GRENDENG THINKER VIEWS

Catatan Politik Grendeng Thinker (Grenthink) Pt. 1


Ilustrasi: Pxfuel.com

Kondisi politik di Indonesia akhir-akhir ini mulai menunjukkan hawa panasnya. Pemilu 2024 masih cukup lama, namun aura konfrontasi antara oposisi dengan pemerintah begitu kuat. Terutama sejak Pimpinan Front Pembela Islam (FPI), Habib Muhammad Rizieq Shihab kembali pulang ke Indonesia pada 10 November 2020.

Habib Rizieq meninggalkan Indonesia sejak 26 April 2017 silam. Saat itu dia menunaikan ibadah umrah ke Tanah Suci. Pada 5 Mei, ia singgah di Malaysia dan tidak lama kembali terbang ke Arab Saudi. Habib Rizieq kemudian jadi tersangka pada 29 Mei 2017 kasus dugaan pornografi berupa chat seks dengan wanita yang diduga Ketua Yayasan Solidaritas Sahabat Cendana, Firza Husein.

Rizieq tiba di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) pada pukul 09.00 WIB. Hari itu berbagai platform media sibuk memberitakan dirinya. Aksi menyambut kedatangannya menuai pro-kontra yang tak berujung. Hal ini lantaran kedatangan Habib Rizieq di bandara Soetta menimbulkan ribuan jemaah memadati area itu. Bahkan saat menjelang subuh pada hari itu, akses menuju bandara macet total. Di sinilah banyak pihak menyayangkan aksi penjemputan tersebut, karena menimbulkan kemacetan. Terlebih lagi, saat itu pandemi masih melanda Indonesia. Di mana angka temuan kasus positif masih di angka ribuan per hari.

Kendati banyak yang mendengungkan suara sumbang terhadapnya, pimpinan FPI itu memilih cuek, kalau tak mau disebut tak mau ambil pusing. Beberapa hari setelah kepulangannya ke Tanah Air, Habib Rizieq langsung memicu keramaian di kediamannya. Bahkan ia bersama jemaahnya menggelar perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw. Sontak saja ia menuai banyak kecaman di media sosial, tapi bukan Habib Rizieq namanya jika Imam Besar FPI itu gentar dengan berbagai serangan terhadap dirinya. Ia bahkan nekat menggelar acara pernikahan anaknya yang memicu kerumunan di kediamannya Kelurahan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Serangan makin menjadi-jadi, di media sosial pro-kontra akan aksinya itu membelah masyarakat. Bagi mereka yang kagum akan ketokohan Habib memilih mendukung sang junjungan, lain halnya mereka yang berangkat dengan nalar ilmiah menyesalkan aksi tersebut. Sikap permusuhan ditunjukkan oleh mereka yang memiliki sentimen dengan Habib Rizieq, nada pikiran maupun ucapan mereka serentak untuk menyudutkan tokoh FPI itu. Bahkan sejumlah akun di media sosial yang entah asli atau tidak menghembuskan suara-suara mencemooh Habib.

Rasa permusuhan begitu kental antara kubu Habib dengan pendukung pemerintah. Hal ini maklum terjadi, jika ditarik ke belakang konfrontasi antara massa Habib Rizieq dengan kubu pemerintah yang tengah dikomandoi Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai panas sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 silam. Di mana kubu FPI terlihat berada di barisan Anies Baswedan yang saat itu masih menjadi calon gubernur Jakarta. Lawannya petahana Basuki Tjahja Purnama atau Ahok.

FPI dan sejumlah ormas Islam lain mengamplifikasi pesan yang diambil dari Al Quran untuk tidak mengambil seorang “kafir” sebagai pemimpin. Gaung pesan ini tampaknya mengganggu Ahok, ia yang merupakan satu-satunya calon gubernur non-muslim merasa tersudutkan. Ia entah sengaja atau tidak akhirnya mengucapkan sesuatu yang di kemudian hari memancing gelombang demonstrasi umat Islam secara besar-besaran.

Ahok pun gagal menduduki posisi empuk kursi gubernur Jakarta. Kursi itu berhasil diduduki oleh Anies Baswedan. Setelah ini, muncul kasus chat mesum Habib. Dari pola dan aromanya, Habib Rizieq dan pendukungnya percaya bahwa isu itu diembuskan untuk meruntuhkan ketokohan dirinya. Ia menganggap hal itu sebagai bentuk kriminalisasi terhadap ulama.

