik bersenjata anak-anak dipaksa dan dibujuk untuk menjadi
prajurit.
Dalam
setiap peperangan anak-anak terus menjadi korban yang paling berat. Mereka
terus-menerus menjadi golongan yang paling terluka dalam setiap peperangan. Baik
itu disebabkan karena kehilangan keluarga, maupun kehilangan hak-haknya sebagai
manusia, terlebih lagi hak mereka sebagai anak. Meskipun mendapatkan pendidikan
adalah hak setiap manusia yang tertuang di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia dan Konvensi Hak Anak, namun dalam faktanya 69 juta anak tak
mendapatkan hal tersebut.
Terlebih lagi mereka yang berada di dalam situasi konflik
bersenjata. War Child, sebuah lembaga amal yang berbasis di London
memperkirakan ada sekitar 40 juta anak-anak di seluruh dunia tidak bisa
bersekolah karena konflik. War Child juga memaparkan bahwa banyak di antara
anak-anak tersebut yang tak bisa bersekolah dalam situasi konflik disebabkan
karena sekolah-sekolah mereka yang terancam oleh konflik tersebut, guru-guru
mereka yang terbunuh, meninggalkan daerah tersebut maupun dipaksa untuk
bergabung dalam peperangan, wabah penyakit yang menghalangi mereka untuk bisa
hadir di sekolah. Munculnya wabah penyakit ini disebabkan oleh ketiadaan
pelayanan kesehatan karena konflik yang terjadi. Penyebab lainnya adalah mereka
terpaksa untuk meninggalkan tempat tinggalnya ke kemp-kemp pengungsian, yang mana biasanya tak ada lembaga pendidikan di sana, dan masih banyak lagi
penyebab-penyebab lain.
Di
Syria, sebanyak 3.900 sekolah telah hancur dan beralih fungsi bukan untuk
tujuan pendidikan. Hal tersebut disebabkan oleh konflik yang terjadi di sana
yang dimulai sejak 2011 hingga saat ini. Di Republik Demokratik Kongo,
pemberontak M23 bertanggung jawab akan beralihfungsinya 250 sekolah di sana
untuk kepentingan militer.
Di Republik Afrika Tengah, lebih dari setengah
sekolah yang berdiri di sana ditutup. Hal ini terjadi karena pemberontak Seleka
berhasil mengambil kendali negara itu pada April 2013 (The Guardian,
11/07/2013).
Sedangkan menurut Humanium, sebuah NGO yang berdedikasi pada
penghentian pelanggaran hak terhadap anak mengungkapkan bahwa anak-anak di
Palestina begitu sulit dalam mengakses pendidikan. Mereka yang berstatus
sebagai pengungsi dan tinggal di kemp-kemp pengungsian atau pedesaan tidak
memiliki sekolah.
Perjuangan Pendidikan Anak Palestina
Menurut UNICEF, lebih dari 2.500 anak di dalam komunitas yang
teredukasi di Palestina harus melewati sedikitnya sebuah checkpoint/pos
pemeriksaan per hari untuk bisa pergi ke sekolah. Situasi tersebut membuat
anak-anak lebih memilih tak bersekolah. UNICEF juga melaporkan bahwa di Gaza, pasca
Operasi Cast Lead di tahun 2012, banyak sekolah yang hancur hingga
menyebabkan sebanyak 123.000 anak-anak di sana tak bisa melanjutkan sekolahnya.
Persentase Dana Bantuan Kecil
Meskipun
dampak konflik terhadap pendidikan anak-anak begitu besar, namun sayang
saat ini banyak bantuan kemanusiaan yang mengakomodasi bidang pendidikan persentasenya
begitu kecil. Di tahun 2011, pendidikan hanya memperoleh porsi 2 persen dari
keseluruhan bantuan kemanusiaan. Angka yang begitu kecil tersebut menunjukan
bahwa pendidikan masih dianggap tidak terlalu penting dalam setiap bantuan
kemanusiaan yang diberikan dalam sebuah konflik, padahal kita tahu pendidikan
anak-anak merupakan aset utama pembangunan sebuah bangsa.
Dibutuhkan
langkah yang serius oleh komunitas internasional untuk menghentikan hal tersebut
terus terjadi dalam setiap konflik bersenjata. Perlu upaya-upaya serius dari
berbagai macam elemen komunitas internasional untuk segera menghentikan
pelanggaran terhadap hak anak tersebut.
Anak-anak merupakan aset bagi
keberlangsungan sebuah peradaban. Di tangan merekalah sebuah peradaban ditentukan.
Jika dalam faktanya banyak anak-anak yang tak terdidik maka patut dipertanyakan
bagaimana nasib peradaban manusia selanjutnya, apakah kita akan kembali
mengulang sejarah untuk saling berperang satu sama lain karena anak-anak yang
mengemban peradaban tak dididik dengan sejarah.
Suara-suara
seperti ini telah dilontarkan Save the Children, sebuah NGO yang bergerak
dalam perlindungan hak-hak anak. NGO ini mendesak para pemimpin dunia untuk
melindungi pendidikan dari serangan-serangan yang dilancarkan pihak yang
terlibat perang, melarang penggunaan sekolah oleh kelompok bersenjata, dan
bekerja sama dengan berbagai elemen untuk menjadikan sekolah sebagai pusat
pembelajaran anak-anak di daerah konflik.
Tabah Porsi untuk Pendidikan
Mereka juga mendesak supaya setiap
bantuan kemanusiaan yang diberikan, minimal 4 persen dari total bantuan
tersebut diarahkan pada perbaikan pendidikan. Penulis setuju akan suara yang
di gaungkan oleh Save the Children mengingat pentingnya pendidikan sebagai
penopang peradaban ini. Terakhir, penulis akan mengutip sebuah petuah dari
tokoh yang telah melakukan perubahan dalam dunia ini ke arah yang lebih baik.
Ia adalah Nelson Mandela, ia mengatakan:
“Education is the greatest weapon with which we can change the world”.
Ya, pendidikan adalah senjata utama
bagi kita, terutama anak-anak, yang dengannya kita bisa menjadikan dunia ini
tempat yang lebih baik bagi anak cucu kita kelak.