Ilustrasi: pxfuel.com
Umat Islam Indonesia masih dikepung kebimbangan, bak seekor ikan mereka tak nyaman jika mesti diletakan di dalam air penuh limbah. Sebagian dari mereka yang taat melihat degradasi nilai-nilai agama di tengah masyarakat melatarbelakangi perasaan tak nyaman tersebut. Nilai yang biasa mereka emban seakan tak sejalan dengan kondisi sosial di lapangan.
Kondisi ini diperparah dengan sikap sebagian pimpinan mereka yang dinilai cenderung meminggirkan nilai-nilai Islam. Seakan narasi "jangan bawa-bawa agama dalam politik" semakin santer di dengungkan. Tapi pada faktanya, mereka yang mendengungkan dinilai menggunakan umat Islam yang "awam" sebagai alat politiknya.
Presiden Joko Widodo menang besar dalam perhelatan Pemilu 2019, atas lawannya Prabowo Subianto, seorang purnawirawan Angkatan Darat (TNI). Kubu pendukung Prabowo dianggap banyak pihak memainkan sentimen agama dalam kontestasi tersebut. Cap barisan "Islam radikal" saat itu dipandang begitu lekatkan dengan kubunya.
Front Pembela Islam (FPI) yang selama ini dianggap sebagai golongan garis keras berada di barisan mereka. Narasi #2019GantiPresiden pun terus dikebut untuk disuarakan oleh mereka.
Saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan Joko Widodo dan Maruf Amin, kubu Prabowo menyuarakan penolakan. Mereka mendelegitimasi perolehan suara Jokowi-Maruf dengan tudingan bahwa pihak lawannya melakukan kecurangan. Hal ini nyaris dipercaya oleh semua pendukung Prabowo, termasuk FPI sebagai salah satu basis massa pemilih Prabowo.
Ketidakpercayaan simpatisan Prabowo diperparah dengan penolakan Prabowo akan hasil pemilu yang dinilai sarat akan kecurangan tersebut. Sebagai bukti keseriusan tuduhan mereka, akhirnya tim hukum Prabowo membawa kasus dugaan kecurangan itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Usai KPU menetapkan pasangan Jokowi-Maruf memenangkan kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden, massa Prabowo sempat melakukan aksi unjuk rasa atas hasil pemilu yang dinilainya penuh kecurangan, di Perempatan Thamrin mulai 21-22 Mei. Dalam rentetan aksi itu, sejumlah orang tertembak, terutama mereka dari massa Prabowo. Hingga saat ini tak diketahui siapa dalang penembakan tersebut. Bahkan terdapat juga korban jiwa anak-anak yang masih berusia 15 tahun.
Namun upaya kubu Prabowo untuk membawa dugaan kecurangan tersebut ke MK berujung kegagalan. MK menetapkan Jokowi-Maruf-lah presiden dan wakil presiden yang terpilih oleh rakyat Indonesia.
Tak lama, Jokowi mengumumkan merapatnya kubu Prabowo ke koalisi pemerintah. Prabowo pun dipinang Istana untuk menduduki kursi empuk sebagai Menteri Pertahanan. Dan dari sinilah kekecewaan massa FPI terhadap Prabowo dimulai.
Prabowo seakan tak pernah mempunyai hubungan apa-apa dengan FPI. Saat Pimpinan FPI, Habib Rizieq yang sudah lebih dari tiga tahun berada di Arab Saudi kembali pulang ke Indonesia pada 10 November 2020, Prabowo tak menunjukkan sikap kegembiraan sama sekali. Di saat banyak tokoh dari kubu Habib Rizieq mengunjungi kediaman Imam Besar FPI itu, Prabowo justru memilih diam. Kata selamat datang pun tak sepatah kata diucapkan. Ini mengesankan untuk semakin menegaskan bahwa Prabowo tak membutuhkan FPI lagi.
Umat Islam Jadi Alat
Lagi-lagi umat Islam harus menelan pil pahit kekecewaan mereka atas bergabungnya Prabowo ke gerbong pemerintahan. Seakan jatuh kemudian tertimpa tangga, begitulah sekiranya nasib yang dialami oleh golongan FPI dan “konco-konco-nya”. Bagaimana tidak, calon presiden yang mereka bela mati-matian telah gagal menduduki kursi RI 1. Ditambah lagi mereka harus kecewa melihat calon andalannya justru berbalik ke barisan petahana, yakni Presiden Joko Widodo.
