Ada tempat yang lebih aku sukai dibandingkan kampung halamanku sendiri. Adalah Kebumen, sebuah kota di sisi sebelah selatan Pulau Jawa dan menghadap langsung ke arah Samudera Hindia.
Bagi mereka yang mencintai keramaian, tak akan menemukan sesuatu yang spesial dari kota ini. Namun bagiku, kota ini begitu istimewa. Selain karena warganya yang ramah (subjektif), kota ini juga begitu sederhana. Terutama di daerah-daerah pedalamannya.
Pernah diberikan kesempatan untuk menjelajah di sebagian wilayah kota ini. Waktu itu aku ambil proyek survei untuk menentukan geolokasi dari salah satu perusahaan air minum dalam kemasan.
Survei geolokasi tersebut guna menentukan titik di mana saya ritel mitra perusahaan itu. Jadi
Sekitar dua mingguan aku menjelajah kota itu. Karena cukup jauh dari Purwokerto, aku mesti bolak-balik dengan waktu tempuh yang lumayan lama.
Situasi serba terbatas, untuk mobilitas dari Purwokerto ke Sumpiuh, tempat distributor air minum wilayah Kebumen, aku mesti meminjam motor milik teman. Dua kali aku gonta-ganti motor punya teman yang berbeda. Selain itu, karena handphone ku handphone jadul, aplikasi untuk merekam geolokasi tak bisa dioperasikan. Alhasil terpaksa harus minjam juga ke teman yang memang memiliki lebih dari satu handphone.
Bolak-balik Pagi dan Petang
Aku ingat waktu itu aku baru lulus dari kampus Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) di medio akhir 2018. Waktu senggang yang banyak ditambah belum ada niatan untuk meninggalkan Purwokerto membuat aku terjun di pekerjaan ini. Lebih penting dari itu aku bisa memiliki uang tambahan untuk memenuhi keperluan di Purwokerto.
Momen setelah lulus merupakan hari-hari kita yang penuh akan kebimbangan. Kendati jauh-jauh hari kita telah mempersiapkan dan membuat rencana apa yang mesti kita lakukan setelah lulus, tapi tak bisa ditampikkan bahwa itu semua bisa sirna karena satu dan lain hal.
Akhirnya aku memilih untuk tetap di Purwokerto sembari merenungkan kembali mau ke mana setelah ini. Jujur aku tak berminat awalnya untuk kerja ke kota, selain sudah terlanjur nyaman dengan Purwokerto aku juga punya prinsip sendiri untuk menolak untuk bekerja. Hal ini sebelum keadaan dan tekanan merubah segalanya.
Saat menjalani aktivitas sambilan sebagai surveyor, aku mesti bolak-balik dari Purwokerto ke Sumpiuh yang jika naik roda dua ditempuh sekitar satu jam perjalanan. Jujur aku menikmati momen itu kendati mesti berangkat pagi dan pulang menjelang Magrib, aku begitu meresapi setiap detik perjalanannya.
Momen yang paling aku sukai adalah saat pulang menjelang Magrib. Bisanya aku ditemani sunset yang begitu syahdu di sisi kiri ku. Ia seakan menyapa dan mengucapkan "hati-hati ya". Rasanya itu tak bisa tergambarkan, sampai saat ini aku masih mengingat perasaan itu.
Ada juga jalan yang senantiasa membuatku rindu akan momen itu. Nama jalannya adalah Sokawera-Kemranjen. Jalan yang menembus perbukitan Kemranjen ini merupakan alternatif dari Banyumas ke Kemranjen yang keluarnya di Jalan Raya Kecila-Kemranjen. Jalan raya ini yang menghubungkan langsung ke Kebumen yang sebelumnya melewati Sumpiuh terlebih dahulu.
Bagi penggemar durian, nama Kemranjen tak asing di telinga mereka. Pasalnya di daerah ini merupakan salah satu sentra durian di Banyumas. Di sini pulalah banyak dihasilkan durian Bawor, durian khas Banyumas yang terkenal memiliki cita rasa yang menggoda.
Dulu saat aku menemani seorang kawan untuk membeli durian di sini harga duriannya cukup mahal untuk kantongku. Berkisar Rp 30 ribu hingga 40 ribu per kilogramnya. Harga yang mahal bagiku untuk buah yang berat kulitnya saja berkisar satu kilograman.
Kesederhanaan yang Tak Bisa Kulupakan
Dari depot di Sumpiuh, aku masih mesti menempuh perjalanan sekitar setengah jam atau sejaman untuk tiba di lokasi survei. Kebetulan aku survei ditemani seorang salesman dari pihak distributor tersebut yang memang setiap hari bertugas untuk mendata pesanan para pemilik toko.
