Kritik

Mereka yang Ngaku Aktivis Pun Pada "Ngedableg" di Waktunya

Ilustrasi: Tangkai Mawar di Dalam Buku

Tulisan soal "aktivis" bagi saya merupakan coretan-coretan berbau langitan atau bahasan yang kadang tak ada konkretnya. Tapi hasrat untuk mencoret-coret tak kunjung pudar, alhasil muncullah tulisan ini.

Di mata saya, aktivis adalah mereka yang memang bergelut dengan isu-isu sentral di tengah masyarakat. Mereka yang membawa perubahan bukan hanya dengan omongan, melainkan juga tindakan.

Senjata utama mereka adalah keberpihakan pada kebenaran dan nalar yang logis. Tapi apa jadinya kalau mereka tak punya senjata nalar yang logis dan keberpihakan pada kebenaran?

Fenomena ini kerap saya temui di lapangan maupun mendengar cerita dari beberapa kawan. Ada cerita yang cukup membuat saya miris, kalau tak mau disebut begitu memprihatinkan.

Seorang teman hidup yang cukup aktif dalam dunia ini bercerita bahwa tatkala salah seorang calon presiden kalah dalam kontestasi Pilpres 2019 lalu, beberapa temannya yang "katanya" aktivis rohis pada nangis. Mereka menyesalkan kekalahan calon unggulan mereka dalam kontestasi lima tahunan itu.

Sebagian di antara mereka bahkan nekat bilang, "Kalau 'dia' kalah bagaimana nasib Islam di Indonesia?" Mereka bahkan berbicara sembari mengucurkan air mata. Kalau aktivis sampai bertindak seperti ini, maka ia sudah amat jauh dari prinsip dasar labelnya.

Sebagaimana yang saya sebutkan di atas, aktivis dituntut untuk menyandarkan keberpihakannya pada kebenaran bukan "tokoh". Di samping mereka juga mesti memiliki nalar yang logis bukan emosional semata.

Kalau kita menyandarkan keberpihakan pada tokoh Rasulullah Muhammad SAW itu tidak jadi masalah karena beliau teladan bagi umatnya. Tapi kalau kita menggantungkan teladan itu pada manusia yang seluk beluknya saja kita tak tahu, bahkan sampai menjadikannya "Tuhan" ya ini yang bermasalah.

Loh kok Tuhan? Iya Tuhan, ketika tokoh idola itu berlaku tak benar dan kita kritik, nah mereka yang menuhankan tokoh itu bak anjing peliharaan sang tokoh yang siap melindungi tuannya dalam berbagai situasi. Tanpa memandang apakah tuannya itu benar atau salah. Bukankah hal ini mirip dengan anjing?

Dengan menuhankan sang tokoh sudah jelas nalar logis mereka rontok. Bagaimana tidak, orang yang logis akan senantiasa mengedepankan nalar mereka bukan hal-hal yang bersifat emosional. Dan orang yang melakukan pemujaan terhadap tokoh yang seluk beluknya tak tahu, serta laku dan omongannya tak seirama jelas dia manusia yang irasional.

Bagaimana efeknya jika seorang aktivis bertindak irasional dan justru hanya mengandalkan emosional belaka? Jika dia bersuara maka suaranya tak jernih karena terdistorsi bercak-bercak emosional. Begitu pun jika ia memandang, pandangannya hanya berkutat pada apa yang ingin dia lihat tanpa menimbang mana yang benar dan mana yang salah. Serta jika dia membimbing, bimbingannya cenderung menyesatkan, seperti halnya "orang buta menuntun orang buta" karena terkacaukan pada semangat emosional tadi.

Lebih parah lagi saat calon presiden ini bergabung ke dalam gerbong lawan politiknya, aktivis ini justru makin kukuh menghambakan diri pada si tokoh. Luar biasa bukan?

Saya akui, dalam beberapa kasus manusia berpotensi untuk berlaku emosional. Tapi bagi kalian yang "aktivis" mohon kondisikan nalar warasnya. Kasihan rakyat digiring ke jurang oleh orang buta.

About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.