Grenthink Views

Menggugat Penerapan Doktrin American Exceptionalism: Studi Kasus Agresi Amerika Serikat terhadap Libya 2011

Ilustrasi: Pixabay.com

Oleh Yopi Makdori

Amerika Serikat merupakan bangsa yang besar, baik dari segi jumlah penduduk, wilayah maupun kapabilitas militer dan perekonomiannya. Kekuatan militer Amerika Serikat (AS) diakui oleh dunia internasional, meskipun pemerintah AS telah memotong anggaran militernya, namun demikian, tetap saja negara ini memiliki budget militer tertinggi di dunia. menurut Global Firepower (GFP), sebuah lembaga think tank yang memantau kekuatan tradisional negara-negara di seluruh dunia, menyebutkan bahwa AS menempati urutan pertama dalam kekuatan militer dunia dengan anggaran militer mencapai USD 581 miliar dan jumlah tentara sebesar 1,4 juta jiwa membuat negara ini pantas untuk mengukuhkan dirinya sebagai negara dengan militer terkuat di dunia (GFP, 2016).

Doktrin American Exceptionalism begitu berperan dalam hal kuatnya kapabilitas traditional power seperti yang telah disebutkan di atas. Frasa American Exceptionalism  tak begitu jelas asal usulnya, seorang sosiolog Prancis bernama Alexis de Tocqueville, meneliti negara AS di tahun 1830-an. Ia mengatakan bahwa masyarakat Amerika (AS) begitu istimewa dalam menghargai suatu pencapaian (thenation.com, 24/10/2014). American Exceptionalism erat kaitannya dengan ide Manifest of Destiny, sebuah term yang digunakan oleh Jacksonian Democrats di tahun 1840-an untuk mempromosikan aneksasi wilayah-wilayah seperti Oregon, Texas dan daerah yang dulu dikuasai oleh Meksiko. Pada awalnya Manifest of Destiny sendiri melihat bahwa harus ada upaya untuk menyebarkan konsep kebebasan dan demokrasi di 13 negara bagian AS namun, seiring berjalannya waktu Manifest Of Destiny diharapkan bisa menyebarkan nilai kebebasan dan demokrasi di seluruh tempat di mana manusia hidup di dalamnya (Ross, 1991: xiv). Doktrin American Exceptionalism menganggap bahwa Amerika Serikat berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia, karena kredo nasional, evolusi sejarah dan institusi politik dan agama yang khusus. Perbedaan tersebut mengekspresikan bahwa rakyat Amerika lebih superior dibanding dengan rakyat dari bangsa lain (New World Encyclopedia). Oleh karena bangsa Amerika berbeda dengan bangsa lain maka mereka beranggapan bahwa mereka telah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menyebarkan prinsip-prinsip American Exceptionalism, yakini kebebasan, hak asasi manusia, dan kebebasan seseorang untuk mengatur dirinya sendiri.

Secara teoritis doktrin American Exceptionalism ini memang terkesan ideal dan bagus, namun dalam tataran praktek atau pengaplikasian doktrin tersebut oleh AS justru sangat jauh dari prinsip-prinsip yang menjadi dasar American Exceptionalism itu sendiri. Bagi bangsa AS yang percaya akan doktrin tersebut menganggap bahwa negaranya harus berperan secara aktif dalam proses demokratisasi di negara-negara yang belum demokratis. Menurut rakyat AS yang percaya akan hal tersebut menganggap banhwa konsep demokrasi, HAM, kapitalsme dan lain sebagainya merupakan konsep yang final sebagai sarana untuk mensejahterakan manusia. Oleh karena itu, menurut mereka bangsa AS ditakdirkan oleh Tuhan untuk mengemban misi penyebaran konsep-konsep tersebut.

Sejak kemenangan AS dalam Perang Dunia II, bangsa tersebut semakin agresif untuk menyebarkan prinsip-prinsip dasar American Exceptionalism ke seluruh dunia, terbukti dengan banyaknya operasi militer yang telah AS lakukan di teritorial negara lain. Banyak alasan yang melegitimasi tindakan mereka, seperti kalangan solidaris. Kaum solidaris menekankan pentingnya individu sebagai anggota kepentingan masyarakat internasional. Hak asasi manusia didahulukan melebihi hak negara yang berdaulat. Pada pandangan ini, melegitimasi suatu negara untuk melakukan intervensi jika dianggap perlu untuk mengurangi hal-hal ekstrim dari penderitaan manusia di suatu negara (Jacksion & Sorensen, 2012: 238). Kaum solidaris beasumsi bahwa terdapat kewajiban bagi negara yang kuat untuk melindungi dan menegakkan HAM meskipun itu di wilayah teritori negara lain.

