Ilustrasi: Pixabay.com
Oleh Yopi Makdori
Amerika
Serikat merupakan bangsa yang besar, baik dari segi jumlah penduduk, wilayah maupun kapabilitas militer dan perekonomiannya. Kekuatan militer Amerika Serikat
(AS) diakui oleh dunia internasional, meskipun pemerintah AS telah memotong
anggaran militernya, namun demikian, tetap saja negara ini memiliki budget
militer tertinggi di dunia. menurut Global Firepower (GFP), sebuah lembaga think
tank yang memantau kekuatan tradisional negara-negara di seluruh dunia,
menyebutkan bahwa AS menempati urutan pertama dalam kekuatan militer dunia
dengan anggaran militer mencapai USD 581 miliar dan jumlah tentara sebesar 1,4
juta jiwa membuat negara ini pantas untuk mengukuhkan dirinya sebagai negara
dengan militer terkuat di dunia (GFP, 2016).
Doktrin
American Exceptionalism begitu berperan dalam hal kuatnya kapabilitas traditional
power seperti yang telah disebutkan di atas. Frasa American Exceptionalism tak begitu jelas asal usulnya, seorang
sosiolog Prancis bernama Alexis de Tocqueville, meneliti negara AS di tahun
1830-an. Ia mengatakan bahwa masyarakat Amerika (AS) begitu istimewa dalam
menghargai suatu pencapaian (thenation.com, 24/10/2014). American
Exceptionalism erat kaitannya dengan ide Manifest of Destiny, sebuah term
yang digunakan oleh Jacksonian Democrats di tahun 1840-an untuk mempromosikan
aneksasi wilayah-wilayah seperti Oregon, Texas dan daerah yang dulu dikuasai oleh
Meksiko. Pada awalnya Manifest of Destiny sendiri melihat bahwa harus ada upaya
untuk menyebarkan konsep kebebasan dan demokrasi di 13 negara bagian AS namun,
seiring berjalannya waktu Manifest Of Destiny diharapkan bisa menyebarkan nilai
kebebasan dan demokrasi di seluruh tempat di mana manusia hidup di dalamnya
(Ross, 1991: xiv). Doktrin American Exceptionalism menganggap bahwa Amerika
Serikat berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia, karena kredo nasional,
evolusi sejarah dan institusi politik dan agama yang khusus. Perbedaan tersebut
mengekspresikan bahwa rakyat Amerika lebih superior dibanding dengan rakyat
dari bangsa lain (New World Encyclopedia). Oleh karena bangsa Amerika berbeda
dengan bangsa lain maka mereka beranggapan bahwa mereka telah ditakdirkan oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menyebarkan prinsip-prinsip American Exceptionalism,
yakini kebebasan, hak asasi manusia, dan kebebasan seseorang untuk mengatur
dirinya sendiri.
Secara
teoritis doktrin American Exceptionalism ini memang terkesan ideal dan bagus,
namun dalam tataran praktek atau pengaplikasian doktrin tersebut oleh AS justru
sangat jauh dari prinsip-prinsip yang menjadi dasar American Exceptionalism itu
sendiri. Bagi bangsa AS yang percaya akan doktrin tersebut menganggap bahwa
negaranya harus berperan secara aktif dalam proses demokratisasi di
negara-negara yang belum demokratis. Menurut rakyat AS yang percaya akan hal
tersebut menganggap banhwa konsep demokrasi, HAM, kapitalsme dan lain
sebagainya merupakan konsep yang final sebagai sarana untuk mensejahterakan
manusia. Oleh karena itu, menurut mereka bangsa AS ditakdirkan oleh Tuhan untuk
mengemban misi penyebaran konsep-konsep tersebut.
Sejak
kemenangan AS dalam Perang Dunia II, bangsa tersebut semakin agresif untuk
menyebarkan prinsip-prinsip dasar American Exceptionalism ke seluruh dunia,
terbukti dengan banyaknya operasi militer yang telah AS lakukan di teritorial negara lain. Banyak alasan yang melegitimasi tindakan mereka, seperti kalangan
solidaris. Kaum solidaris menekankan pentingnya individu sebagai anggota
kepentingan masyarakat internasional. Hak asasi manusia didahulukan melebihi
hak negara yang berdaulat. Pada pandangan ini, melegitimasi suatu negara untuk
melakukan intervensi jika dianggap perlu untuk mengurangi hal-hal ekstrim dari
penderitaan manusia di suatu negara (Jacksion & Sorensen, 2012: 238). Kaum
solidaris beasumsi bahwa terdapat kewajiban bagi negara yang kuat untuk
melindungi dan menegakkan HAM meskipun itu di wilayah teritori negara lain.
