Gagasan

Menawarkan Harapan, Lagu Lama Bagi Kesatria dan Begal

Ilustrasi: Gambar Layar Sebuah Video di YouTube.



"Tahukah Anda bahwa selama ini Indonesia membeli minyak lewat Singapura? Bayangkan harga minyak jika kita beli lewat perusahaan di Singapura harganya USD 50 per barel. Sementara jika kita beli langsung ke negara-negara Arab tak lebih dari USD 35 per barel.

Terdapat selisih USD 15 tiap barelnya jika kita membeli minyak ke Singapura. Sementara konsumsi minyak di Indonesia pertahunnya mencapai 1 juta barel. Jika selisih USD 15 dikalikan 1 juta, maka akan ditemui angka yang cukup fantastis, yakni USD 15 juta.

Jika dengan asumsi kurs dolar terhadap rupiah sebesar Rp 14 ribu, maka angkanya mencapai Rp 210 miliar. Selama ini kita melakukan pemborosan sebesar Rp 210 miliar pertahunnya. Jika dana sebesar ini buat membangun sekolah, rumah sakit dan lain-lain, berapa banyak yang bisa kita bangun setiap tahun?"

Pernyataan itu hanya reka adegan semata. Anda yang mungkin sering dikibuli dengan harapan-harapan palsu kerap mendengar narasi semacam itu.

Ya, biasanya kerangka kata-kata semisal itu kerap dipakai oleh mereka yang memberikan angin harapan kosong kepada target yang hendak mereka sasar.

Menyodorkan narasi-narasi yang terdengar logis tapi sebenarnya tak berdasar. Mereka tak akan peduli bagaimana bisa mewujudkan itu. Yang mereka pikirkan bahwa target bisa melahap umpan yang diberikan menggunakan harapan-harapan itu.

Motifnya macam-macam, mulai dari politik sampai harta. Tapi formatnya akan tetap sama, memberikan umpan harapan yang sebenarnya tak berdasar.

Cara ini memang tak semuanya dipakai oleh "begal", sang "kesatria" atau orang yang sungguh-sungguh ingin memberdayakan juga menggunakan format ini. Tapi entah kenapa, saya eja lebih banyak begal yang menggunakannya.

Memang begitu, munculnya peribahasa "serigala berbulu domba" bukan tanpa sebab. Setiap keburukan pasti akan ditolak oleh publik, tapi jika dibalut dengan harapan serta kebaikan, maka responsnya akan berbeda.

Semisal begini, minuman keras (miras) sudah pasti haram bagi umat Islam. Pendirian pabrik miras tentu ditolak bagi mereka yang waras. Tapi lain responsnya jika ceritanya dibalut dengan "kebaikan" yang diada-adakan. Lebih mantap lagi menggunakan emosional. Udah teknik manipulasi paling josss…

Akan ada bumbu-bumbu begini, "Pabrik Miras Dapat Mendongkrak Perekonomian Desa Gedong Gincu", "Miras Warisan Lokal Desa Gedong Gincu yang Mesti Dilestarikan". Atau bumbu emosional begini, "Ibu Dulmin Berhasil Sekolahkan Anaknya hingga S11 Berkat Pabrik Miras Sederhana".

Dari semula 100 persen menolak, maka setelah ditaburi bumbu-bumbu itu mulai ada yang berpikir, "Oh iya ya, ini bagus nih buat ekonomi. Emangnya kalau warga Desa Gedong Gincu itu kelaparan mereka para pemabuk agama itu bakal peduli?" Semakin intens bumbu-bumbu itu disuarakan, maka akan semakin banyak target yang mulai mengevaluasi pemahamannya akan miras.

Lambat laun akan banyak publik yang permisif dengan miras dan pabrik miras itu sendiri. Bahkan saat mabuk mereka akan bilang, "Cuy, kita udah bantu perekonomian Desa Gedong Gincu nih," sambil memegang botol miras.

Singkatnya sebagian masyarakat setuju pendirian pabrik miras di Desa Gedong Gincu. Lantas apakah setelah pabrik didirikan, janji kesejahteraan itu terpenuhi? Sejahtera buat mabuk iya!

Skenarionya pasti begini, awal-awal pabrik dibangun hampir seluruh tenaga kerja berasal dari warga lokal. Pertama pasti kendor, tak akan banyak tingkah perusahaan. Loh kok Yopi paham betul, pengalaman ya? Tidak, saya suka membaca pola, dan di mana pun biasanya template-nya sewarna.

Kemudian mereka mulai berpikir menggemukkan keuntungan dengan berbagai cara. Sehingga terkadang warga lokal menjadi tidak betah, misalnya diupah secara tidak layak.

Dengan standar hidup yang makin tinggi, warga lokal menganggap upah di pabrik miras sudah tak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Alhasil mereka keluar dari sana mencari penghidupan yang lebih layak.

Bagi pabrik miras hal itu bukan masalah besar, mereka bisa mendatangkan anak-anak yang lebih profesional dengan gaji yang lebih tinggi dari warga lokal. Dengan begitu mereka bisa menyingkirkan tenaga warga lokal tanpa perlu mengatakannya secara langsung.

Bagi pabrik miras, tenaga baru lulusan selevel sekolah menengah atas ini lebih bisa diandalkan. Pabrik mereka akan jauh lebih efisien ketimbang tetap mempertahankan warga lokal kendati gajinya kecil.

Sampai di sana warga lokal hanya bisa gigit jari. Mimpi kesejahteraan ekonomi hanya dinikmati secuil orang saja. Sisanya hidup banting tulang demi abok-abokan.

Skenario di atas memang tidak pakem, tapi yang pasti berbagai harapan yang dijanjikan tak akan pernah terwujudkan.

Begitulah begal menjual harapan, mereka menaburkan percikan air kepada rakyat yang kehausan. Mereka bilang, "Ikut saya, bersama saya persediaan air lebih banyak". Nyatanya air tak didapat sengsara membelenggu bahkan ketika mati.

Ingat, Anda jangan mudah dikibuli dengan orang-orang yang berkata "muluk". Setelah tujuan didapat, mereka tak pernah ingat apa yang diucap.

About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.