Ramadhan 2018 mungkin tak akan pernah terlupakan sepanjang hidupku. Peristiwa yang memukul, serta perjuangan yang hingga saat ini kerasnya masih terasa, aku lalui pada momen itu.
Sore usai berbuka puasa ponsel Nokia lawas ku berdering. Adikku mengabarkan kalau ayah sakit keras secara tiba-tiba dan dilarikan ke rumah sakit. Sontak sebagai seorang anak rasa khawatir ku tak bisa dibendung.
Namun aku sadar, di saat seperti itu pikiranku mesti berpikir logis. Aku coba tenangkan diri sembari mencari jalan apa yang mesti ku lakukan.
Aku bingung, kalut semua perasaanku campur aduk saat itu. Apalagi dua hari kedepan aku mesti mempresentasikan hasil skripsi ku guna mendapatkan gelar S1. Istilah di kampus kami sering disebut "ujian skripsi".
Setelah berpikir cukup lama, aku coba ke kosan Riyan Nurrahman, salah seorang sahabat yang menurutku mirip Niki Tirta. Ya awal bertemu Riyan aku lihat dia mirip Tirta, mungkin gara-gara perawakannya yang pendek namun cukup kekar ditambah gaya rambut yang persis aktor yang pernah berduet dengan Vanessa Angel itu membuat Riyan menyerupai Tirta.
Singkatnya aku bergegas ke kosan Riyan setelah sebelum ke kosan Mitra 3 tempat Andika Dewantara dan kawan-kawan ngekos. Awalnya aku mau pinjam motor Andhika tapi karena satu dan lain hal, ditambah resikonya cukup berat (waktu itu motor Andhika susah untuk dibuat ngebut), akhirnya aku urungkan niat tersebut.
Awal Perjalanan Panjang
Aku tergopoh memasuki kos Riyan yang kala itu masih di dekat Fakultas MIPA, Unsoed. Tempatnya lumayan jauh dari Jalan Dr. Soeparno, Purwokerto. Mesti masuk ke gang terlebih dahulu.
Kamarnya tepat di lantai dua, di sebuah rumah yang aku sudah lupa warna catnya. Namun yang pasti kuingat, gerbang parkirannya berwarna gelap dan jalan utama untuk memasuki kosnya mesti melewati ruang tamu si empunya kos.
Peristiwa itu sudah begitu lama terjadi, aku tak ingat persis sedang apa Riyan waktu aku tiba dengan tergopoh ke kosnya. Entah apa yang dia pikirkan, namun sebelum ke kosannya aku sudah menceritakan soal masalahku melalui panggilan telepon.
Tanpa basa-basi, aku ceritakan ulang masalah yang cukup berat bagiku waktu itu. Aku utarakan maksud dan tujuanku bahwa aku berniat meminjam sepeda motornya. Sebelumnya aku tanya apakah ia berencana bepergian beberapa hari mendatang, dia menggeleng tanda tidak ada rencana untuk jalan-jalan.
Riyan memang dikenal suka mengeksplorasi keindahan alam dimanapun ia berada. Minatnya yang tinggi akan penjelajahan ia buktikan dengan seringnya ia jalan-jalan. Ia tak ragu merogoh kocek untuk sekedar menghadiri gathering sebuah komunitas hunting foto yang ia jumpai di Instagram.
Saat Riyan menggeleng, aku sudah optimis bahwa ia sudi untuk meminjamkan kendaraannya untuk beberapa hari. Tapi dalam beberapa detik, pikirku berubah aku lontarkan kalimat ajakan supaya ia turut serta menemani aku pulang ke Indramayu.
Aku tak tahu apa yang dipikirkan Riya saat aku mengajak dirinya secara spontan. Waktu itu jam sudah menunjukkan sekitar pukul 21.00 WIB. Riyan berfikir beberapa saat sampai akhirnya, iya mengiyakan ajakan tersebut setelah beberapa kali aku bujuk.
