Grenthink Views

Menggenjot Pengembangan Sains dan Teknologi untuk Meningkatkan Production Power sebagai Upaya Menciptakan Sustainable Welfare Bangsa Indonesia



Ilustrasi:Pxfuel.com

Oleh Yopi Makdori


Pentingnya Sains dan Teknologi

Sains sebagai proses ilmiah dimulai ketika mengamati sesuatu. Pengamatan tersebut disebabkan oleh adanya kontak manusia dengan dunia empiris yang menimbulkan berbagai macam permasalahan. Jadi proses kegiatan berpikir manusia dimulai ketika manusia menemukan masalah dan karena masalah ini berasal dari dunia empiris maka proses berpikir tersebut diarahkan pada pengamatan objek yang bersangkutan dengan dunia empiris (Calder, 1995: 37). 

Setiap peradaban besar di dunia ini dibangun dengan fondasi ilmu pengetahuan. Tak dimungkiri bahwasanya peradaban-peradaban besar di masa lalu memiliki penguasaan ilmu pengetahuan yang begitu tinggi. Sejarah peradaban manusia merupakan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri. Peradaban-peradaban besar yang pernah terekam oleh sejarah merupakan buah karya dari pengetahuan, peradaban Mesir, Mesopotamia, Babilonia, Persia, Roma, Byzantium dan Islam bisa besar pada zamannya karena mereka menguasai ilmu pengetahuan.

Romantisme Jejak Islam

Peradaban Islam misalnya, tak bisa ditampikkan, peradaban ini dahulu sangat menjunjung ilmu pengetahuan. Bahkan telah terjadi pada abad pertengahan di mana Eropa pada masa itu masih diliputi oleh zaman kegelapan karena ilmu pengetahuan saat itu dimonopoli oleh doktrin Gereja Katolik. Kontras dengan apa yang terjadi di peradaban Islam, di sana justru terang benderang dan banyak orang-orang Eropa yang menimba ilmu di dunia Islam, bahkan peradaban inilah yang pertama kali mendirikan sebuah universitas. 

Peradaban Islam pada akhirnya memengaruhi peradaban-peradaban lain yang berada di sekitarnya, seperti Eropa. Kemunculan zaman pencerahan di Eropa menurut filsuf modern, Betrand Russel, sedikit banyak dipengaruhi oleh dunia Islam. Peradaban Islam menunjukan penghormatannya terhadap ilmu pengetahuan begitu besar, di dunia Islam jika seorang penulis berhasil menulis sebuah buku yang bermanfaat bagi umat manusia, maka penulis tersebut akan dihargai dengan emas seberat buku yang berhasil ia tulis. Terang saja peradaban Islam saat itu berkembang begitu pesat.

Akar Peradaban

Penguasaan sains dan teknologi bagi suatu bangsa merupakan hal yang utama. Sains dan teknologi merupakan pondasi dari berkembangnya segala kemajuan di bidang lain. Jika kita analogikan sebuah tanaman, maka sains dan teknologi adalah akar dari tanaman tersebut. Layaknya akar yang selalu mencari dan menyerap makanan yang didapat dari dalam tanah untuk kemudian dialirkan ke daun melalui proses fotosintesis dan akan menghasilkan sari makanan bagi tumbuhan demi tumbuh kembang tanaman tersebut, maka jika akar ini tak berfungsi dengan semestinya dapat dipastikan seluruh fungsi tumbuh kembang tanaman itu pun tak berjalan sebagaimana mestinya. 

Sebaliknya, jika akar berhasil menemukan kandungan nutrisi yang banyak, maka sudah dipastikan tumbuh kembang tanaman akan berjalan dengan baik. Hal tersebut terjadi karena akar bagi tanaman merupakan organ yang menopang tumbuh kembang tanaman itu sendiri. Subur-tidaknya sebuah tanaman akan tergantung pada kemampuan akar mencari dan menyerap nutrisi-nutrisi hara yang terkandung di dalam tanah. 

Begitu pula dengan sains dan teknologi, bagi suatu bangsa sains dan teknologi berperan layaknya sebuah akar pada tanaman. Jika sains dan teknologi di suatu bangsa tumbuh dengan baik, maka bidang-bidang lain pun secara inheren akan mengikuti. Karena, bagi suatu bangsa perkembangan sains dan teknologi merupakan sebuah trigger bagi perkembangan bidang-bidang lain, tak terkecuali dalam bidang ekonomi.

Relasi Sains-Ekonomi

Negara-negara yang memiliki ekonomi yang maju, maka sudah dipastikan akan memiliki perkembangan sains dan teknologi yang maju pula, negara-negara tersebut seperti, Korea Selatan, Jepang, Finlandia, Jerman, Singapura, Inggris, Amerika Serikat, Belanda, Swedia, Belgia dan negara-negara Eropa lainnya. Negara-negara tersebut sudah dipastikan akan memiliki perkembangan sains dan teknologi yang maju. 

Korea Selatan misalnya, menurut Bloomberg Innovation Index 2015, negara yang terletak di Asia  timur tersebut berhasil menempati posisi pertama sebagai negara yang paling inovatif. Bloomberg memakai beberapa indikator untuk menentukan suatu negara lebih inovatif dari negara lain, seperti penelitian dan pengembangan, manufaktur, perusahaan berteknologi tinggi, pendidikan, penelitian pribadi warga negaranya, dan terakhir paten. Kesemua indikator tersebut merupakan bagian dari sains dan teknologi. 

Majunya penguasaan sains dan teknologi di Korea Selatan berkolerasi positif terhadap majunya perekonomian di negara tersebut. GDP (Gross Domestic Product) Korea Selatan pada 2015 menempati posisi nomer 11 terbesar di dunia, yakni sejumlah USD 1. 376 miliar (IMF World Economic Outlook, 2016). Padahal pada pasca Perang Korea 1950, GDP negara tersebut sama dengan negara-negara di Afrika, seperti Ghana.

Namun, karena dukungan pemerintah dan swasta untuk mengembangkan penelitian sains dan teknologi negara tersebut berhasil memperoleh kemajuan ekonomi yang begitu pesat yang terkenal dengan “Keajaiban Sungai Han”. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya produk-produk teknologi buatan negara tersebut yang merajai pasar teknologi, salah satunya ialah Samsung yang merupakan produk smartphone yang  tak diragukan lagi kualitasnya.

Pola korelasi positif antara perkembangan sains dan teknologi dengan kemajuan ekonomi suatu bangsa tak hanya terjadi pada negara Korea Selatan semata, pola ini terjadi di semua negara. Negara-negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Jerman Singapura, Finlandia, Israel dan negara maju lainnya memiliki basis ekonomi yang kuat karena ditopang oleh kemajuan dalam bidang sains dan teknologi.

Jerman misalnya, negara yang memiliki GDP terbesar nomer tiga di dunia ini, menurut Bloomberg Innovation Index 2015 menempati posisi nomer tiga. Negara seperti Amerika Serikat (AS) yang merupakan negara paling besar GDP-nya di dunia, yakini sebesar USD 17.947 miliar, negara ini menempati posisi nomer dua sebagai negara paling kreatif di dunia di tahun 2015.

Indikator yang diukur ialah penguasaan teknologi, toleransi dan talenta (The Global Creative Index, 2015: 53). Negara maju dengan tingkat GDP tinggi seperti di Benua Amerika dan Eropa, berada di garda terdepan di bidang teknologi. Dengan menggunakan tiga indikator penilaian: internet, telepon, dan listrik, Daniele membuat peringkat untuk 86 negara. 

Indonesia menempati peringkat ke 64. Sangat jauh berada di bawah Jerman yang menempati peringkat ke-16, disusul Amerika ke-8, Singapura ke-4, Finland ke-2, dan Sweden ke-1. (Archibugi, 2004: 649-650). Dari fakta-fakta yang di sajikan di atas, dapat kita lihat bahwa ada kecenderungan-kecenderungan negara yang maju dalam ekonominya ditopang dengan penguasaan sains dan teknologi sebagai fondasinya.

Perkembangan Sains dan Teknologi di Indonesia Era Kontemporer

Salah satu masalah utama negara berkembang yang memengaruhi berbagai bidang adalah rendahnya perkembangan sains dan teknologi. Tak terkecuali bagi Indonesia, Indonesia belum dianggap sebagai negara yang maju dalam bidang sains dan teknologi. Penguasaan sains dan teknologi bagi setiap bangsa adalah mutlak adanya untuk menjaga eksistensi negara tersebut, hal ini juga disampaikan oleh mantan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono saat memberi pidato hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-64, beliau mengatakan : 

“Hanya bangsa yang inovatif, adaptif, dan produktiflah yang akan mampu menjaga kelangsungan hidupnya dan berjaya di muka bumi ini” (RISTEK, 2009: xiii). 

Pernyataan tersebut menyiratkan secara jelas bahwa penguasaan sains dan teknologi merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga keberadaan bangsa Indonesia.
            
Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, badan resmi yang bertanggung jawab atas sains dan teknologi ialah Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti). Badan tersebut selain bertanggung jawab atas sains dan teknologi di Indonesia, juga bertanggung jawab atas pendidikan tinggi. Di tahun 2016 pagu anggaran Kemenristek Dikti mencapai sebesar Rp 40,63 triliun atau naik sebesar Rp 2,6 triliun di tahun anggaran sebelumnya (dikti.go.id, 2016).

Laju Imitatif

Susantha Goontilake dalam Ristek (2009), mengungkapkan bahwa kondisi perkembangan sains dan teknologi di negara-negara dunia ketiga (termasuk Indonesia) saat ini masih cenderung imitatif, tidak memiliki orisinilitas serta sangat rendah dalam hal berkreativitas. Hal tersebut terjadi bukan hanya karena alasan struktur sosial di satu pihak, melainkan juga karena kondisi psikologi maupun persoalan epistemologi di lain pihak. Akibatnya, kemajuan sains dan teknologi di negara-negara ini masih sangat bergantung pada sains dan teknologi Barat.

Rendahnya penguasaan sains dan teknologi di Indonesia  dibuktikan dengan masih rendahnya Human Development Index (HDI) Indonesia, terbukti dari 188 negara yang terindeks, Indonesia hanya menempati posisi ke-110 di tahun 2014. Angka ini berada jauh di bawa negara-negara tetangga (semakin kecil angka HDI maka, semakin tinggi tingkat pembangunan manusia di negara tersebut), seperti Singapura yang berada di posisi 11, Malaysia 62, Thailand 93. 

Indonesia hanya lebih tinggi dari negara-negara seperti, Filipina, Vietnam, Kamboja dan Myanmar yang masing-masing menempati peringkat 115, 116, 143 dan 148 (Human Development Report, 2015). Mengutip dari Tempo (16/12/2015),  United Nations Development Program (UNDP) melaporkan bahwa HDI Indonesia hanya naik sekitar 40,3% dibanding tahun 1980. Hal ini menunjukan lambatnya pembangunan manusia di Indonesia.

Production Power Indonesia dan Terciptanya sustainable welfare

Structural power merupakan sebuah konsep yang dicanangkan oleh Susan Strange dalam bukunya yang berjudul State and Market (1988). Kekuatan struktural yang dimaksud oleh Strange ialah terdiri dari empat komponen, yakini security (political-military power), production, knowledge, and finance (Strange, 1988: 27). Kita di sini tidak untuk membahas keempat komponen kekuatan struktural tersebut melainkan hanya komponen production atau produksi. 

Kekuatan produksi yang dimaksud oleh Strange ialah kemampuan suatu negara dalam menghasilkan barang-barang yang laku di pasar internasional. Jika negara berhasil memproduksi barang-barang yang bisa bersaing di arena global, maka kekuatan struktural, terutama dalam komponen produksi akan besar. Hal ini terjadi pada negara-negara seperti Amerika Serikat dan Tiongkok. 

