Ilustrasi: World History
Akhir pekan ini kami dikejutkan dengan banyaknya kabar kematian. Memang mereka tak kami kenal, tapi dalam satu lingkungan ada sekitar empat atau lima orang yang wafat pada pekan ini.
Kami bertanya-tanya ada kejadian apa, apakah Covid-19 kembali menyerang dengan senjata yang lebih mutakhir. Namun kepala kami tidak menemukan jawaban akan fenomena tersebut.
Kabar kematian mengantarkan kami untuk mengingat proyek seorang raja Irak kuno untuk mengalahkan malaikat maut. Seorang raja dari Uruk, kini Irak modern bernama Gilgamesh masyhur menjadi lambang pencari keabadian.
Gilgamesh merupakan sosok yang perkasa, ia dikenal tak terkalahkan. Jangankan manusia, singa saja habis ia libas. Namun sosok kuat bukan bermakna absen dari celah. Dadanya diteror rasa takut tatkala melihat ulat keluar dari lubang hidung kawannya yang telah tewas.
Itu terjadi ketika Gilgamesh mengamati jasad Enkidu, sahabatnya yang telah mati, selama berhari-hari. Mungkin karena saking berharganya seorang Enkidu dalam hidup Gilgamesh, menjadikannya rela membersamai sang sahabat selama berhari-hari.
Ketika Gilgamesh melihat sekumpulan binatang menggeliat keluar dari lubang hidung Enkidu, di saat itulah hatinya dicekam ketakutan. Mulai saat itu dirinya bersumpah untuk mengobarkan perang melawan kematian.
Pahlawan bangsa Sumeria itu kemudian melakukan perjalanan untuk mencari resep keabadian. Sampai menurut mitologi, dia menemukan jalan ke dunia bawah. Di sana dia menghancurkan batu raksasa Urshanabi, dan menemukan Utnapishtim, orang terakhir yang selamat dari banjir purba.
Namun Gilgamesh gagal dalam pencariannya untuk melawan takdir Tuhan. Dia kembali ke rumah dengan tangan kosong, tetapi dari perjalanannya dia membawah oleh-oleh berupa kebijaksanaan. Di mana ia akhirnya menarik kesimpulan bahwa ketika “para dewa” menciptakan manusia, mereka menetapkan kematian sebagai takdir manusia yang tak terelakkan, dan manusia harus belajar untuk hidup dengannya.
Semangat perburuan akan keabadian yang pernah dimiliki Gilgamesh kini diwariskan kepada manusia modern. Lewat revolusi ilmiah, manusia berusaha membendung takdir kematian. Mereka bahu-membahu dalam segala lini untuk bekerja secara simultan menemukan pil keabadian. Lewat dunia kedokteran, robotika, farmasi, kimia, biologi dan lainnya, umat manusia mewariskan pengetahuan untuk semampu mungkin memerangi takdir kematian.
Penulis Sapiens: A Brief History of Humankind, Yuval Noah Harari membingkai operasi manusia untuk membekuk kematian dengan sebutan “Gilgamesh Project” atau Proyek Gilgamesh. Proyek ini secara tersirat bertujuan demi menghidupkan kembali semangat pencarian akan keabadian yang pernah dilakukan Gilgamesh.
Sebagian ilmuwan beranggapan bahwa kematian bukanlah takdir Tuhan, melainkan hanya masalah teknis, seperti serangan jantung, infeksi, kanker maupun penuaan akibat kerusakan sel yang berlangsung secara bertahap. Bagi ilmuwan masalah teknis hanya dibutuhkan solusi teknis untuk menangkalnya.
Ketimbang bersikap fatalis dengan menerima bahwa kematian itu takdir Tuhan, menurut Harari ilmuwan kini justru tengah sibuk menyelidiki sistem fisiologis, hormonal dan genetik yang bertanggung jawab atas penyakit dan usia tua. Menurutnya proyek utama Revolusi Ilmiah adalah memberikan kehidupan abadi kepada umat manusia.
