Tak ada hambatan bagi Wulan (nama samaran) untuk bergaul dengan siapa pun. Ia baru saja memasuki dunia baru sebagai langkah awal menggapai kedewasaan.
Ya, hari ini merupakan hari pertama bagi dia masuk ke jenjang SMP. Baginya, tak butuh waktu lama untuk beradaptasi di SMP yang kebetulan jaraknya tak begitu jauh dengan tempat tinggal Wulan. Kendati begitu, Wulan punya sahabat karib yang ia kenal sedari duduk di bangku SD, sebut saja Ani.
SMP adalah zona transisi anak-anak menuju masa remaja. Di masa ini cinta monyet bak makanan sehari-hari bagi Wulan. Dengan wajah yang menunjang, ditambah karakternya yang ramah dengan setiap orang, terlebih lagi jiwa tomboynya mendorong Wulan untuk gemar berkawan dengan laki-laki membuat dia sering gonta-ganti pacar.
Di masa itu ia sempat tersesat, baginya hidup adalah masalah senang-senang dan pacaran. Seiring bertambahnya kelas, Wulan makin larut dengan moto hidupnya yang mengejar kesenangan semata. Karakternya ini mungkin didorong oleh kerinduannya akan sosok seorang ayah yang mengayomi dan bisa membimbing. Maklum saja ayah Wulan tak pernah hadir saat di mana ia begitu merindukan sosok seorang laki-laki yang mestinya menjadi teladan.
Dengan gaya yang tomboy, sering gonta-ganti pacar plus bergaul dengan laki-laki menjadikan Wulan di mata orangtua di sana sebagai remaja paket komplet yang harus dijauhi.
Benar saja, Ani yang merupakan sahabat "kental" Wulan diminta oleh orangtuanya untuk menjauhi Wulan. Alasannya masuk akal, orangtua Ani takut anaknya hamil di luar nikah lantaran dekat dengan Wulan. Karena Wulan sering bergaul dengan laki-laki.
Wulan mendengar alasan itu langsung dari mulut Ani. Ia tak ambil pusing saat itu, toh ia pun masih mempunyai banyak teman lelaki di luar sana.
Tapi ikatan persahabatan mereka ternyata tak terputuskan, saat lulus dari SMP, Ani memilih untuk mengikuti langkah Wulan untuk lanjut ke SMK. Dan SMK yang sama dengan Wulan.
Di SMK sikap Wulan dan Ani masih tak banyak berubah. Tak jauh berbeda dengan tingkah lakunya semasa SMP.
Singkatnya mereka berdua pun lulus SMK dan merantau ke Jakarta. Bahkan hingga mendapatkan pekerjaan yang sama di ibukota. Wulan dan Ani sama-sama diterima sebagai pelayan di salah satu restoran kelas atas di sana.
Pekerjaan tersebut mengharuskan Wulan dan Ani untuk tampil seksi setiap hari. Rok di atas lutut merupakan hal yang biasa bagi mereka.
Hal itu terpaksa mereka lakukan lantaran dipaksa oleh atasan. Dunia seakan tak memberikan mereka banyak pilihan, lahir dari keluarga yang berlatar belakang pas-pasan membuat keduanya menetapkan pilihan pada pekerjaan tersebut.
Lambat laun muncul perasaan risi di benak Wulan. Senakal-nakalnya mereka (Wulan dan Ani) selama ini, ia tetap merasa bersalah saat mengenakan pakaian yang mempertontonkan bentuk pahanya. Saat waktu kerja usai, Wulan pun kembali seperti sebelumnya, menjadi perempuan kampung sederhana yang merasa malu mengenakan pakaian serba terbuka. Ia pun kembali memakai hijab kendati belum sempurna.
Wulan sering terbesit dalam benaknya pertanyaan besar mengapa saat di luar dirinya memakai hijab namun tatkala kerja justru mengenakan pakaian serba terbuka. Muncul dalam dirinya kerinduan untuk menjadi manusia normal yang taat dengan perintah agamanya.
Tempat kerja Wulan kebetulan tak jauh dari kosnya. Sehingga ia hanya berjalan kaki kurang dari setengah jam untuk sampai ke tempat kerja.
Perasaan Wulan semakin diaduk-aduk manakala ia melewati masjid di dekat kosnya yang setiap hari biasa ia lalui. Kebetulan saban hari Wulan pulang usai shalat Isya di mana masjid itu sedang menggelar pengajian.
Tiap kali lewat depan masjid Wulan mendengar ceramah sang ustadz yang kebetulan suaranya terdengar hingga keluar. Dan hal itu ia dengar tiap hari saat melewati masjid tersebut.
Ada niatan dalam diri Wulan untuk turut menimbrung dalam pengajian itu. Tapi entah mengapa rasa malu Wulan seakan menahan langkah baiknya tersebut.
Sampai suatu waktu Wulan mendobrak rasa malunya untuk ikut serta dalam pengajian itu. Tak disangka, di sana ia menemukan perasaan yang begitu tenang. Dunia yang biasa ia geluti selama ini, di mata Wulan seakan tak ada artinya. Dunia menelantarkannya dan di pengajian itu Wulan seakan menemukan hidup yang sesungguhnya.
Belum lagi di sana ia dipertemukan dengan sahabat-sahabat yang baik. Yang tak jemu untuk selalu menyerunya agar tetap berada dalam ketaatan. Sampai akhirnya Wulan mengubah total pakaiannya sesuai dengan tuntunan syar'i dan melepaskan pekerjaannya sebagai pelayan yang selalu menghendaki dirinya untuk berpakaian serba terbuka.
Pada titik ini Wulan pun dibantu untuk menemukan pekerjaan baru yang lebih layak dari salah seorang saudara seimannya. Wulan mengenalnya saat mengikuti pengajian tersebut.
Tak disangka, di tempat kerja barunya Wulan menemukan jodoh. Ia menikah dengan anak pemilik tempat kerjanya itu. Hingga kini Wulan merasa menyesal telah menyia-nyiakan hidupnya dulu tanpa ketaatan.
Kontras dengan Ani, saat kerja di Jakarta Ani justru diketahui hamil di luar nikah. Ia jauh lebih dahulu menikah sebelum Wulan.
Padahal, awalnya Ani sempat dilarang orangtuanya untuk berteman dengan Wulan lantaran Wulan lebih dekat dengan laki-laki. Dan inilah kehidupan, Allah Swt memilih untuk memberikan hidayah-Nya kepada Wulan kendati Wulan jauh lebih nakal dari pada Ani.
Kelembutan hati Wulan untuk senantiasa mendengar nasihat dalam ceramah yang kebetulan suaranya keluar dari masjid, seakan menarik Wulan untuk membukakan pintu hatinya dalam menerima kebenaran.
Allah telah menggetarkan hati Wulan, dan ia pun berusaha untuk mendekati cahaya hidayah itu dengan mengikuti kajian di masjid tersebut. Hal itu akhirnya mengantarkan dia untuk memiliki sahabat yang tak bosan meluruskan dalam ketaatan.
*Kisah ini diambil dari pengalaman seseorang dengan nama samaran sebagai bahan renungan kita bersama.
0 komentar:
Posting Komentar