GRENDENG THINKER VIEWS

Mati Rasa Sosial

Ilustrasi: Dokumen Sulaeman di rumah korban banjir, Bukti Duri, Tebet, Jakarta Selatan


Udara dingin seakan menggigit tulang. Saritah bersama kedua anaknya tak lelah menyusuri jalanan mencari sampah bekas rumah tangga.

Jam menunjukkan pukul 23.45 saat anaknya yang pertama menguap dan meminta untuk segera istirahat.

"Uahh...! Ma mau tidur, ngantuk," kata Tio sambil menutupi mulutnya yang menganga dengan kedua telapak tangannya.

Sementara Sri nampak terlelap begitu pulas di atas tumpukan kardus yang di bawah dalam gerobak. Sri masih kelas tiga SD, ia berbeda tiga tahun dengan kakaknya, Tio. Sejak beberapa jam lalu, Sri menang nampak begitu kelelahan. Tak ayal ia tertidur duluan.

"Sebentar lagi ya sayang, emak mau ke tempat sampah milik toko roti di gang depan dulu ya. Siapa tau kita dapat beberapa potong roti buat makan besok pagi," terang Saritah kepada Tio.

Grobak mereka melewati warung angkringan yang nampak dipenuhi muda-mudi yang tengah menghabiskan syahdunya malam Minggu.

Susana bertambah romantis karena sore tadi daerah itu diguyur hujan. Di temani minuman hangat sudah cukup bagi mereka untuk menghangatkan suasana di tengah dinginnya dunia.

"Permisi mas mba," kata Saritah kepada mereka.

Annisa yang tengah duduk di sana melihat ke arah rombongan perempuan dan kedua anaknya itu. Ia terlihat tak mengindahkan hadirnya mereka.

Waktu menjelang larut, Saritah masih terus berjalan. Tio dan Sri nampak tengah pulasnya tertidur di atas kardus yang sedikit basah karena percikan hujan sore tadi.

Mati Rasa

Beberapa dari kita sering menemui orang-orang semisal Saritah dan anak-anaknya. Tapi seperti Annisa kita acuh terhadap mereka. Kita merasa tidak terjadi apa-apa dengan banyaknya orang-orang seperti keluarga Saritah.

Itulah yang disebut sebagai numbness. Di mana kita menganggap sesuatu yang tidak normal menjadi biasa saja.

Numbness bukan tanpa sebab. Ia didorong oleh sesuatu hal yang itu terjadi secara terus-menerus.

Misalkan kita melihat "kemiskinan" atau "penganiayaan" dalam dosis tinggi, maka kita akan mati rasa. Dan menganggap hal itu adalah bisa.

Hal ini berlaku pula dalam segala hal. Termasuk perilaku yang menyimpang, seperti Lesbian, Gay Biseksual, dan Transgender atau LGBT.

Mati rasa berfungsi untuk menjaga seseorang guna tetap hidup di alam kebahagiaan tanpa mesti memikirkan apa yang dirasakan oleh orang lain. Hal ini dekat dengan perilaku egoistis.

Kita nampaknya tengah mengidap mati rasa tersebut. Lebih tepatnya mati rasa sosial.

Di mana kita merasa biasa saja akan terjadinya ketimpangan ekonomi yang begitu besar di negeri ini. Kita pun acuh manakala sebagian dari kita diperlakukan dengan tidak adil.

Entah siapa yang mendidik perilaku seperti ini. Nampak hal ini terjadi secara luas dan dalam tempo lama.

Konteks Penjajahan

Dahulu kala saat bangsa kita dijajah hanya segelintir orang yang bersikap seperti itu (numbness). Mereka yang berlindung dan mencari makan di bawah ketika penjajah menonjolkan sikap numbness tersebut.

Mereka tak pernah peduli bila sesama saudaranya kelaparan ataupun disiksa oleh para penjajah. Sementara sebagian besar rakyat Indonesia lainnya memiliki empati yang sama, mengingat mereka sama-sama sengsara di bawah rezim penjajahan.

Menjelang kemerdekaan, mereka bersatu dan berfikir bahwa sikap itu harus ditiadakan. Hal ini tercermin dari semangat keadilan yang termaktub dalam Pancasila.

Semangat keadilan tersebut merupakan bentuk trauma yang mendalam bagi rakyat Indonesia yang selama sekian ratus tahun diperlakukan dengan tidak adil oleh kaum penjajah.

Tapi kini, semangat itu memudar. Saat ini keadilan ibaratnya jauh panggang dari api. Tak berasa lagi dan tak terlihat lagi bentuknya.

About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.