Gagasan

Perjalanan Panjang Mencari Harapan di Antara Semarang-Kartasura

Ilustrasi: Aerial View Tugu Kartasura


2013 adalah tahun-tahun krusial bagi hidupku. Di tahun ini, harapan dan tantangan seakan berkecamuk di hadapan. Pantas saja, di pertengahan tahun ini aku baru saja menamatkan jenjang pendidikan menengah atas selama tiga tahun penuh.

Lika-liku di SMA, kesedihan dan air mata di masa ini seakan terbayar lunas. Namun masih ada pekerjaan rumah yang mesti aku selesaikan. Melanjutkan ke jenjang berikutnya adalah rencanaku sejak kali pertama menginjak kelas tiga SMA.

Aku sadar keuangan keluargaku tak akan mampu untuk menggapai asaku itu. Tapi aku selalu percaya bahwa selama manusia sadar akan tujuannya, maka tak ada yang tak mungkin baginya.

Semangat Seorang Perempuan Tomboy

Saat masih SMA, budaya di sekolahku setiap awal tahun (sekitar bulan Januari-Februari) memang ada senior dari universitas negeri yang datang ke sekolah. Budaya ini bagus menurutku, selain memacu semangat anak-anak di tempatku untuk melanjutkan ke perguruan tinggi setelah SMA, kita juga diberikan gambaran apa saja yang mesti dipersiapkan untuk kuliah.

Saat itu ada kakak-kakak senior dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menyambangi sekolahku. Aku masih ingat ada seorang perempuan tomboy yang berbicara di depan kelas kami bak sales yang sedang menawarkan dagangannya.

Ia terlihat begitu antusias menceritakan kisahnya untuk bisa berkuliah. Tak tanggung-tanggung, ia mengaku rela naik sepeda motor bersama temannya dari Indramayu ke Jogja saat hendak mengikuti ujian tulis di UGM. Terinspirasi dari perempuan tomboy inilah akhirnya yang membuat tekadku bulat bahwa aku mesti kuliah.

Singkatnya, aku mengikuti banyak ujian tulis di kampus negeri sampai akhirnya aku diterima di salah satu kampus negeri di Yogyakarta. Sejujurnya aku bukanlah orang yang cukup berani waktu itu untuk keluar dari kota, tapi lagi-lagi keadaan memaksa bahwa aku harus berani. Pengalaman dari terbiasa mengikuti ujian tulis masuk perguruan tinggi negeri jugalah yang membentuk keberanianku.

Aku bingung mau naik apa untuk ke Jogja, sebelumnya memang pernah ke Jogja saat hendak mengikuti tes beasiswa pada perguruan tinggi negeri Islam di sana. Tapi itupun aku berangkat dari Ungaran usai mengikuti tes di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang.

Sedikit cerita, saat tes di Semarang aku begitu ingat saat itu bulan Ramadhan di 2013. Aku menginap di salah satu teman SMA yang kebetulan tinggal di sana. Namanya Robi, ia amat baik kendati semasa SMA aku tak begitu dekat dengannya. Pernah suatu sore menjelang berbuka puasa aku diajaknya berkeliling di sekitar Kendal. Kalau tidak salah daerah Kaliwungu, suatu kecamatan di sana yang berbatasan dengan Semarang.

Saat itu aku begitu terharu, bagaimana tidak dengan diberikan tempat menginap saja aku sudah amat bersyukur. Tapi Robi benar-benar memberikan lebih, waktu itu aku begitu terkesan akan penghargaannya terhadap ku. Tak hanya itu, Robi juga mengantarkan aku ke lokasi ujian. Padahal jaraknya lumayan memakan waktu dari tempat kita menginap.

Bus Sepi

Karena aku sama sekali tak tahu mesti naik apa, saat itu aku benar-benar tak mengerti bahkan untuk naik kereta api. Akhirnya dipilihlah untuk menggunakan bus antar provinsi. Kendati aku begitu terpaksa untuk naik bus, mengingat aku mudah untuk mabuk darat. Dan jika sudah mabuk rasanya benar-benar menyiksa.

Masuklah aku ke dalam bus dengan dibantu bapak untuk memasukkan koper yang penuh dengan baju pribadiku ke dalam bus. Aku pun pamit ke beliau, bismillah kataku dalam hati.

Perasaanku campur aduk saat itu. Aku termenung di dalam bus sambil bertanya dalam hati kenapa aku registrasi ulang ke perguruan tinggi tak ditemani siapa-siapa. Padahal, lanjutku dalam hati kawan-kawan yang lain mereka dihantar oleh keluarganya. Tapi aku berusaha tepis pikiran itu, aku kuatkan bahwa keadaan memang memaksaku untuk seperti itu.

Bus yang kunaiki cukup sepi. Di dalamnya hanya ada aku dan beberapa penumpang yang kalau kuhitung tak sampai tujuh orang. Karena takut mabuk di perjalanan aku berusaha memejamkan mata sembari terdengar sayup-sayup suara musik Hati yang Luka yang dibawakan Betharia Sonata melalui sebuah rekaman. Aku harap ketika bangun bisa langsung sampai di Jogja.

Karena aku berangkat usai zuhur, maka saat menjelang magrib aku baru sampai di Semarang. Aku terbangun karena teriakan kernet yang mengatakan bahwa bus hanya sampai Semarang. Mendengar itu aku tersentak kaget. Perasaan panik tak bisa ku sembunyikan mengingat aku tak tahu mesti naik apa setelah itu.