Aku berikan dia kesempatan untuk berkemas, tak lama ia telah siap dengan segala perlengkapan yang ia akan bahwa di dalam tas gendong warna hitamnya. Kita naik Vario warna putih keluaran 2011 menuju ke kosku terlebih dahulu di sekitar Jalan Kenanga, Purwanto.
Waktu menunjukkan sekitar pukul 22.00 WIB, aku yang mengambil kendali Vario itu menembus dinginnya malam Ramadhan di Purwokerto. Suara tadarus Al Qur'an yang dilantunkan seseorang dari langgar-langgar yang kita lalui seakan mengiringi perjalanan kami malam itu.
Di tengah perjalanan, sesekali batinku terbesit rasa penasaran akan pertanyaan apa yang mendorong orang dibelakangku ini mau menemani perjalanan ini. Namun konsentrasiku tetap berada di kondisi ayahku. Aku tak henti-hentinya berdoa berharap ia baik-baik saja.
Dinginnya malam waktu itu tak membuatku menggigil. Bahkan jaket bertuliskan Taekwondo Unsoed yang ku kenakan aku sengaja buka retsleting depannya. Tapi aku sama sekali tak merasakan kedinginan. Di sisi lain ada seseorang yang terus mengkhawatirkan keadaan kami di perjalanan, terutama diriku.
Berkendara dalam gelap malam menjadi kesulitan tersendiri, aku mesti ekstra hati-hati mengawasi jalan di depanku. Terlebih lagi jalan menuju sana tidak begitu rata.
Tak terasa sudah dua jam lebih kita berada di atas motor. Jam menunjukkan pukul 00.00 WIB tengah malam. Kala itu kita telah memasuki Jalan Trans Bumiayu-Pejagan. Saat aku pacu motor itu dengan kecapaian cukup tinggi, tiba-tiba usai melewati Jembatan Sungai Pemali Poncol, motor kita oleng.
Kondisi cukup sepi malam itu, hanya ada kebun-kebun tebu dan bawang ataupun pesawahan di kanan-kiri kita. Terlebih lagi tidak adanya penerangan di sana membuat kita mesti berhati-hati dan ekstra waspada melewati jalan tersebut.
Akhirnya kita menepi untuk memeriksa apa yang terjadi dengan tumpakan kami. Riyan sudah feeling bahwa ban motornya pecah. Maklum, kata Riyan ia tak pernah mengganti ban luar motornya sejak ia pertama kali membeli motor itu pada 2011 silam. Hal ini tampak dari ban depan motor yang sudah amat tipis.
Benar saja, setelah kami cek, ban depan motor yang kita tunggangi bocor. Tapi seperti semua orang mengenal Riyan, tak nampak aura panik dalam wajahnya. Kendati di jalan yang sepi di tengah-tengah perkebunan tebu, ia sama sekali tak menunjukkan rasa khawatir yang membebani wajahnya. Pembawaannya tenang sembari mengusulkan kalau kita tetap menunggangi motor ini tapi dengan kecepatan yang rendah.
Mengendarai motor dengan ban depan yang bocor di tambah seorang penumpang menungganginya bukanlah perkara yang mudah. Aku mesti super hati-hati agar tak jatuh tersungkur ke beton jalan.
Dalam benakku, mana mungkin di tengah jalan sepi apalagi tengah malam seperti ini ada bengkel. Kalaupun ada, pasti sudah tutup. Tapi qadarullah, setelah sekitar kami setengah jam mengendarai motor dengan ban depan bocor, akhirnya menemukan sebuah bengkel.
Kelihatannya bengkel pinggir jalan tersebut merupakan bengkel khusus teruk. Kami coba tanya apakah mereka berkenan untuk mengganti ban motor kami yang bocor tersebut. Alhamdulillah ternyata mereka bersedia, di situ serasa beban kami gugur satu. Tapi tak menggugurkan kalutnya pikiranku, aku terus kepikiran bagaimana keadaan ayahku.
