Islam

Sistem Itu Holistik, Maka Pahamilah Sebelum Menilai

Ilustrasi: Pemandangan di Brebes


Meluapkan amarah dalam media sosial merupakan kebiasaan baru yang buruk bagi netizen Indonesia. Beda sedikit langsung "ngegas", nyeleneh secuil langsung cap "goblok" menempel di jidat. Ya mungkin era ini hal seperti itu sudah amat wajar.

Melongok ke akun media sosial yang kerap disebut influencer tak jarang menemukan makian bahkan dengan nada yang amat merendahkan. Hal itu sepertinya sudah biasa ditemui di lini masa para seleb medsos tersebut.

Ada yang marah, ada yang justru merasa senang dengan membuat kontroversi untuk menambah para followers. 

Beberapa waktu lalu saya melihat sebuah postingan yang beraroma mengkritik sebuah video yang menunjukkan sejumlah remaja yang tengah berjoget ria di sebuah tempat yang diduga taman. Sang pengunggah kurang lebih menuliskan "kalau sekolah ditutup, tamam dibuka."

Memang sejak pandemi Covid-19 menerpa Indonesia, pemerintah memilih cara aman untuk menghindari penularan virus Corona di lingkungan kampus ataupun sekolah. Hal ini dilakukan dengan mewajibkan penyelenggaraan pendidikan jarak jauh, baik itu lewat daring ataupun sarana telekomunikasi lainnya, termasuk TV dan radio.

Di satu sisi Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengupayakan pengurangan risiko penularan Covid-19 antar anak-anak Indonesia dengan cara menggelar pendidikan jarak jauh atau kerap disebut PJJ. Namun di sisi lain, orang tua dan beberapa pihak tidak memahami hal ini. Mereka yang mestinya mengontrol dan mencegah anaknya tidak keluyuran, malah cuek dan membiarkan anak-anaknya kelayapan.

Sungguh sebuah paradoks, maka tak heran seorang netizen mengritisi hal semacam itu. Dari kasus ini, kita mesti paham bahwa segala sesuatu itu tidak bisa berdiri sendiri. Melainkan sebuah rangkaian yang satu sama lain saling terpaut.

Anda kata jika sekolah terus menerapkan PJJ sementara mall, taman, tempat wisata dan tempat hiburan dibuka, maka saya yakin anak-anak akan banyak yang menghabiskan waktu ke tempat-tempat tersebut.


Saya termasuk tipe orang yang percaya bahwa semakin banyak waktu luang, maka semakin kita tidak produktif. Memang semuanya tergantung kita, tapi kebanyakan memang demikian. Dan PJJ menciptakan celah itu, membuat anak-anak begitu banyak memiliki waktu luang. 

Maka jika kemudian banyak anak-anak atau remaja yang justru menghabiskan waktunya ke tempat-tempat tadi, itu salah satunya karena ada rangkaian sistem yang tak saling berkoordinasi dengan maksimal.

Begitulah cara kerja sistem, ia tak bisa berjalan dengan optimal sendirian. Ia selalu membutuhkan respons atau aksi yang bersinergi dengan jaringan ataupun pihak lain.

Ambil contoh kasus tadi, jika pemerintah ngotot tetap PJJ sedangkan tempat-tempat tadi dibuka, maka jangan heran banyak anak muda yang lebih memilih menghabiskan waktunya di tempat-tempat tersebut.

Tapi jika koordinasinya baik, maka sistem itu akan menutup celah bagi anak-anak untuk menghabiskan waktunya ke tempat semacam itu. Begitulah cara kerja sistem, ia tak bisa mencapai tujuan tanpa melibatkan pihak lain.

Kasus Waris

Hal yang sama juga terjadi dalam ajaran Islam. Utamanya dalam konteks pembagian waris.

Jika berangkat dari asumsi saat ini, di mana keadilan itu sama rata, maka pembagian waris yang "adil" harus sama rata tak memandang jenis kelamin maupun status sosial. Tapi dalam Islam tidak demikian, ajaran Islam memerintahkan agar pembagian waris bagi laki-laki dua kali lipat dari perempuan.

Ajaran ini terdengar tak masuk akal bagi kita yang telah terbiasa hidup dalam masyarakat yang memiliki konsensus bahwa keadilan itu mesti sama rata. Tapi bagi Islam tidak demikian, kalau kita mau dogmatis maka kita akan bilang "ya itu sudah ajaran dari sananya". Tapi kita coba pandang secara kontekstual mengapa demikian.

Dalam Islam, yang bertanggung jawab penuh terhadap keluarga adalah kaum Adam atau laki-laki. Merekalah yang mengemban tanggung jawab mencari nafkah bagi anak dan istrinya. Sementara perempuan tidak demikian, meskipun Islam tak melarang perempuan untuk bekerja tapi tanggung jawab mereka tak sebesar laki-laki.

Dari sinilah asumsi dasar itu terbentuk. Dengan tanggung jawab yang besar, laki-laki juga memikul harkat dan kehormatan istri dan anak-anaknya. Bayangkan seorang ayah juga menanggung dosa anaknya, termasuk anak perempuannya yang keluar rumah tanpa mengenakan kerudung.

Kalau kita tak melihat ajaran itu secara holistik, maka akan mudah bagi kita untuk tergelincir pada kesimpulan "wah ini tidak adil". Tapi jika kita memahami secara menyeluruh, maka kita akan berpikir betapa adilnya ajaran ini. Dan semacam itulah sistem bekerja.

Oleh karenanya, jangan terburu nafsu untuk suatu hal yang sistemnya saja kita tidak paham. Karena jangan-jangan itu rangkaian ajaran yang tak bisa berjalan optimal jika dilepaskan satu dengan yang lainnya.

About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.