Gagasan

Cecak di Komputer: Sebuah Renungan untuk Berhati-hati dalam Mengadili

 


Ilustrasi: Dok Pribadi


Tak ada yang istimewa dengan salah satu sekolah swasta di pojok barat Kabupaten Cirebon. Bangunannya yang terbilang sederhana menegaskan bahwa memang tak ada yang spesial dari dalam sana.

Pagi di awal Februari, hujan tak cukup kuat menyurutkan semangat siswa/siswi di SMA itu untuk belajar. Pagi itu, kelas dimulai dengan pelajaran TIK, sebenarnya Matematika. Namun lantaran Pak Jono urung datang, siswa di kelas X B itu berinisiatif memanggil Pak Burhan, guru TIK di sana untuk menggantikan kelas Matematika.

Kebetulan pelajaran TIK saat itu adalah jadwal untuk praktik. Adalah Takim, salah satu murid di kelas itu sebagai satu dari empat anak yang kebetulan kebagian menjadi kloter pertama untuk praktik mengetik surat di komputer.

Takim anak yang tak pernah neko-neko, tapi sayang sikap malasnya bisa disebut keterlaluan. Tapi di atas itu semua, ia merupakan pribadi yang baik.

Karena tak ada seorang pun yang memiliki komputer di kelas itu, mereka yang baru kali pertama memegang komputer tampak canggung. Hal itu dipertegas dengan kebimbangan yang menghiasi muka Takim.

Belum juga jari-jari Takim menari-nari di atas papan ketik, CPU di komputer yang ia pakai langsung mengeluarkan asap. Entah kenapa, tanda tanya seketika menghinggapi benak Takim dan kawan-kawannya. 

Saat itu Pak Burhan tengah mengambil tinta di ruang Tata Usaha, jadi ia tak melihat Takim saat menyalakan komputer. Melihat CPU di komputer Takim berasap, ia segera menanyakan latar belakang hal itu terjadi.

Karena Takim masih diliputi rasa panik, ia tak bisa dengan lancar menerangkan sebab hal tersebut terjadi. Takim hanya bilang ia tak tahu apa-apa.

"Tiba-tiba saja keluar asap," kata Takim ke gurunya.

Pak Burhan tak mau ambil pusing soal alasan komputer yang dipakai Takim mengeluarkan asap. Ia memilih jalur pintas dengan menaruh tuduhan terhadap Takim bahwa hal itu disebabkan ulahnya.

Mendengar itu, Takim pun tak bisa membela diri. Ia tak pernah tahu bagaimana caranya menyelamatkan diri dengan berargumen.

"Besok teknisinya datang, nanti kamu harus mengganti kerusakannya ya," ucap Pak Burhan sambil meninggalkan Takim.

Selepas sekolah, Takim membicarakan hal itu kepada ibunya. Mendengar masalah yang dihadapi anaknya, ibu Takim tak terbebani sedikit pun. Mengingat tabungan yang dimilikinya bisa lebih dari cukup bahkan untuk membeli komputer baru.

Takim memang berasal dari keluarga sederhana, tapi ia juga tak pernah kekurangan untuk membeli apa pun. Bahkan untuk kendaraan sepeda motor.

Esoknya Pak Burhan memanggil Takim. Takim sudah berada di ruangannya, di sana Pak Burhan mengatakan bahwa alasan komputer kemarin yang dipakai Takim berasap lantaran ada cecak yang masuk ke CPU.

"Kamu tak usah membayarnya," ucap Pak Burhan.

Dengan kaku, Takim merespons pernyataan itu dengan ucapan terima kasih dan segera meninggalkan ruangan Pak Burhan.

Sepanjang perjalanan dari ruangan Pak Burhan hingga ke kelasnya yang berjarak sekitar 100 meter, Takim memikirkan satu hal. Ia merasa ada pelajaran yang amat berharga yang bisa dipetik dari Cecak masuk ke CPU itu.

Menurutnya "dituduh" melakukan kesalahan, meskipun hanya hal kecil itu cukup menyakitkan. Karena ia tahu rasa sakitnya dituduh tanpa terlebih dulu dicari tahu kesalahan sebenarnya, ia berjanji untuk tidak melakukan keteledoran seperti gurunya.

"Saya akan mencari tahu sebelum memutuskan," ucap Takim pelan.

About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.