Memori Trans Bumiayu-Pejagan
Ilustrasi: Aerial View Jembatan Sungai Pemali Poncol
Jalan Bumiayu-Pejagan bukan tempat baru bagiku, jauh sebelum kejadian ini aku sudah beberapa kali melewati jalur ini. Jalur ini memang dikenal jalur utama menghubungkan wilayah Barat, termasuk daerah di Jawa Barat bagian Utara dan sisi Barat Laut Jawa Tengah, seperti Tegal, Brebes dan Slawi ke arah Bumiayu, Cilacap dan Purwokerto maupun Purbalingga.
Di siang hari, pemandangan di jalur ini bagiku begitu memanjakan mata. Hamparan sawah, kebun tebu dan ladang bawang merah bak karpet hijau yang Allah bentangkan di atas muka bumi. Bukit-bukit hijau serta Gunung Slamet yang menjulang tinggi menambah indahnya pemandangan di jalur ini.
Ada lagu yang selalu mengingatkanku pada tempat ini, yakni Kembali ke Jakarta karya Koes Plus dan Ingin Hilang Ingatan dari Rocket Rockers. Kedua lagu ini yang sering aku putar kala melewati jalur ini. Maklum saat itu aku masih mempunyai handphone jadul yang hanya bisa diisi beberapa lagu saja. Termasuk ke dua lagu itu, jadi dalam perjalanan seringkali kedua lagu tersebut diulang-ulang terus.
Kali pertama melalui jalur ini dengan sepeda motor adalah bersama teman sekelas di kampus. Namanya Fadhli Dzil Ikram atau kawan-kawan memanggilnya AA. Waktu itu sama di bulan puasa juga menjelang lebaran usai ujian akhir sementara selesai diselenggarakan. Kebetulan AA orang Cirebon dan waktu itu dia bilang mau mudik naik motor. Akhirnya berangkatlah kita.
Pernah juga naik motor sendiri lewat jalur ini. Waktu itu menjelang Idul Adha dan pas libur beberapa hari di kampus. Aku pengen pulang tapi duit tak cukup untuk naik bis apa lagi pesan tiket kereta.
Alhasil aku berpikir beberapa saat bagaimana supaya bisa pulang tapi tak perlu mengeluarkan ongkos yang besar. Entah mengapa waktu itu aku teringat Bagas Billowo, yang juga salah satu teman sekelasku. Aku ke kosan dia dan mengutarakan maksudku untuk meminjam motornya.
Singkat cerita aku akhirnya dipinjamkan motor sahabat Bagus berhubungan motornya masih ia pakai. Dan betul saja hanya dengan 25 ribu buat ongkos bensin, aku bisa sampai ke tujuan dengan selamat.
Aku juga pernah menembus gelapnya jalur ini sebelumnya bersama Adum Kurnia Praja. Waktu itu demi keperluan mengurus beberapa dokumen guna keperluan membuat paspor. Saat itu kita juga berangkat dari Purwokerto sekitar pukul 10 malam. Namun di tengah perjalanan, usai melewati Kota Cirebon kami tak kuasa menahan kantuk dan memilih tidur di sebuah masjid pinggir jalan.
Usai Subuh kami lanjutkan perjalanan ke arah tempat tinggalku yang ditempuh sekitar satu jam perjalanan lagi. Dan Alhamdulillah, saat itu aku bersama Adum sampai juga dengan selamat di rumahku.
Perjalanan Kembali Dilanjutkan
Setelah menunggu beberapa saat ban motor kembali normal, kita bergegas untuk melanjutkan perjalanan. Usai sekitar satu jam menempuh perjalanan dari bengkel tersebut, kami dihadapkan pada persimpangan, apakah kami memilih jalur Pantura atau lewat jalur belakang kembali melalui kebun-kebun tebu.
Entah apa yang membuat kita akhirnya memilih lewat jalur belakang yang tembus ke arah Sindang Laut. Maksud hati lewat jalur belakang supaya lebih cepat dan jalanan pun lebih sepi agar bisa memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi, justru yang terjadi waktu tempuh kami lebih lama.