Negara-negara yang memiliki persepsi solidaris akan melakukan intervensi kemanusian ke negara-negara konflik dengan berlandaskan perlindungan HAM atau humanitarian intervation. Humanitarian intervation secara umum didefinisikan sebagai langkah koersif yang dilakukan oleh suatu negara dengan melibatkan tentara bersenjata di terotori nagara laian tanpa izin pemerintah negara tersebut, dengan atau tanpa otoritas United Nations Security Concil (UNSC), untuk mencegah atau menekan negara yang melakukan pelanggaran terhadap HAM atau hukum humaitarian internasional (Kak, tanpa tahun: 2). Keyakinan solidaris ini merupakan anak turunan dari keyakinan bangsa Amerika tentang American Exceptionalism-nya. Seperti yang telah termaktub di atas tulisan ini bahwa bangsa Amerika merupakan bangsa yang “exception” atau berbeda, berbeda dalam hal ini ialah mereka berpandangan bahwa mereka lebih superior dibanding bangsa-bangsa lain. Karena mereka superior dan dan memiliki kekuatn yang besar maka mereka beranggapan mempunyai kewajiban untuk menegakan kedailan, HAM dan demokrasi di seluruh dunia. Salah satu caranya dengan humanitarian intervation, seperti yang telah dijabarkan di atas.

Salah satu langkah nyata AS menerapkan american exceptionalism-nya ialah saat negara tersebut menyerang pemerintahan Muhammar Qaddafi di Libya pada Maret 2011. AS tidak sendirian melakukan intervensi kemanusiaan terhadap Libya, negara tersebut dibantu oleh koalisnya, yaitu negara-negara yang tergabung kedalam aliansi North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan juga negara koalisi AS di Timur Tengah. Intervensi tersebut mengatasnamakan intervensi kemanusiaan untuk melindungi warga sipil Libya dari serangan pasukan loyalis Mohammar Qaddafi. Pada awalnya intervensi ini dimulai dengan menerapkan zona larangan terbang (non fly zone) di atas wilayah Libya dan blokade bantuan militer oleh negara-negara koalisi, Belgia, Kanada, Denmark, Prancis, Italia, Norwegia, Qatar, Spanyol, Inggris dan Amerika Serikat (CNN, 21/03/2011). Intervensi militer dengan dukungan penuh negara-negara Barat tersebut berakhir tatkala pemimpin Libya, Muhammar Qaddafi berhasil ditangkap oleh kelompok oposisi di kota kelahirannya, Sirte pada Oktober 2011.

 Aksi AS dan sekutu-sekutunya di wilayah teritori Libya tersebut merupakan aksi semenah-menah, terbukti dengan banyaknya jiwa yang terbunuh dan kerusakan yang ditimbulkannya. Seharusnya jika AS ingin menyelesaikan perang di Libya yang pertama dan utama perlu mereka lakukan ialah melalui jalur diplomasi, bukan malah dengan jalan koersif, karena sangat banyak kerugian yang ditimbulkan dari aksi tersebut. pada awalnya american exceptionalism mungkin bertujuan baik dengan menyebarkan nilai-nilai demokrasi, namun perlu di ingat bahwa demokrasi merupakan produk yang lahir dari peradaban Eropa yang secara karakteristik jauh berbeda dengan peradaban di belahan dunia lain. Bagi penulis, american exceptionalism menolak keberagaman nila dan prinsip dari peradaban lain. Bagi rakyat AS yang menjunjung doktrin american exceptionalsm, menganggap bahwa prinsip-prinsip demokrasi merupakan prinsip yang final atau universal bagi umat manusia di seluruh dunia. Padahal dalam kenyataannya prinsip tersebut banyak menemui ketidakcocokkan di peradaban-peradaban lain. 

Selain pemaksaan prinsip terhadap bangsa lain, AS dengan american exceptionalism-nya juga keliru dalam cara mereka menegakkan prinsip-prinsip demokrasi di Libya, pasalnya penggunaan kekuatan koersif dalam menegakkan sebuah nilai demokrasi hanya akan berujung pada hilangnya prinsip demokrasi itu sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

About Yopi Makdori

Diberdayakan oleh Blogger.