Ilustrasi: Piqsels.com
Yopi Makdori
Baik dalam dunia intelektual maupun dunia 'Warung Kopi', perdebatan akan keberadaan Tuhan tidak habis-habisnya disuarakan. Di beberapa negara religius pun perdebatan terkait hal ini lambat-laun lazim terdengar.
Kita hidup di zaman yang memaksa nilai-nilai terdahulu--dalam hal ini agama (ketuhanan)--untuk tunduk dan membusuk di tanah. Sekularisme menggantikan bagaimana kita memandang dunia. Agama bak handuk bekas yang disisihkan di pojok ruangan.
Sejak era pencerahan di Eropa, agama digandang-gandang sedang menghadapi sakratulmaut. Tata nilai sosial di masyarakat yang kala itu didominasi oleh nilai-nilai agama, maka diprediksi dalam kurun waktu beberapa tahun akan musnah. Namun benarkah demikian? Spiritualitas akan digantikan dengan sekularisme?
Ketuhanan Tak Terkalahkan
Sejak zaman pencerahan hingga saat ini, yang praktis sudah melewati ratusan tahun, namun keberadaan agama masih tetap ada. Meskipun kita tahu dalam beberapa sendi ia (nilai ketuhanan) dipaksa untuk menjauh dari dunia politik-pemerintahan. Warisan tersebut tentu saja lahir dari zaman pencerahan di Eropa.
Dijauhkannya nilai-nilai ketuhanan dari dunia politik-pemerintahan merupakan cabang dari ajaran sekularisme itu sendiri. Ide ini berangkat dari asumsi bahwa jika agama dijadikan "alat" dalam berpolitik, maka yang akan terjadi "abuse of power" atau penyalahgunaan kekuasaan. Asumsi ini berangkat dari realitas saat itu di tengah-tengah masyarakat Eropa yang mana lembaga keagamaan digunakan oleh penguasa di sana sebagai alat melegitimasi kekuasaannya.
Meskipun begitu, agama tidak pernah kehilangan pengikutnya. Nilai-nilai spiritual masih tetap eksisi dan dipercaya oleh sebagian besar masyarakat di dunia. Harriet Sherwood dalam suatu tulisannya yang dipublikasikan The Guardian menuliskan bahwa saat ini ada 87 persen populasi di bumi mengidentifikasikan dirinya sebagai golongan yang "beragama". Sebagian besar dari mereka merupakan anak muda yang secara teori semestinya makin sekuler dan menolak untuk terasosiasi dengan agama maupun dunia spiritualitas.
Persentase tersebut hanya yang terasosiasi dengan agama, sedangkan mereka yang tidak terasosiasi dengan agama sebesar 16% dan dari jumlah tersebut, Sherwood menuliskan hanya sebagian kecil yang atheis (menolak spiritualitas secara mutlak). Sebagian besar dari 16 persen tersebut percaya akan Tuhan, bahkan nilai-nilai ketuhanan namun menolak untuk dikaitkan dengan agama.
Pelarian ke EI
Bagi mereka yang mendeklarasikan dirinya sebagai ateis pun tidak serta merta menolak eksistensi akan keberadaan zat yang lebih agung dari mereka. Pada 2011, dalam bukunya yang bertajuk "The Believing Brain", Michael Shermer berpendapat bahwa Alien/Extraterrestrial Intelligence ( EI) telah menjadi "Tuhan sekuler/keduniaan". Pernyataan ini didukung oleh temuan para ahli Psikologi, Clay Routledge dan koleganya. Seperti yang dikutip dari hasil studi mereka yang berjudul "We Are Not Alone: The Meaning Motive, Religiosity, and Belief in Extraterrestrial Intelligence", Routledge, dkk menemukan bahwa mereka yang mengaku memiliki tingkat religiusitas (bahkan ateis) yang rendah cenderung untuk mempercayai akan eksistensi mahluk berintelijensia tinggi di "luar" sana.
Meskipun menurut Michael Shermer "agama tidak mempunyai banyak bukti akan keberadaan Tuhan dibandingkan para ilmuwan terhadap keberadaan EI", namun poin yang dapat saya tarik dari temuan Routledge, dkk ialah bahwa para atheis "masih" terjebak pada naluri akan mengagungkan zzat yang lebih besar di luar dirinya, dan naluri ini seperti yang disebutkan Taqiyuddin an Nabhani ialah "naluri ketuhanan" yang setiap manusia --bahkan ateis--tidak bisa menolaknya. Dan anda bisa menyimpulkan hal tersebut sebagai bukti bahwa kita memang benar-benar mahluk Tuhan bukan?
0 komentar:
Posting Komentar