Jalanan begitu sepi, hanya beberapa kali tatkala melewati perkampungan warga kami mendapatkan penerangan yang cukup di perjalanan. Sisanya kami cukup kesulitan memacu motor dengan kecepatan tinggi di tengah jalan yang miskin penerangan.
Karena cukup lama kita terjebak di jalan itu dan tak kunjung menemui jalur Pantura (jalur utama). Akhirnya kami memilih untuk mencari jalan alternatif untuk bisa tembus ke arah Pantura. Kami tahu bahwa arah kami melaju adalah ke Barat, sementara Pantura ada di arah Utara atau ke sebelah kanan kami.
Awalnya skenario ku bagaimana supaya motor yang kami tunggangi tidak melewati Cirebon Kota. Kami ingin tembus melalui Sumber, Kabupaten Cirebon. Tapi apa lacur, kami tak sabar dan peta yang sudah aku hafalkan sebelumnya di tempurung kepala sudah ambyar.
Akhirnya kita mencoba untuk mencari belokan yang mengarahkan kami ke arah Utara. Tak lama kami pun menemukannya, seperti biasa jalanan di sana begitu gelap dan sepi. Karena tak kunjung tiba di Pantura, kami pun beranikan diri untuk bertanya ke sekelompok warga yang aku tebak mereka usai mencari burung atau kodok di sawah. Kami tanyakan ke mana arah jalan yang menembus Pantura.
Mereka menjawab kalau kita lurus saja akan tiba ke Pantura, tapi mereka tidak menyarankan kita melalui jalan tersebut. Mereka beralasan kalau jalan lurus rawan akan begal, tapi memang lebih cepat untuk sampai ke Pantura.
Mereka menyarankan agar kita belok ke arah kanan yang artinya kami mesti kembali ke arah Timur. Awalnya kami ragu saran mereka, tapi lagi-lagi tak ada pilihan lain kita mesti mencoba untuk menuruti arahan mereka. Toh kami lihat mereka sebagai orang yang baik-baik.
Meskipun di tengah perjalanan terbesit rasa curiga dalam benakku, apakah jangan-jangan mereka begal dan kami dijebak untuk diarahkan ke jalur yang sepi agar bisa ditodong. Namun pikiran itu seketika menghilangkan saat kami kembali menjumpai perkampungan yang cukup terang. Beberapa warga sudah nampak keluar rumah dan sekelompok anak muda mencoba membangunkan warga untuk sahur.
Tak lama dari perkampungan tersebut, jalur yang kami tunggu-tunggu akhirnya terlihat. Kami pun telah sampai di jalur Pantura yang saat itu nampak masih ramai dari penggunaan jalan.
Kami lupa pukul beberapa kami tiba di Pantura, tapi kira-kira dari awal kami masuk ke jalur tersebut hingga sampai ke RSUD Arjawinangun tepat ayah dirawat butuh waktu satu jam. Kami tiba disana sekitar pukul 03.00 dini hari. Tepat saat orang-orang santap sahur. Luar biasa, tak ada rasa letih dalam diri ini menempuh perjalanan hingga lima jam dari Purwokerto.
Aku tak tahu pasti bagaimana keadaan Riyan kala itu. Letih mungkin, tapi sekecap pun aku tak mendengar ia mengeluh.
Tiba di Rumah Sakit
Aku bergegas masuk ke dalam ruangan tempat ayah dirawat, di sana sudah ada adik dan ibuku mendampingi tubuh ayah yang tengah terbujur koma. Ada kedua pamanku yang jauh-jauh dari Cikarang menengok keadaan ayahku.
Setelah itu kami diminta ibu untuk bersantap sahur di warung depan rumah sakit. Aku ajak Riyan yang saat itu terlihat begitu letih. Aku sama sekali tak letih, sedikit rasa cepek pun tak ada. Segala pikiranku tertuju pada keadaan ayah.