Kami tandem menunggangi motor milik si salesman. Supaya beban perjalanan lebih murah. Maksudnya agar cukup isi bensin sekali saja kalau menggunakan satu motor. Aku pun menawarkan dia supaya aku saja yang membayar biaya bensin. Tapi dia menolak, dia bilang agar biaya bensin patungan saja dengan cara selang-seling. Hari pertama aku yang bayar, katanya kemudian hari kedua dia yang bayar dan hari berikutnya saya lagi dan bergantian seperti itu seterusnya.
Aku pun menyempatkan opsi yang sama-sama menguntungkan tersebut. Tanpa basa-basi lagi, hari itu kita berangkat ke lokasi survei untuk mendatangi setiap toko di wilayah kerja salesman tersebut.
Setiap hari, sekitar 30 hingga 45-an toko kami datangi. Kadang-kadang juga hingga 50 toko lebih. Semakin banyak toko yang ditangani, maka semakin sore kami untuk pulang.
Saat survei itu aku semakin menyadari begitu sederhananya wajah Kebumen yang kulihat. Bahkan suatu ketika aku pernah makan di salah satu kedai pinggir jalan dan satu porsi makanan dipatok sekitar Rp 5 ribu.
Kala istirahat makan siang, aku pun sering mendengar curahan kisah hidupnya. Aku begitu suka mendengarkan kisah perjalanan hidup seseorang, selain demi menghargai mereka yang mempercayai kita untuk menceritakan kisahnya, hal itu pula demi pembelajaran hidup ku.
Awalnya aku pikir dia lebih tua dari ku. Berkisar selisih tiga ataupun empat tahun lebih tua. Tapi setelah kutanyakan usianya, ternyata lebih tua beberapa bulan dariku. Di usia yang tak beda jauh dengan ku, ia sudah memiliki anak yang kalau tidak salah berusia dua atau tiga tahun. Aku masih mengingat wajahnya dengan jelas, raut mukanya mengingatkan ku pada salah seorang kakak tingkat sewaktu masih berkuliah di UGM.
Sepanjang perjalanan bersama dia, aku rekam baik-baik setiap sudut Kebumen yang kami lalui. Kendati cuaca panas, kita tak ragu untuk terus memacu kendaraan kami. Karena kalau tidak, waktu akan keburu sore.
Suatu hari, aku pernah diajak survei di sekitar pasar Gombong. Di sana rata-rata toko yang kami kunjungi milik para kaum Tionghoa. Hal ini mendorongku untuk mencari tahu sejarah masa lalu Gombong waktu itu.
Saksi Bisu Penjajahan
Sejak era kolonial, wilayah Gombong bukanlah daerah yang biasa. Posisinya begitu strategis bagi Belanda. Hal ini dibuktikan dengan bercokolnya Benteng Van Der Wijck buatan Belanda pada abad ke 18 di tanah ini.
Bukan hanya itu, perkembangan pariwisata di Gombong sejak era kolonial tak diragukan lagi. Hal ini terlihat dari bercokolnya beberapa hotel di Gombong sejak pemerintahan kolonial Belanda.
Dalam tulisannya, Teguh Hindarto menjelaskan sejak tahun 1800-an telah terlacak keberadaan sejumlah hotel di wilayah Gombong. Hal ini diketahui dari “advertentie” (iklan) di surat-surat kabar terbitan pada zaman tersebut.
Menurut Teguh, iklan paling awal yang tercatat dalam koran De Locomotief bertanggal 5 Mei 1880 menyebutkan nama Hotel Gombong dengan deskripsi:
"Aanbevolen:
Hotel Gombong (Midden Bagelen)
benevens Do- a Dos verhuurderij van en tot Boentoe- Poerworedjo v.v. indien de reizigers een nacht overblijven."
Teguh menjelaskan, Frasa, indien de reizigers een nacht overblijven (jika pelancong menginap) sudah mengindikasikan kegiatan perjalanan, entahkah dengan tujuan wisata ataupun bisnis. Istilah Dos a Dos berasal dari bahasa Prancis yang artinya “punggung pada punggung” yang kemudian oleh orang Batavia dieja Sado. Nama lain untuk Dos a Dos adalah Delman. Penamaan Delman berasal dari penemunya yakni Ir Charles Theodore Deeleman, seorang insinyur, pandai irigasi yang memiliki bengkel besi di pesisir Batavia (Jakarta sekarang).
Iklan berikutnya, kata Teguh berasal dari De Preanger-bode bertanggal 07 November 1898 berbunyi:
"Het naast bij zijnde v/h. Spoor-station.
NIEUW GEOPEND.
Ruime, luchtige kamers.
Bij maandelijksch verblijf worden billijke voorwaarden getroffen.
Keuken onder Europeesch toezicht.
Voor zindelijkheid en nette bediening wordt ingestaan.
Eten ook buitenshuis verkrijgbaar.
Wagens aan alle treinen. Brieven en telegrammen: Hotel RICHTER, Gombong.