Harari melihat bahwa manusia kini tengah menapaki jalan keabadian. Penyakit maupun cedera yang dahulu dianggap mematikan, kini tak lebih dari luka kecil yang cepat disembuhkan.
Dahulu tepatnya tahun 1199 M, Raja Richard I atau dikenal dengan julukan Si Hati Singa (Lionheart) terkena panah di bahu kirinya. Pada era itu belum ada yang namanya antibiotik dan metode sterilisasi yang efektif, sehingga membuat luka kecil pada daging ini berubah menjadi infeksi dan menimbulkan gangrene.
Satu-satunya cara untuk menghentikan penyebaran gangrene di Eropa abad kedua belas adalah dengan memotong anggota tubuh yang terinfeksi. Namun tidak mungkin hal itu dilakukan ketika infeksi berada di bahu.
Akhirnya gangrene menyebar ke seluruh tubuh Lionheart dan tidak ada yang bisa membantu raja. Dua pekan kemudian dia meninggal dengan menanggung penderitaan yang besar akibat penyakitnya.
Jangan terlalu jauh sampai ke era Richard I, pada abad kesembilan belas pun, para dokter terbaik masih belum tahu bagaimana mencegah infeksi dan menghentikan pembusukan jaringan.
Kala itu para dokter masih secara rutin memotong tangan dan kaki tentara yang mengalami luka ringan pada anggota badan, karena takut akan gangrene. Amputasi ini, serta semua prosedur medis lainnya (seperti pencabutan gigi), dilakukan tanpa anestesi.
Anestesi pertama, seperti eter, kloroform dan morfin mulai digunakan secara teratur dalam pengobatan Barat hanya pada pertengahan abad kesembilan belas. Sebelum munculnya kloroform, empat tentara harus menahan seorang kawan yang terluka sementara dokter memotong anggota tubuh yang terluka.
Pil, suntikan, dan operasi canggih, menurut Harari telah menyelamatkan umat manusia dari serentetan penyakit dan cedera yang dahulunya merupakan hukuman mati yang tak terhindarkan. Mereka juga melindungi manusia dari rasa sakit dan penyakit sehari-hari yang tak terhitung jumlahnya, yang dahulu diterima begitu saja oleh orang-orang pramodern sebagai bagian dari kehidupan.
Berkat revolusi ilmiah harapan hidup rata-rata manusia melonjak dari sekitar dua puluh lima menjadi empat puluh tahun, menjadi sekitar enam puluh tujuh di seluruh dunia, dan menjadi sekitar delapan puluh tahun di negara maju.
Harari optimis Proyek Gilgamesh bisa diraih dalam tempo yang tak cukup lama. Hal ini mengingat akselerasi pengetahuan ilmuwan terhadap tubuh manusia yang kini begitu besar jika dibanding era 1900-an. Baru-baru ini insinyur genetika berhasil menggandakan harapan hidup rata-rata cacing Caenorhabditis elegans.
Sejarawan berdarah Yahudi itu ingin hal tersebut juga dapat diaplikasikan dalam tubuh manusia. Menurutnya pada tahun 2050, beberapa manusia akan menjadi a-mortal, sebuah makhluk yang tidak abadi sebab mereka masih bisa mati karena suatu kecelakaan, tetapi tanpa adanya trauma fatal, hidup mereka dapat diperpanjang tanpa batas.
Harari membaca bahwa ideologi modern layaknya liberalisme, sosialisme, dan feminisme kehilangan minat pada kehidupan setelah kematian. Satu-satunya ideologi modern yang masih menganggap kematian sebagai peran sentral adalah nasionalisme.
Di saat-saat putus asa, nasionalisme menjanjikan bahwa siapa pun yang mati untuk bangsa akan selamanya hidup dalam ingatan kolektif rakyatnya. Namun menurut Harari janji ini begitu kabur sehingga bahkan sebagian besar nasionalis tidak benar-benar tahu apa yang harus dilakukan.
0 komentar:
Posting Komentar