Saat itu entah mengapa aku seketika kehilangan nafsu makan. Aku hanya makan beberapa sendok dan minum air putih beberapa tegukan saja. Setelah santap sahur Riyan mungkin tak kuasa menahan kantuk yang begitu berat, ia tertidur di lantai depan ruangan tempat ayah dirawat. Sementara aku masih mengurusi beberapa keperluan bersama paman.
Menjelang zuhur, aku ajak Riyan untuk pulang ke rumahku. Jaraknya lumayan jauh dari rumah sakit. Ditempuh sekitar setengah jam perjalanan dari sana.
Di tengah perjalanan rasa letihku mulai menghinggap, tenggorokan begitu kering, rasa lemas gara-gara sahur yang kurang serta dari tadi malam belum beristirahat seakan memperparah keadaan itu. Tiba di rumah aku segera baringkan badanku karena saking lelahnya.
Tak terasa waktu menunjukkan pukul setengah lima sore kala Riyan membangunkanku untuk shalat ashar. Badanku rasanya sakit semua bahan seakan aku kehilangan kemampuan koordinasi dalam beberapa saat. Satu kata yang menggambarkan keadaanku waktu itu "letih". Rasanya belum puas badan ini untuk beristirahat.
Kami Pun memilih untuk berbuka di sebuah warung makan pinggir jalan di kampungku. Sembari membicarakan beberapa hal. Usai Isya kami kembali ke rumah sakit tempat ayah kami dirawat.
Miris, itu kata yang aku rasakan saat melihat ayahku kala itu. Beliau masih terlihat koma di ranjang rumah sakit. Tapi keadaan memaksaku untuk kembali pulang ke Purwokerto malam itu juga. Berhubung hari Seninnya, aku mesti menghadap ke para penguji skripsi ku untuk mempresentasikan hasil penelitianku.
Seingatku malam itu adalah malam Minggu, aku masih punya waktu sehari untuk mempersiapkan presentasi ku sebelum hari Senin siap diuji. Makannya tidak bisa tidak kami mesti tiba di Purwokerto pada Minggu paginya.
Aku masih ingat kami bertolak ke Purwokerto sekitar pukul 21.00. Saat itu masih aku yang mengambil kendali sebagai pengemudi motor. Tapi belum sampai memasuki wilayah Brebes, rasa kantuk kembali menghinggapi diri ini. Aku tak kuasa untuk kembali mengemudi dan akhirnya aku pun minta Riyan untuk mengambil kendali kemudi.
Namun jadi penumpang justru memperparah rasa kantuk ku. Aku beberapa kali mau jatuh dari motor gara-gara tertidur di perjalanan. Sampai kami kembali tiba di jalur Trans Bumiayu-Pejagan. Aku bilang ke Riyan supaya kita beristirahat saja di pom bensin.
Alhamdulillah tak lama kami menemukan sebuah pom bensin pinggir jalan dan kami labuhkan kendaran kami ke sana. Di area pom bensin ada sebuah langgar. Kami pun bergegas untuk beristirahat di dalam langgar tersebut.
Saat waktu sahur, Riyan membangunkanku untuk menyantap sahur namun karena saking capainya, aku tak menggubris ajakannya. Melihat aku balik tidur, ia pun kembali tidur tanpa santap sahur.
Menjelang subuh, langgar tersebut sudah mulai ramai dan kami pun bergegas untuk menunaikan shalat subuh. Setelah itu perjalanan ke Purwokerto kembali kami lanjutkan. Dan Alhamdulillah kami tiba dengan selamat sekitar pukul 08.00 di Kota Satria tersebut.
Kisah ini sengaja ku goreskan supaya anak cucu ku kelak tahu bahwa kakeknya pernah berhutang budi sama banyak pihak, salah satunya Riyan. Dengan begitu aku berharap mereka tak berlaku sombong kepada siapapun. Aku harap ini juga dibaca cucunya Riyan agar mereka tahu kakeknya pernah begitu berarti dalam kehidupan seseorang.
0 komentar:
Posting Komentar