Dengan terpaksa aku turun dari bus beserta menjinjing koper dan tas ranselku. Aku sedikit marah ke kernet karena awalnya dia bilang bus itu sampai ke Jogja tapi nyatanya aku diturunkan di Semarang.

Tapi kernet tak menggubris, dia hanya menyerahkan sejumlah uang karena tak bisa mengantarkanku sampai ke tujuan. Dia pun bilang kalau nanti aku naik bus ke arah Kartasura, Solo untuk selanjutnya naik bus lagi dari sana menuju Jogja. Sedikit muter-muter memang, tapi entah kenapa aku juga tak mengerti kernet bilang kalau sudah malam tak ada bus dari Semarang yang menuju Jogja.

Menuju Kartasura

Baiklah, kataku dalam hati. Kendati kecewa tapi aku pikir ya sudahlah. Alhamdulillah-nya tak lama bus menuju Kartasura tiba. Kondisi bus kali ini lebih ramai dibandingkan bus yang sebelumnya aku tumpangi. Aku memilih duduk di depan, di belakang supir tepatnya.

Tak lama setelah duduk di bus, seorang perempuan yang cukup berumur menegurku. Aku perkirakan usianya saat itu antara 45 sampai 50 tahun. Ia menanyakan tujuanku hendak ke mana. Mungkin dia tahu saat itu aku panik tergambar jelas dari raut wajahku.

Aku ceritakan bahwa aku mau ke Jogja mesti lewat Kartasura gara-gara bus yang awalnya ku tumpangi tak mengantarkanku sampai tujuan. Ia pun terus bertanya mau ada apa ke Jogja. Aku pun menjawab sejujurnya.

Kemudian ia berpesan agar berhati-hati dengan pergaulan di Jogja. Menurut dia pergaulan di sana bahkan lebih "parah" dibandingkan Semarang sekalipun.

Ia menceritakan bahwa banyak keponakannya yang menempuh studi di kedua kota tersebut, makannya ia paham betul mengenai pergaulan di dua tempat itu. Ia menekankan agar aku fokus studi, dan jangan sampai terjerumus ke pergaulan yang tidak benar. Aku pun mengiyakan segala nasihat tersebut.

Di tengah pembicaraan akupun reflek menanyakan pekerjaan beliau. Ia dengan tenang menjawab bahwa dirinya bekerja di sebuah yayasan untuk anak berkebutuhan khusus. Dia kembali bercerita tentang kepeduliannya terhadap anak-anak, utamanya mereka yang berkebutuhan khusus.

Karena saking lugunya aku saat itu, pertanyaanku berlanjut mengenai kepercayaannya (agama). Ia sambil tersenyum mengatakan bahwa agamanya adalah kebaikan, ia juga bilang bahwa dirinya dulu dididik dengan ajaran Kejawen oleh keluarganya.

Aku diam untuk beberapa saat, ia pun begitu. Dan akhirnya obrolan dilanjutkan mengenai topik lain. Sampai beberapa jam kita berbincang di dalam bus yang saat itu lumayan ramai.

Sampai suatu ketika beliau bertanya apakah aku memiliki uang yang cukup buat registrasi ulang esok di kampus. Aku kaget kenapa beliau menanyakan hal itu. Karena aku memang membawa uang yang cukup aku jawab sejujurnya bahwa aku memiliki uang yang memadai.

Tiba-tiba ia mengeluarkan dompetnya sembari mengambil sejumlah uang yang nominalnya aku tidak tahu persis berapa. Beliau raih tanganku sambil meletakkan sejumlah uang yang aku yakin jumlahnya tak sedikit. Beliau bilang udah ambil saja, ia paham katanya anak-anak seperti ku. Kemudian ia bercerita mengenai keponakannya yang juga kerap kekurangan uang saat berada di perantauan.

Karena aku merasa uang yang ku bawa cukup, aku kokoh untuk menolak pemberian tersebut. Sampai akhirnya ia pun memahami hal itu. Saat itu aku tak menyangka ada orang yang sepeduli itu dengan seseorang yang baru dikenalnya. Sebagai anak seusia itu, aku merasa diperhatikan layaknya seorang anak kala itu. Dalam hati aku cukup haru dengan perlakuannya.

Kemudian ia meminta nomor handphone ku untuk menjalani silahturahmi kedepannya katanya. Kita pun bertukar nomor handphone, dan setelah itu kita sama-sama tertidur di bus karena hari semakin larut.

Tiba di Pertigaan Kartasura

Ilustrasi: Tugu Kartasura


Sekitar pukul 23.00 tengah malam, aku dibangunkan oleh sang ibu di sampingku bahwa bus telah tiba di Solo atau tepatnya Pertigaan Kartasura. Aku pun terbangun dan bergegas untuk turun. Saat aku hendak turun beliau mewanti-wanti agar aku hati-hati di Jogja. Ia pun memberikan arahan setelah turun dari bus naik apa dan menunggu bus di sebelah mana. Aku mendengar secara seksama berbagai arahannya.

Tak lama menunggu di sana, bus yang akan membawaku ke Jogja pun tiba. Sebenarnya saat itu aku tak tahu mesti menginap di mana kala tiba di Jogja. Mengingat aku tak memiliki saudara maupun teman di kota itu.

Sampai akhirnya aku kepikiran buat mengontak orang yang pernah ku tumpangi untuk menginap saat hendak tes beasiswa beberapa waktu lalu sebelum hari tersebut. Untungnya dia belum tidur, ia pun mengiyakan permintaanku itu. Sampai di sana aku merasa lega. Lulus sudah satu tahapan ujian hari itu, pikirku.

About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.