Beleefd aanbevolen:
A. A. RICHTER."
Teguh menjelaskan, frasa Bij maandelijksch verblijf worden billijke voorwaarden getroffen (Kondisi yang layak untuk masa inap bulanan) dan Keuken onder Europeesch toezicht (Dapur di bawah pengawasan orang Eropa) mengindikasikan sebuah kegiatan bisnis dan pengunjung orang-orang Eropa.
Teguh melanjutkan, sebuah iklan yang dikeluarkan oleh Bataviasch Nieuwsblad, 21 Oktober 1904 menyebut Hotel Pellen di Gombong bersama sebuah peta perjalanan (wisata?) dengan keterangan Aan te Bevelen Hotels (hotel-hotel yang direkomendasikan). Menurutnya kemungkinan Hotel Pellen yang disebutkan pada tahun 1904 adalah Hotel Gombong yang disebutkan pada tahun 1880 karena menyebut nama pemilik yang sama.
Teguh masih merincikan beberapa nama lainnya Hotel di Gombong yang tertera dalam kolom iklan surat kabar pada zaman kolonial. Hal ini semakin mempertegas perkembangan Gombong sebagai sentra pariwisata dan peradaban di zamannya.
Jejak Tokoh Kecantikan
Ilustrasi: Rumah Martha TilaarMenelisik sejarah Gombong, aku tertuju pada sejarah Tokoh Kecantikan Indonesia, Martha Tilaar sebagai pengusaha produk kecantikan di Indonesia. Ia ternyata berasal dari Gombong.
Sebagaimana dikutip dari Liputan6.com (11/6/2018), Martha Tilaar dibesarkan di daerah ini. Kakeknya diberi kepercayaan oleh pemerintahan Belanda untuk merawat sapi-sapi mereka, dan mensuplai kebutuhan susu serta roti para kompeni.
Di balik tanah peternakan keluarga Martha Tilaar, ada sawah dan sungai yang terhampar luas.
"Jadi saya sebagai anak yang nakal banget, yang aktif, jadi saya main di situ. Akibatnya jadi saya iteeem, iteeem sekali," kata wanita itu.
Menurut keterangannya, kebiasaannya itu baru mulai berubah ketika ia masuk ke sekolah guru (IKIP Jakarta yang sekarang menjadi Universitas Negeri Jakarta), di usia remaja.
"Di sekolah saya sering dipanggil, 'Eh dakocan, dakocan.' Saya jadi sedih," lanjutnya. Ibunya pun menyarankan Martha Tilaar untuk merawat dirinya lebih baik. "Nanti murid-murid kamu takut, lho," ujar sang Ibu kala itu.
Warisan Lantai Samudera
Ilustrasi: Perbukitan Karst di Sisi Selatan KebumenPengalamanku di Kebumen bukan hanya sebatas di Gombong saja. Kecamatan lain di kabupaten ini juga tak kalah meninggalkan kesan yang mendalam bagiku. Adalah Kecamatan Ayah, Kebumen tak kalah berkesan dibanding Gombong.
Di kecamatan ini tersembunyi sebuah pantai yang begitu sedap dipandang. Pantai Surumanis tersembunyi di balik tebing curam bibir pantai di Kecamatan Ayah. Di pantai ini aku seakan dihamparkan keagungan Allah SWT yang telah menciptakan megah dan indahnya samudera.
Pantai ini begitu unik, ia bukan hanya berbatasan dengan Samudera Hindia, pantai ini juga memiliki tebing yang begitu curam.
Permukaan pantai dengan tebing berjarak sekitar 100 meter. Ada dua cara untuk menikmati panorama alam di sana. Pertama dengan tetap berada di atas tebing sembari menikmati bentangan tebing-tebing pantai di sekitar dan memandang megahnya lautan Hindia yang begitu luas. Atau turun ke bawah pantai dengan medan yang lumayan terjal.
Ketika turun ke bawah pantai kita seakan seekor semut yang sedang berdiri di atas tembok tinggi. Tebing yang tersusun dari batuan purbakala membuat kita semakin merasa bukan apa-apa di dunia ini. Tak lebih dari sebutir debu yang memiliki akal.
Momen yang tak kalah berkesan di pantai ini saat Ramadhan 2017. Saat ini aku dan Riyan Nurrahman sengaja berburu sunset di atas tebing Surumanis. Aku tak bisa mengungkapkan perasaanku kala itu, indah, syahdu, campur aduk. Ada perenungan mendalam saat menyaksikan luasnya laut di tambah bunyi hantaman ombak yang menerjang karang di bawah tebing. Angin yang tenang menerjang wajahku membuat diri ini tak kuasa semakin melebur dalam lamunan.
Sore itu aku berkali-kali tak hentinya memuji keagungan Allah SWT. Aku pengen hidup seribu tahun demi menikmati ini, kataku dalam renungan.
