Gagasan

Mentalitas Kolonial

Ilustrasi: Wikimedia.org



Makan dengan bunyi kecapan menjadi hal wajar dalam hidup saya. Sampai seorang guru ngaji bilang itu suatu hal yang tidak sopan.


Kami datang dari latar belang yang berbeda, guru ngaji saya dibesarkan dengan didikan paling tidak apa yang dikenal sekarang sebagai “modern”. Sebaliknya, saya datang dari kampung dengan pemahaman yang berbeda akan norma yang sifatnya lebih khusus.


Sejak lahir sampai awal-awal mengenyam kuliah, saya tak pernah ditegur menyangkut cara makan saya yang dianggap mengganggu telinga. Entah gegara orang tua saya yang hadir dalam keterbatasan atau ketidakmampuan mereka untuk memahami norma itu. Tapi yang jelas, perilaku itu kami anggap hal yang wajar.


Sejak saat itu, ketika berada di depan umum saya berusaha mengunya tanpa menimbulkan bunyi yang bisa terdengar telinga. Kendati jika bersama keluarga pantangan itu saya langgar. Itu semua demi norma yang kita anggap sebagai cara untuk mengatur kehidupan antarasesama.


Walaupun masalah itu urusan kecil, tapi bagi saya menunjukkan banyak hal. Utamanya hal itu mengonfirmasi bahwa pemahaman yang dimiliki seseorang tentu saja lekat dengan lingkungan dia tinggal.


Seorang anak yang selalu mendapatkan dukungan atas segala lakunya tentu akan menjadi pribadi yang “merasa benar sendiri” tanpa berusaha mengevaluasi dasar tindakannya. Menimbang adalah kemampuan yang akan sulit dia kuasi mengingat bandul yang dikalungkan di lehernya sudah sedemikian berat. 


Bandul itu sebagai perwujudan dukungan orang tua dan orang-orang di sekitar atas segala laku anak. Tanpa ada yang mengkritisi dan mengajarinya untuk menimbang.


Dia kehilangan apa yang namanya barometer tepat/layak, benar-salah dan semacamnya. Pikirannya hanya dipenuhi, “saya yang benar”. Pikiran itu tidak salah asalkan punya landasan.


Misalnya begini, seseorang bisa merasa benar jika dia berpegang pada suatu hal yang itu memiliki dasar, baik dasar teologis maupun argumentatif. Ketika seseorang mengimani bahwa makan babi itu haram dan mereka yang memakan babi adalah sebuah tindakan yang “salah”, bukan berarti dia mengaku benar sendiri. Dasar pendapatnya tentu saja hal yang sakral, yakni Iman.


Lantas bagaimana jika sebuah kelompok masyarakat dididik dengan mentalitas penindasan? Kita tidak pernah sampai menyeluruh membahas sebuah term “penindasan”. Mereka yang dididik dengan lingkungan penindasan mungkin menganggap biasa tingkah laku tersebut. Alih-alih mendukung mereka yang menentang laku tersebut, kebanyakan dari mereka saya yakin justru melabeli penentang itu sebagai “mental tempa” atau frasa-frasa semisal.


Upah Layak Tak Menindas


Misalnya konsep mengenai upah layak bagi pekerja. Kita dibesarkan pada lingkungan yang mematok upah layak pada besaran UMR. Perusahaan harus menaati ini untuk bisa beroperasi di Indonesia. Tapi apakah ini dipatuhi? Di luar sana masih banyak yang bandel namun pekerja tak kuasa melawan.


Banyak dari kita menganggap bahwa upah setengah dari UMR pun itu masih dianggap layak jika mereka belum mengenyam perguruan tinggi. Mentalitas seperti ini tentu saja terbentuk berkat saking “umumnya” perusahaan menggaji karyawan lulusan sekolah menengah di bawah UMR. Bahkan saya sering beberapa kali mendengar celetukan, “Kok gaji lulusan SMA disamain ya sama lulusan S1.”


Pemahaman seperti itu selain dibentuk lingkungan juga karena kegagalan dalam mengidentifikasi masalah. Inti masalah dalam pengupahan bukan saja perusahaan membayar gaji di bawah UMR, akan tetapi konsep UMR itu sendiri yang nyatanya bukan melindungi pekerja tapi melindungi pengusaha dari kewajiban membayar upah untuk penghidupan yang layak bagi para buruhnya. Saya mau mengatakan bahwa jangan-jangan upah lulusan S1 di Indonesia yang terlalu rendah karena mengacu pada UMR. 


Bayangkan, banyak di antara kita yang “menoleransi” kebijakan perusahaan yang memberikan upah pekerjanya di bawah standar hanya gegara mereka lulusan sekolah, bukan perguruan tinggi. Ini jelas bangsa kita sejak jauh hari telah dilanda mentalitas penjajah yang menindas. Tak ada kata yang tepat untuk menyebut suatu perusahaan yang menggaji karyawannya di bawah UMR selain penindasan.


Kita bisa bayangkan, hidup di Ibu Kota dengan gaji sebutlah Rp 2,5 juta apakah cukup untuk menunjang kehidupan yang “layak”. Apalagi jika ia sudah berkeluarga secara nalar saja susah untuk bisa masuk, apalagi nurani.


Tapi karena terbiasa dengan pemandangan seperti itu, banyak di antara kita melihatnya sebuah hal yang lumrah. Bahkan sebagian dari mereka sampai membawa Tuhan untuk melegitimasi penindasan tersebut. Mereka bilang bahwa bukan soal besarnya gaji, tapi kepandaian kita dalam bersyukur.


Terdengar masuk akal tapi tentu tak berdasar. Kata-kata semacam itu bisa dilontarkan jika seseorang sudah mendapatkan gaji yang layak. Apa indikatornya? Tentu saja terpenuhinya segala kebutuhan dasar, mulai pangan, sandang, dan papan, serta kesehatan. Semua itu paket lengkap yang tidak boleh absen terpenuhi. Bahkan jika mua melangkah lebih jauh harus ada “hiburan” karena itu juga kebutuhan. 


Lalu apakah gaji Rp 2 juta sekian bisa mencukupi untuk memenuhi segala macam itu? Oke mungkin tidak usah Rp 2 juta, tapi UMR di Jakarta yang berkisar Rp 4,6 jutaan. Apakah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan yang layak bagi sebuah keluarga kecil saja. Jawabannya tidak, adanya konsep UMR sebagai standar pengupahan (padahal konsep UMR adalah minimum bukan standar) mau tidak mau menyeret kaum perempuan untuk bekerja supaya bisa mencapai “kehidupan yang layak”.


Dan itu dianggap wajar oleh semua. Di satu sisi negara tidak mau ambil pusing untuk menjamin hak dasar penduduknya, di sisi lain kebanyakan tempat kerja pun enggan untuk melakukan hal itu. Dan lagi-lagi kita mentoleransi pemandangan seperti itu. Jika dengan gaji UMR saja masyarakat tak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, sementara UMR malahan dijadikan standar pengupahan, apalagi mereka yang bergaji di bawah UMR. Maka tentu ada yang salah dengan hal ini, lantas formula apa yang bisa digunakan untuk menengahi masalah tersebut?

About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.