Sampai detik tulisan ini ditulis, rasa permusuhan antara kedua kubu begitu kentara. Habib Rizieq sebelumnya pernah menawarkan “rekonsiliasi,” namun tampaknya tak ditanggapi serius oleh pemerintah. Pasalnya, rekonsiliasi yang ditawarkan Habib Rizieq menyaratkan sejumlah hal. Salah satunya meminta untuk membebaskan sejumlah orang dari kubunya yang tengah tersandung beberapa kasus seperti ujaran kebencian dan lainnya.

Pendukung Habib Rizieq juga berkonfrontasi secara terbuka di media sosial dengan artis kenamaan, Nikita Mirzani. Permusuhan ini dipicu oleh postingan “Nyai,” sapaan warganet kepada artis tersebut—yang dianggap merendahkan Habib Rizieq dengan menyebutnya sebagai tukang obat. Nyai banyak mendapat dukungan dari akun-akun pro kubu pemerintah, tapi dia juga dihujat oleh akun pro Habib.

Pemeriksaan

Berbagai polah yang dilancarkan Habib Rizieq dan jemaahnya pasca kepulangannya membuat pemerintah terlihat begitu resah. Tak lama, Polda Metro Jaya mengundang sejumlah pihak untuk dimintai keterangannya atas timbulnya kerumunan di acara pernikahan anak Habib Rizieq. Gubernur Jakarta Anies Baswedan tak luput dari pihak yang juga diundang. Pada Selasa, 17 November 2020, cucu dari pahlawan nasional Abdurrahman Baswedan itu memenuhi panggilan penyidik Polda Metro Jaya.

Polisi berujar bahwa undangan itu demi meminta klarifikasi dari gubernur Jakarta tersebut. Klarifikasi soal status Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB di Jakarta kala pernikahan anaknya Habib Rizieq itu dilangsungkan. Seperti yang banyak diketahui, pernikahan Najwa Shihab, putri Habib Rizieq yang memicu kerumunan massa dilangsungkan saat Jakarta masih memberlakukan PSBB Transisi.

Banyak pihak yang menilai pemanggilan Anies terkesan janggal, mereka mempertanyakan motif polisi untuk memanggil bekas menteri pendidikan itu. Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun misalnya, dalam video yang diunggah di kanal Youtube pribadinya di Refly Harun pada Rabu, 18 November 2020 mengatakan bahwa dirinya merasa aneh melihat pemanggilan polisi terhadap Anies Baswedan. Menurutnya dalam rangka apa polisi mengundangnya. Jika dalam kerangka kecurigaan adanya unsur pidana, maka mestinya Habib Rizieqlah yang pertama diperiksa. Pasalnya Habiblah yang mempunyai hajat. Namun polisi justru memanggil panitia acara, bukan Habib Rizieq.

Begitupun jika polisi berencana untuk meminta tanggung jawab Anies atas timbulnya kerumunan dan abai untuk menegakkan protokol kesehatan, maka polisi tetap dinilai bukan pihak yang pantas untuk melakukan ini. Harusnya DPRD DKI Jakarta-lah yang menempuh cara seperti ini. Berhubung Anies dipilih oleh rakyat, maka rakyat Jakarta-lah yang harus menilai kinerjanya. Lebih jauh lagi, polisi juga membuka peluang untuk membawa kasus itu ke ranah pidana.

Saat ini kondisi masih belum mencair, konfrontasi yang dipertontonkan oleh kedua belah pihak membuat rakyat memiliki pandangan untuk memihak salah satu kubu atau bersikap masa bodoh. Pernyataan Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) bak tengah mengajak pemerintah bermain catur. Slamet Maarif, salah seorang pimpinan PA 212 menyebut untuk menunda acara Reuni 212 yang biasa digelar setiap 2 Desember itu. Acara yang biasa menghadirkan umat Islam di area Monas, Jakarta itu untuk sementara ditunda sembari mengamati perkembangan perhelatan Pilkada 2020 yang sedianya digelar pada 9 Desember mendatang.

Jika pesta demokrasi itu menimbulkan kerumunan, maka PA 212 batal menunda aksi itu. Dan akan tetap menggelar Reuni 212. Taktik seperti ini begitu cantik, di satu sisi pemerintah pasti tak menghendaki adanya Reuni 212. Namun di sisi lain, jika pemerintah tak mau acara itu dihelat, maka mereka wajib memastikan bahwa Pilkada 2020 dihelat dengan menaati protokol kesehatan dan tak memicu timbulnya kerumunan. Pilihan yang sulit mungkin bagi pemerintah, sebabnya jika berkaca pada massa kampanye yang sudah-sudah pemerintah kerap kali gagal untuk mencegah timbulnya kerumunan.

Akan terlalu dini menerawang masa depan politik Indonesia di 2024 nanti, kita hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi di beberapa hari ke depan. Apakah politik akan mencair, atau sebaliknya semakin memanas. Kita akan lihat...

About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.