Grenthink Views

Menagih Keseriusan Pemerintah dalam Mengurusi Buruh Migran Indonesia (BMI)


Ilustrasi:Piqsels.com

Oleh Lila Fitri Fatikhasari Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.

Tuntutan akan pemenuhan kebutuhan semakin pelik, semua orang berlomba-lomba untuk mencari logistik demi keberlangsungan hidup yang kian mencekik. Dirumah sendiri kami ditelantarkan namun di negeri orang tak sedikit dari kami yang harus melayang, pergi dengan jiwa dan raga namun kembali hanya dengan nama dalam peti. Pergi keluar menjadi alasan saat di negeri sendiri tak bisa produktif, dengan lapangan pekerjaan yang  

Buruh Migran Indonesia, sapaan bagi mereka para pekerja Indonesia yang berada di luar wilayah Indonesia. Keberadaan para buruh migran di luar negeri dilindungi oleh adanya UU No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja yang kini menjadi Undang-undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI).

Indonesia menangis lagi untuk kesekian kalinya kehilangan jiwa yang tertindas di negeri sendiri namun jiwanya melayang di negeri orang. Kurangnya pembelajaran terhadap kasus-kasus yang terjadi menjadi salah satu faktor mengapa kian lama kian meningkat jumlah kasus yang ada, nyatanya apapun programnya apapun produk politiknya yang dibuat dengan dalih ini “perlindungan” perlindungan semacam apa? Yang bagaimana? Yang seperti apa? Semua orang sejatinya memiliki kebijakan atas pribadinya masing-masing.

Ruyati, Siti Zaenab, Yanti Irianti, Hafidz, hingga M. Zaini yang masih hangat untuk dibahas menjadi beberapa rekaman kasus yang belum bisa terselesaikan. M. Zaini BMI asal Madura yang berprofesi sebagai sopir, dihukum pancung di Saudi Arabia pada tanggal 18 Maret 2018 atas tuduhan pembunuhan. Eksekusi terhadap Zaini dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, apalagi menurut pengakuan Zaini sebelum ia di eksekusi ia mengalami tekanan dan intimidasi oleh otoritas Saudi Arabia untuk mengakui melakukan pembunuhan terhadap majikannya. Disisi lain Zaini bahkan tidak mendapatkan penerjemah yang netral dari proses persidangan hingga akhirnya vonis dijatuhkan padanya (migrant care).

Pada akhirnya produk politik yang dibuat tidak bisa menjamin dan bahkan belum mampu untuk menyelesaikan, Jika alasannya karena warga kita banyak diluar dan jumlah pelayanan masyarakat di KBRI tidak sebanding, sehingga dalam hal ini alasan tersebut menjadi kesepakatan bagi siapapun dengan jumlah kalian sebanding. Namun bukankah kalian yang duduk di kursi KBRI merupakan kaum-kaum yang berkompeten dan intelektual? Bukankah sebelum kalian mendudukki kursi KBRI penuh dengan tantangan? Bukankah kalian memiliki tujuan mengapa kalian memilih duduk di kursi tersebut? Bahkan kalian sudah paham akan tugas pokok dan fungsi atau tupoksi yang kalian jalankan? Serta sadar akan resiko dihadapan kalian?

Dalam hal ini bukan maksud menyudutkan KBRI, hanya saja kalianlah rumah buruh migran di negara manapun buruh migran berada, lucu rasanya ketika saya bekerja namun saya tak boleh pulang ke rumah, saya bekerja untuk rumah kita untuk negara kita tapi kalian tutup pintu saat kami kelaparan, saat kami mulai digerogoti dinginnya musim menuju kematian yang harus kalian saksikan. Namun pada kenyataannya tidak semua KBRI menutup pintu, banyak pula yang membuka pintu dan mereka yang membuka pintu dapat dilihat dengan semakin sedikitnya permasalahan yang terjadi yang pada akhirnya memberikan ketentraman bagi mereka yang bekerja di luar. 

Meskipun begitu, diharapkan adanya kasus ini seharusnya menjadi otokritik bagi siapapun dari berbagai lapisan masyarakat, saat produk politik tak mampu untuk melindungi, maka tingkatkan kebijakan pribadi dan kepedulian terhadap sesama. Karena bagaiman pun mereka (BMI) adalah rakyat Indonesia yang tentu saja saudara-saudara sebangsa.

About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.