Gagasan

Gerakan Perubahan Total

 

Ilustrasi: Kawan Dukuh Asih Institut (DAI)


Banyaknya sumber daya kadang bukan menjadikan manusia lebih produktif. Justru sebaliknya, banyak mereka yang merasa terlena kalau tak mau dibilang "keenakan" dengan beragam fasilitas hidup di zaman serba canggih ini.

Kadang saya bertanya-tanya pada diri sendiri mengapa rela menghabiskan waktu berjam-jam hanya demi menggulir layar gawai ke bawah dan ke atas. Atau sesekali memeriksa status di WhatsApp layaknya seorang tim audit yang dengan seksama menyimak laporan keuangan perusahaan. Benar-benar sesuatu yang menghamburkan waktu.

Internet yang hadir pada zaman ini juga telah mengubah konsepsi belajar secara total. Dahulu para orangtua kita mesti ke guru atau seseorang yang dianggap berilmu untuk mencari tahu sesuatu. Atau harus mengunjungi perpustakaan untuk membuka-buka lembaran buka demi mencari tahu harta karun ilmu pengetahuan.

Jika kita tarik lebih lama lagi, dahulu para perawai hadis mesti berkeliling dunia demi mengumpulkan hadis-hadis nabi yang berceceran ke semua penjuru arah mata angin. Benar-benar menghabiskan energi, dana dan tentunya waktu.

Berbeda dengan zaman ini, segala ilmu pengetahuan bisa diakses dalam genggaman. Revolusi teknologi informasi dan komunikasi saat ini benar-benar mengubah kehidupan manusia menjadi lebih mudah dalam mengerjakan berbagai macam hal.

Tapi sayang, dengan kemudahan ini justru tak banyak orang yang memanfaatkannya. Internet seakan memanjakan penggunanya untuk menyediakan sajian apa pun yang penggunanya inginkan. Misalnya bagi yang tak gemar menggali ilmu dengan membaca, internet menyediakan konten audio maupun visual sebagai bahan pembelajaran. Sebelum ada alat perekam, dahulu tentu saja satu-satunya alat perekam ialah "tulisan" yang dinikmati dengan cara membacanya.

lain halnya dengan sekarang, apapun jenis konten serba ada. Baik tulisan dalam bentuk buku, jurnal, artikel di web, ataupun audio visual dalam bentuk video, siniar maupun infografis. Berbagai kemudahan itu tentu saja amat memanjakan.

Namun tetap saja masih banyak orang yang dalam tanda kutip cenderung gandrung pada hal-hal yang "tidak berguna" di internet. Sekali, dua kali ataupun tiga kali sehari oke lah masih dianggap wajar. Tapi kalau berhari-hari, bahkan sepanjang waktu kita terus-terusan menghabiskan waktu pada hal yang tak berguna di internet tentu saja ini tak wajar.

Panjang jika saya sebutkan hal-hal yang dianggap tak berguna di internet. Tentu saja daftarnya akan amat banyak. Di samping juga pasti akan menimbulkan perdebatan mengenai hal-hal yang dianggap tak berguna di internet. Mengingat pasti setiap orang memiliki pandangan sendiri mengenai apa-apa saja hal yang dianggap tak berguna.

Bermain gim misalnya, bagi sebagian orang itu sebuah pekerjaan. Namun bagi sebagian yang lain, itu sebuah toxic. Makanya parameternya tentu saja naluri kita sendiri. Apakah memang itu bermanfaat bagi kita atau justru menyia-nyiakan waktu. Saya yakin hati kita tak akan berbohong. Anda bisa saja mengatakan kepada orang lain bahwa melakukan sesuatu di internet itu bermanfaat, namun jika itu tak bermanfaat maka hati kecil anda akan memberontak.


Sifat Dasar Manusia


Berbagai kesia-siaan tersebut tentu saja berakar dari sifat dasar manusia yang cenderung menghindari kesusahan. Otak kita telah didesain agar menolak sesuatu yang menurut tubuh kita adalah sesuatu yang membosankan atau tak menyenangkan. Makanya, berbagai aturan kerap kali orang terabas lantaran dinilai tak menyenangkan.

Belajar, menunaikan kewajiban, taat aturan, taat perintah guru dan orang tua dan hal-hal lainnya adalah sesuatu yang sering kali tak menyenangkan. Makanya, akan lebih banyak orang yang tak taat agama dibandingkan mereka yang taat. Karena bagi bayak orang aturan-aturan itu menyusahkan.

Tentu saja ini tak bisa dilepaskan dengan persepsi yang ditanamkan pada otak masing-masing orang. Lagi-lagi persepsi membentuk bagaimana kita menjalani kehidupan.

Kita mungkin menganggap bahwa aktivitas peribadatan itu membosankan, banyak di antara kita yang melalaikannya bahkan sampai meninggalkannya. Padahal saya yakin semua orang tahu bahwa itu sebuah kewajiban. Tapi mengapa demikian?

Tentu saja masalah persepsi akan aturan atau perintah tersebut. Bagi mereka yang dengan riang menjalankan perintah tersebut, tentu hal ini lantaran telah terbentuk pembiasaan pada dirinya, diiringi dengan pembentukan kesadaran akan kewajiban itu. Muara dari sini tentunya pandangan dan keimanan yang kokoh akan segala perintah dan kewajiban yang diemban.

Tanpa adanya itu semua, setiap aturan maupun kewajiban pasti akan orang terobos. Hal ini teruji dalam pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB saat pandemi Covid-19 melanda. Kala itu masih sering ditemui masyarakat yang tak mengindahkan protokol kesehatan yang dikampanyekan pemerintah.

Artinya masih banyak publik yang menganggap bahwa berbagai aturan tersebut menyulitkan dan akhirnya tubuhnya menolak untuk taat. Tanpa adanya kesadaran bahwa virus Corona itu amat berbahaya, apalagi pemerintah waktu itu terkesan meremehkan, akhirnya timbullah ledakan kasus seperti saat ini yang mencapai lebih dari empat ribu temuan kasus Covid-19 per hari. Berkali-kali lipat dari bulan pertama virus ini ditemukan di Indonesia.


Waktu Kita Terbatas


Dengan berbagai fasilitas yang dapat memanjakan kita, kita mestinya bisa lebih produktif. Produktif itu terkadang membosankan, tapi jika kita pahami dengan benar, serta menanamkan persepsi yang kokoh bahwa produktif itu sebuah kebaikan yang mau tak mau mesti dikerjakan demi hal baik di masa depan. Maka tentu saja kita sedikit ringan membiasakan hal-hal yang bagi kita tidak menyenangkan itu.

Di samping juga, kita harus selalu mengingat akan terbatasnya waktu kita. Mungkin kalau kita ingin mengulas masa-masa di saat kita masih SD, waktu itu seakan-akan baru beberapa tahun dilalui. Namun faktanya kita bahkan sudah belasan atau bahkan puluhan tahun melewati masa tersebut.

Tak disangka bukan? Jatah kita hidup di dunia ini akan segera habis. Bersiaplah, kencangkan ikat pinggang mulai hari ini kita berubah. Tak apa-apa membosankan, tak apa-apa menyakitkan karena untuk dibentuk tak ada yang namanya instan.


About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.