Sebelum kuliah, saya termasuk orang yang menganggap kampus adalah tempat para kaum terdidik. Ya kendati saya percaya bahwa tak semuanya akan seperti itu, tapi setidaknya saya berharap bahwa masalah-masalah moral jalanan tak ditemui di lembaga pendidikan tinggi tersebut.
Mengambil hak orang lain, adalah salah satu hal yang menurut saya tak akan ditemui dalam dunia kampus. Namun benar, saya harus kecewa. Ternyata kejahatan jalanan ini masih saya temui di lingkungan kampus.
Kisah di mulai pada suatu sore menjelang magrib. Usai melaksanakan presentasi kelompok, laptop kesayangan saya lekas saya masukkan ke dalam tas. Tas yang tak terlalu penuh dengan buku, hanya buku tulis dan sebuah buku milik Perpustakaan Fisip yang sudah satu bulan belum saya kembalikan mengisi tas Bodypack lusuh itu.
Penatnya badan membuat saya untuk bergegas pulang ke kos. Tak terlalu jauh, kos saya ditempuh hanya lima menit dari kampus.
Tak lama, sampailah di kos. Tak perlu basa-basi saya rebahkan badan yang telah penat. Selama beberapa menit semua berjalan normal sampai akhirnya terbesit, "Oh iya charger laptop udah dimasukkan belum ya?," tanya saya dalam hati.
Saya pun bergegas untuk membuka tas yang sudah tertutup rapat. Tapi setelah semua retsleting tas saya buka, charger tersebut tak kunjung ketemu.
Saya coba fokuskan pikiran agar tidak panik untuk mengingat-ingat di mana terakhir kali saya melihat charger laptop itu. Tak perlu waktu lama sampai akhir saya pun mengingat bahwa saya meninggalkan charger laptop di kelas sore tadi.
Saya ingat bahwa setelah kelas itu dipakai, anak jurusan sebelah menggunakannya untuk jadwal kelas malam yang dimulai usia magrib. Awalnya mengingat itu saya lebih rileks karena pasti di manakah mahasiswa lain, entah di masukkan ke laci meja dosen atau diserahkan ke petugas jaga kampus.
Akhirnya dari pikiran entah positif atau teledor itu saya mengurungkan niat untuk kembali ke kampus. "Entahlah besok aja," suara dalam pikiran saya.
Esoknya saya coba masuk kembali ke kelas itu, saya periksa laci meja dosen. Betapa kagetnya ternyata di laci itu tak ditemukan charger yang saya cari. Pikiran mulai kalut, bukan karena apa-apa itu alat tempur satu-satunya bagi saya untuk mengerjakan seabreg tugas dari dosen. Tanpa itu, "matilah saya," kata saya lirih.
Tak patah arang, saya coba ke tepat penjaga kampus. Namun hasilnya nihil, mereka mengatakan tak pernah melihat adanya charger atau seseorang yang menemukan charger di ruang tersebut. Lemas rasanya tubuh ini kala mendengar itu. Namun saya masih berusaha, saya masih gantungan secercah harapan kepada para petugas kebersihan kampus.
Saya coba tanya ke mereka yang tengah asik ngobrol di ruangannya, "Mas ada yang menemukan charger gak di ruangan itu," tanya saya. Seorang yang kelihatannya koordinator petugas kebersihan itu terlihat menanyakan bawahnya satu-satunya ihwal pertanyaan saya. Saya melihat semua kepala menggeleng dan dari mulut sang koordinator keluar kalimat, "Ndak ada yang tau mas."
Saat itu saya sudah pasrahkan dan teguhkan hati untuk menerima bahwa charger laptop satu-satunya telah hilang.
Tragedi yang Membuka Mata
Dari peristiwa ini, mata saya jadi lebih realistis memandang bahwa kendati banyak mahasiswa yang kontra terhadap korupsi dan lainnya, namun ada sebagian dari mereka yang pecundang dan pro bahkan melakukan hal itu.
Hal itu sekaligus membuka mata saya bahwa intelektualitas tak berbanding lurus dengan integritas.
Menyedihkan memang, bukan karena charger laptop saya hilang tapi mengetahui kenyataan bahwa sebagian dari kawan-kawan masih tega melakukan itu. Saya dalam hati bergumam, "Apakah mereka sekurang itu hingga tega mengambil hak orang lain?".
Namun setelah terjun ke belantara kehidupan saya makin meneguhkan bahwa tak semua yang terdidik punya integritas, sebagian dari mereka ada yang "Brengsek" pula.
0 komentar:
Posting Komentar