Negara-negara
yang memiliki persepsi solidaris akan melakukan intervensi kemanusian ke
negara-negara konflik dengan berlandaskan perlindungan HAM atau humanitarian
intervation. Humanitarian intervation secara umum didefinisikan sebagai
langkah koersif yang dilakukan oleh suatu negara dengan melibatkan tentara
bersenjata di terotori nagara laian tanpa izin pemerintah negara tersebut,
dengan atau tanpa otoritas United Nations Security Concil (UNSC), untuk
mencegah atau menekan negara yang melakukan pelanggaran terhadap HAM atau hukum
humaitarian internasional (Kak, tanpa tahun: 2). Keyakinan solidaris ini
merupakan anak turunan dari keyakinan bangsa Amerika tentang American
Exceptionalism-nya. Seperti yang telah termaktub di atas tulisan ini bahwa
bangsa Amerika merupakan bangsa yang “exception” atau berbeda, berbeda
dalam hal ini ialah mereka berpandangan bahwa mereka lebih superior dibanding
bangsa-bangsa lain. Karena mereka superior dan dan memiliki kekuatn yang besar
maka mereka beranggapan mempunyai kewajiban untuk menegakan kedailan, HAM dan
demokrasi di seluruh dunia. Salah satu caranya dengan humanitarian intervation,
seperti yang telah dijabarkan di atas.
Salah satu langkah nyata AS
menerapkan american exceptionalism-nya ialah saat negara tersebut menyerang
pemerintahan Muhammar Qaddafi di Libya pada Maret 2011. AS tidak sendirian
melakukan intervensi kemanusiaan terhadap Libya, negara tersebut dibantu oleh
koalisnya, yaitu negara-negara yang tergabung kedalam aliansi North Atlantic
Treaty Organization (NATO) dan juga negara koalisi AS di Timur Tengah.
Intervensi tersebut mengatasnamakan intervensi kemanusiaan untuk melindungi
warga sipil Libya dari serangan pasukan loyalis Mohammar Qaddafi. Pada awalnya
intervensi ini dimulai dengan menerapkan zona larangan terbang (non fly zone)
di atas wilayah Libya dan blokade bantuan militer oleh negara-negara koalisi, Belgia,
Kanada, Denmark, Prancis, Italia, Norwegia, Qatar, Spanyol, Inggris dan Amerika
Serikat (CNN, 21/03/2011). Intervensi militer dengan dukungan penuh
negara-negara Barat tersebut berakhir tatkala pemimpin Libya, Muhammar Qaddafi
berhasil ditangkap oleh kelompok oposisi di kota kelahirannya, Sirte pada Oktober
2011.
Aksi
AS dan sekutu-sekutunya di wilayah teritori Libya tersebut merupakan aksi
semenah-menah, terbukti dengan banyaknya jiwa yang terbunuh dan kerusakan yang
ditimbulkannya. Seharusnya jika AS ingin menyelesaikan perang di Libya yang
pertama dan utama perlu mereka lakukan ialah melalui jalur diplomasi, bukan
malah dengan jalan koersif, karena sangat banyak kerugian yang ditimbulkan dari
aksi tersebut. pada awalnya american exceptionalism mungkin bertujuan baik
dengan menyebarkan nilai-nilai demokrasi, namun perlu di ingat bahwa demokrasi
merupakan produk yang lahir dari peradaban Eropa yang secara karakteristik jauh
berbeda dengan peradaban di belahan dunia lain. Bagi penulis, american exceptionalism
menolak keberagaman nila dan prinsip dari peradaban lain. Bagi rakyat AS yang
menjunjung doktrin american exceptionalsm, menganggap bahwa prinsip-prinsip
demokrasi merupakan prinsip yang final atau universal bagi umat manusia di
seluruh dunia. Padahal dalam kenyataannya prinsip tersebut banyak menemui
ketidakcocokkan di peradaban-peradaban lain.
Selain pemaksaan prinsip terhadap
bangsa lain, AS dengan american exceptionalism-nya juga keliru dalam cara
mereka menegakkan prinsip-prinsip demokrasi di Libya, pasalnya penggunaan
kekuatan koersif dalam menegakkan sebuah nilai demokrasi hanya akan berujung
pada hilangnya prinsip demokrasi itu sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan.