GRENDENG THINKER VIEWS

Para Non-interventionist, Bahasa Anda Bukan Pembelaan Atas Kemanusiaan

Ilustrasi: Dokumentasi Pribadi di Masjid Sekitar Kawasan Tebet


Beberapa pihak baik warganet di Indonesia maupun pejabat-pejabat tinggi di negeri ini memainkan retorika non intervensi ihwal apa yang dilakukan China terhadap komunitas muslim Uighur (selanjutnya saya sebut Uighur saja) di Xinjiang. Mereka berdalih bahwa apa yang dilakukan China itu merupakan hak atau urusan kedaulatan China.

Misalnya sebagaimana yang dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum,  dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengenai "Diplomasi Lunak" terhadap China untuk menyikapi isu Uighur. Diplomasi lunak ala Mahfud tak lebih dari lip service-nya untuk menyenangkan massa yang menginginkan Indonesia merespons isu tersebut.

Benar saja, tak lama Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengartikan omongannya menyangkut diplomasi lunak. Menurut dia, diplomasi lunak merupakan bentuk non intervensi Indonesia terhadap China. Hal ini menyusul kabar keretakan dia dengan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.

Menurut Moeldoko Pemerintah Indonesia secara tegas menolak untuk mengintervensi China menyangkut masalah Uighur tersebut.  Landasannya bahwa dalam prinsip berhubungan antar negara, suatu aktor politik internasional dilarang untuk saling mencampuri urusan negara lain. Menurutnya pula suatu negara dilarang untuk ikut campur untuk mengurus warga negara dari negara lain.

Retorika non intervensi ini terus saja dimainkan demi dalih kedaulatan. Tapi mereka lupa bahwa era ini bukanlah zaman kerajaan. Di mana aktor-aktor politik tidak diikat oleh suatu norma universal.

Eufemisme Sabodo Teuing

Bahasa non intervensi yang kerap dikatakan oleh pemerintah Indonesia untuk menyikapi isu Uighur tak lebih dari eufemisme atau bentuk halus dari sikap bodo amat. Dalih dibalik topeng "kami tidak bisa ikut campur urusan negara lain" tidak lebih dari ketidakpedulian mereka terhadap kemanusiaan.

Bahasa ini digunakan oleh mereka yang tidak pernah ambil pusing menyangkut permasalahan orang lain. Padahal tekanan publik begitu kuat untuk meminta Indonesia menekan China menyangkut masalah Uighur ini.

Perdebatan Uighur Hidup Bahagia

Beberapa pihak berspekulasi bahwa isu Uighur digulirkan sebagai cara Amerika Serikat (AS) melawan China dalam perang dagang yang terjadi di antara mereka selama ini.

Mereka juga bahkan menuding bahwa media-media Barat berbohong mengenai tindakan Otoritas China terhadap Uighur. Nalar ilmuwan mereka dibangkitkan dengan mengatakan, "kita mesti tabayun dengan memverifikasi fakta di lapangan". Dan bahasa-bahasa pembelaan lainnya yang bernafaskan pengelakkan.

Mereka menyetir isu ini dengan menanamkan keraguan akan nasib Uighur di kemp doktrinasi China di Xinjiang. Mereka mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh China tak lebih dari pelatihan dan pembelajaran ulang.

Ada juga yang berdalih dibalik juba deradikalisasi. Nafas pembelaan mereka bukanlah dilandaskan pada objektivitas, melainkan seakan menjadi PR (public relations) bagi Beijing. Mereka seakan sedang merepresentasikan dirinya sebagai juru bicara Pemerintah China. Nalar kritis mereka dikumpulkan kendati pelbagai fakta dan laporan menunjukkan hal yang berlawanan.

Andaikata mereka yang ditahan di Kemp tersebut dalam keadaan baik-baik saja, lalu mengapa Beijing melarang para jurnalis dan perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengunjungi kemp tersebut? Dari sini saja sudah terendus jelas bahwa apa yang dilakukan China terhadap Uighur di kemp itu bukanlah hal yang wajar bagi mereka yang tidak memiliki pikiran fasis.

Logika Waras

Jika kita mencermati kasus ini dengan logika yang waras, maka niscaya timbul empati kita terhadap Uighur. Mari saya tunjukkan data dari Human Rights Watch (HRW), apa itu HRW? Kredibilitas HRW sebagai lembaga non pemerintahan yang fokus mencatat pelanggaran HAM di suatu negara tidak lagi diragukan.

Perwakilan HRW juga tersebar di seluruh dunia. Dan kerap kali warga negara dari negara yang bersangkutan. Tentunya mereka memahami betul seluk-beluk penindasan yang dilakukan negara terhadap rakyatnya. Jadi sampai di sini kita paham kredibilitas HRW ya.

Baik, kita lanjutkan pembahasan. Menurut laporan HRW, Otoritas Beijing telah melakukan penahanan massal komunitas Uighur sejak 2016 lalu. Angkanya tidak main-main, anda tahu berapa? kurang lebih 13 juta jiwa telah menjadi target penahanan di kemp detinasi massa milik China.

Di sana mereka dipaksa untuk menerima doktrin politik ala komunis China. Dilarang untuk keluar dari sana dan juga ditindas secara agama. Bagi anda yang menganggap hal ini normal, berarti saya semakin meyakini satu juta persen anda bagian dari otak FASIS!

Lebih jauh lagi, Pemerintah China menciptakan mimpi buruk di wilayah komunitas Uighur terkonsentrasi. Otoritas Beijing itu merealisasikan lingkungan "Dystopia" ala George Orwell dalam novel 1984-nya. Di mana mereka dimata-matai menggunakan sebuah sistem yang dikenal dengan the Integrated Joint Operations Platform atau kerap disebut IJOP dalam bahasa China ditulis 体化联合作战平台.

Saat tim HRW menganatomi sistem ini, mereka menemukan bahwa software tersebut digunakan oleh Beijing untuk mengumpulkan informasi pribadi seseorang dalam jumlah massal. Di samping itu, alat ini juga digunakan oleh mereka untuk melacak pergerakan seseorang.

Ini mimpi buruk yang digambarkan Orwell tentang masyarakat yang tidak mempunyai hak atas privasinya lagi. Setiap aktivitas mereka dimonitoring oleh sebuah sistem dengan dalih keamanan, padahal nyatanya demi mengendalikan. Cara-cara seperti ini lazim digunakan oleh rezim fasis.

Dari fakta itu saja bagi mereka yang berpikiran waras pasti menganggap hal itu mengerikan, namun jika anda fikir itu hal yang wajar, maka terpaksa kembali saya katakan anda bagian dari otak-otak fasis.

Ada kisah lebih menyentuh lagi, seorang gadis yang tinggal di Kazhakstan kehilangan ayahnya saat sang ayah bertandang ke Xinjiang. Dia adalah Bota Kussaiyn, menurut Bota, ayahnya bertandang ke Xinjiang demi bertemu seorang dokter di wilayah tersebut.

Bota dan keluarga sendiri pada dasarnya berasal dari Xinjiang, namun pada 2013 lalu mereka memilih pindah ke Kazakhtan. Dari informasi yang dia dapat, sang ayah dimasukkan oleh Otoritas Beijing ke kemp yang secara halus dikenal sebagai kemp pendidikan ulang. Bota hanya salah satu anak dari ratusan ribu anak yang mengalami hal itu.

Kisahnya ia ceritakan kepada lembaga kemanusiaan Amnesty International (AI). Sampai saat ini Bota belum bisa bertemu dengan ayahanda yang begitu ia cintai itu. Sang ayah masih ditahan di kemp yang menurut AI sebagai kemp untuk memaksa masyarakat menghapuskan kepercayaan terhadap agamanya dan memaksa mereka untuk bersikap loyal terhadap negara.

Hanya Hoaks?

Beberapa pihak di Indonesia, termasuk Pemerintah China sendiri menolak tudingan bahwa kemp tersebut dioperasikan dengan melanggar norma HAM. Sebagai masyarakat kita bahkan menganggap benar narasi ini. Lebih parahnya mereka percaya bahwa tudingan tersebut hanya hoaks belaka.

Lalu benarkah demikian? Baik, saya terpaksa katakan bahwa mereka yang menganggap semua itu haoks pasti hidup di tengah-tengah rimba belantara. Maklum mereka belum mengenal yang namanya smartphone terlebih lagi internet. Makanya mereka tidak bisa membaca berita dan laporan dari berbagai lembaga kemanusiaan yang kredibel ihwal kasus tersebut.

Tapi kalau anda punya smartphone, tinggal anda di kota, dan anda bagian dari masyarakat yang melek internet, tapi anda menganggap itu semua hoaks maka saya patut curiga akan intelektualitas anda karena tidak bisa mencerna kebenaran. Tapi kalu anda masih mengaku seorang intelektual tapi menolak fakta tersebut, saya curiga jangan-jangan anda kenyang dengan aliran dana dari Beijing.

Baik, begini faktanya, pada 10 Agustus lalu, panel HAM PBB menerima berbagai informasi kredibel mengenai setidaknya satu juta orang ditahan dalam kemp "rahasia" tersebut. Dengerkan baik-baik saya ulangi, kemp rahasia, kenapa harus rahasia? Kalau memang kemp itu diperuntukkan bagi kebaikan kenapa justru dirahasiakan.

Di sisi lain China menuding bahwa tuduhan pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur di sana hoaks, namun mereka merahasiakan kemp tersebut. Bagi otak yang waras ini suatu kejanggalan bukan?

Asumsi saya tidak sendirian, John Fisher dari HRW juga mengatakan hal serupa. Menurut dia China telah gagal menjelaskan mengenai tudingan bahwa mereka melakukan pelanggaran HAM di kemp neraka tersebut.

Kalau memang hoaks, mari kita lakukan pembuktian terbalik. Beranikah China memberikan para jurnalis dari media kredibel mengakses kemp tersebut. Dan membiarkan PBB melakukan investigasi?

Memang benar beberapa bulan lalu ada sebagian jurnalis dari media arus utama di Indonesia diundang Beijing untuk bertandang ke sana. Tapi saya dengar cerita dari salah satu jurnalis yang ke diundang bahwa mereka tidak dengan bebas melihat dan menelusuri kemp tersebut. Justru mereka diarahkan oleh seorang tour guide. Jelas saja tour guide tidak akan mengarahkan ke tempat yang mencoreng citra China bukan? Terlebih lagi perjalanan itu sepenuhnya diakomodasi oleh China mana mungkin para jurnalis itu berani menulis secara blak-blakan bukan?

Sumber:

China says Uighur detention centers fight terrorism, rejects UN criticism.

China’s Algorithms of Repression. https://www.hrw.org/report/2019/05/01/chinas-algorithms-repression/reverse-engineering-xinjiang-police-mass-surveillance.

Mahfud MD Bantah Beda Sikap dengan Moeldoko Soal Etnis Uighur di China. https://www.liputan6.com/news/read/4141592/mahfud-md-bantah-beda-sikap-dengan-moeldoko-soal-etnis-uighur-di-china.

Tell China to close its secret ‘re-education’ camps for ethnic minorities. https://www.amnesty.org/en/get-involved/take-action/tell-china-to-close-its-secret-reeducation-camps-for-ethnic-minorities/.

About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.