Ilustrasi: Piqsels.com
Yopi Makdori
Pertama saya mempunyai kewajiban untuk terlebih dulu mendefinisikan istilah "Cebong". Definisi ini tidak akan saya rujuk dari pendapat para ahli maupun definisi kamus ilmiah populer. Definisi akan saya galih dari pandangan pribadi yang telah saya amati pergolakan istilah ini di ranah media sosial.
Secara harfiah istilah Cebong memiliki arti 'anak katak' atau dalam bahasa Indonesia yang resmi dikenal dengan nama 'Kecebong'. Namun dalam istilah konotatif,Cebong memiliki arti kelompok pendukung barisan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dalam tulisan saya, istilah Cebong akan memiliki perluasan makan konotatif, yakni kelompok yang selalu mengedepankan subjektivitas dari pada fakta empiris.
Kacamata untuk Memandang Dunia
Setiap diri pasti menggunakan sebuah kacamata yang selalu ia gunkana untuk melihat berbagai persoalan, baik sosial, politik, ekonomi, agama, dan lain sebagainya. Kacamata yang seseorang kenakan terkadang akan berbeda dengan kacamata yang orang lain pakai. Meskipun begitu, orang-orang akan cenderung terikat dengan mereka yang memiliki kacamata yang sama. Maka tidak mengherankan jika orang dengan kacamata yang sama akan cenderung terkonsentrasi di suatu wilayah tertentu.
Kacamata yang seseorang pakai tergantung bada beberapa faktor, misalnya saja kondisi geografis, kepercayaan dalam dirinya, lingkungan sosial, tokoh panutan, lingkungan keluarga tempat mereka dibesarkan (dan masih banyak lagi faktor lainnya). Itulah alasan yang melatarbelakangi seseorang cenderung mengelompok dengan para pengguna kacamata yang sama.
Namun bentuk seperti ini mengalami pergeseran tatkala media sosial mulai hadir dalam keseharian umat manusia. Di dunia yang merangsang untuk bergeser ke arah kosmopolitanisme, kacamata yang seseorang pakai lebih kompleks bahkan cenderung beririsan satu sama lainnya karena modifikasi dari berbagai faktor. Misalnya saja seseorang yang beragama Islam tidak semuanya menggunakan kacamata Islam dalam melihat berbagai persoalan dalam kehidupan, ada faktor lain juga yang terkadang cenderung lebih dominan mempengaruhi pandangannya. Dan media sosial merupakan salah satu sarana seseorang untuk menemukan mengombinasikan kacamata yang akan ia kenakan.
Kacamata Cebong
Cebong yang pada mulanya istilah yang disematkan untuk para pendukung Ahok dan Jokowi 'garis keras', kemudian di sini saya geser pemaknaannya menjadi mereka yang selalu mengedepankan faktor subjektivitas. Konsekuensi dari definisi yang saya tetapkan ini ialah mereka yang akan menyandang predikat Cebong akan semakin luas tanpa perlu melihat pandangan politik praktisnya. Artinya mereka layak disebut mengenakan kacamata Cebong ialah mereka yang selalu mengdepankan faktor subjektivitas pribadi tanpa pernah mau melihat fakta maupun data empiris yang sesungguhnya.
Misalnya dalam kasus berikut, saya pernah diceritakan oleh salah seorang kawan tentang perdebatannya dalam suatu grup yang di dalamnya beranggotakan para aktivis dakwah. Kala itu, dalam grup tersebut sedang terjadi diskusi yang menarik terkait isu konflik Israel-Palestina. Menurut cerita kawan saya, salah seorang anggota grup mengeluarkan pernyataan yang kurang lebih seperti ini "kalau mau membantu Palestina ya satu-satunya cara melalui PBB," kemudian kawan saya membalas pernyataan tersebut dengan mengatakan, "ga bisa lewat PBB, kan ada hak veto yang dimiliki oleh Amerika, maka akan sangat sulit bagi negara-negara yang akan membela Palestina di PBB."
Orang tersebut pun menjawab balasan kawan saya itu dengan pernyataan yang sangat tidak mencerminkan kapasitasnya sebagai seorang mahasiswa, yakni "memangnya kamu lebih hebat dari para perwakilan PBB?" Beginilah cara berpikir Cebong, mereka lebih mengedepankan faktor subjektif yang datang dari dalam dirinya dibandingkan fakta.
0 komentar:
Posting Komentar