Dalam lamunan itu mataku tertuju pada struktur batuan penyusun tebing di sana. Aku lihat bentuknya seperti koral laut yang terangkat ke daratan. Akhirnya aku coba cari tahu karena rasa penasaran yang makin menggebu.
Kalau kita perhatikan di peta, sisi selatan Kebumen yang berbatasan langsung dengan lautan lepas memang sedikit menonjol. Struktur batuannya pun berbeda dibandingkan kawasan lain. Wilayah selatan dari Gombong ini tersusun atas perbukitan karst yang dominan ditumbuhi pohon jati.
Usut punya usut ternyata wilayah sebagian besar wilayah Kebumen dahulunya merupakan lantai samudera purbakala yang terangkat ke permukaan atas dorongan tenaga edogen dari perut bumi. Menurut Peneliti Utama LIPI, Chusni Ansori yang dikutip melalui Detik Travel (23/1/2019), jika melihat lokasinya secara langsung, maka lokasi ini diyakini oleh para ahli sebagai lantai samudra purba yang muncul ke permukaan akibat adanya proses pergerakan lempeng bumi.
"Ya, kami menyebutnya sebagai lantai dasar samudera purba. Kawasan tersebut pertama kali ditemukan oleh peneliti geologi asal Belanda RDM Verbeek dan R Fennema pada sekitar tahun 1881," jelas Chusni Ansori.
Himpunan batuan beraneka ragam, jenis dan ukuran ditemukan di lokasi geosite ini. Ukurannya pun mulai dari yang kecil hingga batuan yang berukuran raksasa sebesar bukit tersebar di beberapa lokasi.
Hal ini dipertegas pula oleh geolog Belanda bernama RDM Verbeek dan R Fennema yang pertama kali menemukan tanah dasar Pulau Jawa pada 1881. Sepuluh tahun kemudian, pada 1891, Verbeek kembali menemukan fosil Nummulites dan Orbitulina di Sungai Luk Ulo. Dari penelitiannya itu, diperkirakan batuan tua tersebut berumur 117 tahun (Mongabay, 28/1/2019).
Chusni Ansori memperlihatkan salah satu bukti fenomenal yakni lantai dasar Samudra Hindia yang memiliki kedalaman 4 km terangkat dan membentuk daratan Pulau Jawa. Jejaknya tersingkap di tebing Kali Muncar, Desa Seboro, Kecamatan Sadang, Kebumen. Di sungai bagian hulu tersebut, ada lava basal seperti bantal bertumpuk. Warga setempat mengidentikkan dengan alat musik gamelan yang berbentuk kenong dan gong. Sedangkan di bawahnya ada batuan yang tegap berdiri berwarna merah. Ada batuan rijang dan batu gamping.
“Yang kita jejak di sini, dulunya merupakan lantai Samudra Hindia. Ada riset-riset yang membuktikan kalau jenis batuannya sama dengan yang ditemukan di dasar Samudra Hindia. Di sinilah bukti terangkatnya lantai samudra akibat tumbukan lempeng Indo-Australia dari selatan dengan Eurasia di utara. Bebatuan di sini menyingkapkan sejarah perjalanan evolusi bumi. Bebatuan yang ada di sini berusia 117 juta tahun yang lalu hingga sekitar 80 juta tahun silam. Prosesnya memang sangat panjang, tetapi hal ini membuktikan bahwa lempeng terus bergerak dan bisa bertumbukan. Kalau bukti lempeng Eurasia adalah adanya batuan marmer, tetapi ditemukan di tempat lain di kawasan Kebumen,” ungkap Chusni yang telah meneliti di Karangsambung puluhan tahun lalu.
Chusni menerangkan dari studi geologi di Karangsambung, ada enam sejarah proses geologi yang ditemukan. Yakni pembentukan awal Pulau Jawa yang dimulai sejak 117 juta tahun hingga 55 juta tahun yang lalu. Kemudian masa sedimentasi longsoran laut dalam mulai 55 juta hingga 25 juta thun lalu.
“Fase ketiga adalah pembentukan old andesit formation (OAF) atau gunung api purba yang terjadi pada 25 juta hingga 16 juta tahun silam. Kemudian keempat adalah paparan karbonat pada 16 juta hingga 10 juta tahun lalu, kemudian kelima gunung api halang pada masa 10 juta hingga 2 juta tahun lalu, lalu keenam endapan allluvial dan pantai yakni kurang dari 2 juta tahun lalu,” jelas Chusni.
Terakhir, saya kembali menegaskan bahwa berbagai kelebihan itulah yang membuatku sulit untuk melupakan kesederhanaan dan kebersahajaan kota ini. Semoga kelak kita bertemu lagi Kebumen.
0 komentar:
Posting Komentar