Basis ekonom dari negara-negara tersebut ialah industri ekspor yang mau tidak mau para pelaku usaha di negara tersebut dituntut untuk memproduksi barang-barang yang inovatif supaya bias laku jika dilempar ke pasar internasional. Oleh karena itu, bagi negara-negara yang ingin memperkuat kekuatan produksinya haruslah meningkatkan penguasaan sains dan teknologi karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya negara yang mampu dalam penguasaan sains dan teknologi cenderung inovatif dan hal ini yang dapat menunjang kekuatan produksi tadi.

Kekuatan Produksi

Kekuatan produksi Indonesia salah satunya dapat diukur dengan melihat nilai ekspor, terutama barang-barang manufaktur yang telah diproduksi oleh negara tersebut. Nilai ekspor Indonesia sendiri tercatat pada tahun 2014 mencapai USD 176 miliar dan menurun di tahun 2015 menjadi hanya USD 150 miliar saja (Statista, 2016). Sebagian besar komoditas ekspor Indonesia adalah barang mentah dan juga barang-barang non-manufaktur. Hal tersebut menunjukan bahwa masih rendahnya penguasaan sains dan teknologi bagi bangsa Indonesia. Jikalau barang-barang mentah yang diekspor tersebut terlebih dahulu diolah di Indonesia dengan teknologi yang memadai, maka niscaya harga jualnya akan jauh lebih mahal dan hal tersebut akan berimbas positif terhadap pertumbuhan GDP Indonesia.

Dan yang terpenting akan terjadi penguatan kekuatan struktural bangsa Indonesia, terutama dalam bidang produksi. Penguatan dalam bidang kekuatan produksi (production power) ini sangat mempengaruhi komponen-komponen kekuatan struktural lainnya, misalnya militer dan ilmu pengetahuan. Kuatnya kekuatan produksi akan berimbas kepada peningkatan kapabilitas militer dari suatu negara dengan cara pembelian alat-alat utama sistem persenjataan, dengan penguatan kekuatan produksi juga akan berefek pada penguatan knowledge power, di mana ilmu pengetahuan tadi sebagai basis dari pertumbuhan ekonomi jadi akan terjadi reciprocity antara kekuatan produksi dan ilmu pengetahuan di mana ada sains dan teknologi di dalamnya yang pada akhirnya akan menciptakan kesejahteraan yang berkesinambungan bagi bangsa Indonesia atau saya sebut sebagai “sustainable welfare”.


Daftar Pustaka
            
Archibugi, Daniele. 2004. A New Indicator of Technological Capabilities for Developed and developing Countries (ArCo). World Development, Vol.32, No. 4, hal 629-654. Great Britan: Elsevier.

Calder, Ritchie. 1995. Science in Our Life. New York: New American Library.

Florida, Richard et al. 2015. The Global Creative Index 2015. (tempat terbit tak diketahui): Martin Prosperity Institute.

Human Developement Reports. http://hdr.undp.org/en/composite/HDI. Diakses pada 3 Mei 2016.

Indonesia Rank 111th in Human Development Index. http://en.tempo.co/read/news/2015/12/16/056728080/Indonesia-Ranks-111th-in-Human-Development-Index. Diakses pada 1 Mei 2016.

Postur Anggran 2016. http://www.dikti.go.id/laporan-keuangan/. Diakses pada 2 Mei 2016.

Ristek. 2009. Sains dan Teknologi 2:  Berbagai Ide untuk Menjawab Tantangan dan Kebutuhan. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Strange, Susan. 1988. State and Market. London: Printer Publisher.

The Boomberg Inovation Index. http://www.bloomberg.com/graphics/2015-innovative-countries/. Diakses pada 29 Mei 2016.

World Economic Outlook 2016. https://www.imf.org/external/pubs/ft/weo/2016/01/pdf/text.pdf. Diunduh pada 2 Mei 2016.

About Yopi Makdori

Diberdayakan oleh Blogger.