FPI dan massa Islam lainnya seakan hanya menjadi alat. Di mana mereka begitu dibutuhkan tenaga dan dukungannya hanya saat pemilu saja, setelah itu akan disingkirkan bahkan dijadikan keset.
Pola seperti ini juga pernah terjadi beberapa dekade silam. Saat era Demokrasi Terpimpin berada di ujung nadir, Orde Baru pun terlahir. Pertengahan 1960-an menjadi titik balik kekuasaan Presiden Soekarno. Gerakan 30 September yang dituding didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) menjungkirbalikkan kekuasaan Soekarno. Soeharto memanfaatkan momentum tersebut untuk menggelorakan semangat pelibasan terhadap PKI.
Kalangan Islam yang dari dulu kerap berkonfrontasi dengan PKI menjadi sasaran propaganda Soeharto. M.C. Ricklefs dalam “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008,” bahkan menyebut bahwa aktivis Islam memiliki andil yang besar dalam membasmi PKI.
“Lewat seruan salat yang diudarakan dengan suara keras, dan lewat peringatan berulang-ulang kepada kaum mukim untuk menyempurnakan akidah mereka. Banyak umat Islam menganggap positif atmosfer kesadaran agama yang semakin tinggi ini,” tulis Ricklefs.
Umat Islam bahkan pada awal-awal mendukung Orde Baru dan mempersepsikan lahirnya rezim itu sebagai tanda kemenangan Islam di masa depan. Sejumlah orang pun hendak membangkitkan Masyumi yang sempat dibubarkan oleh kekuasaan rezim Orde Lama. Namun rencana itu ditolak oleh Soeharto.
“Pada bulan April-Mei 1967, usaha menghidupkan kembali Masyumi dengan nama berbeda dilakukan oleh politikus Islam modernis. Soeharto tidak menyetujui usaha ini, karena baginya para politikus Islam modernis di perkotaan sudah tercemar oleh pemberontakan dan fanatisme,” sebut Ricklefs.
Tak berhenti sampai di situ, karena menganggap PKI sudah tumbang di mana dulu partai itu merupakan rival politik maupun ideologi bagi kalangan Islam, di tahun 1967 kalangan Islam mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang diketuai Mohammad Natsir, bekas politisi Masyumi. Kehadiran organisasi ini ditujukan untuk meluaskan Islamisasi dalam masyarakat Indonesia.
Akan tetapi, disebutkan Ricklefs elite militer Orde Baru menganggap lembaga ini sebagai peran tepat bagi Natsir serta bagi agama menyembul dalam area politik. Elite Orde Baru menganggap Natsir serta agama tak cocok untuk politik.
“Para tokoh muslim mencurigai pemerintah memiliki prasangka anti-Islam secara diam-diam. Mereka melihat sebagian personel militer senior beragama Kristen dan agama personel lainnya—khususnya Presiden Soeharto—tampak lebih dekat ke (kepercayaan) Kebatinan,” tulis Ricklefs.
Pengusaha pribumi diceritakan Ricklefs, cenderung tergolong sebagai muslim yang taat juga merasakan keraguan kepada Soeharto. Sebabnya para pengusaha pribumi merasa disingkirkan dalam ekonomi nasional oleh rezim Orde Baru. Elite Orde Baru lebih mempercayai pengusaha keturunan China ketimbang Indonesia. Hal ini lantara pengusaha China lebih memiliki akses terhadap modal luar negeri.
“Para pengusaha pribumi yang tak memiliki akses langsung ke modal asing sangat terpukul. Para pengusaha pribumi merasa disingkirkan bahkan dari bisnis yang secara tradisional (mestinya) milik mereka (contohnya tekstil, makanan dan minuman, rokok kretek) oleh China dan pesaing asing lainnya yang memiliki akses ke uang yang lebih murah,” sebut Ricklefs.
“Maka para pengusaha pribumi yang cenderung anti-komunis, tergolong Islam yang taat, dan karena itu menjadi bagian dari ‘koalisi awal yang mendukung Soeharto,’ mulai ‘ragu’ apakah kepentingan mereka akan benar-benar dilayani oleh Orde Baru,” sambungnya.
Oleh karenanya, umat Islam seharusnya jeli melihat motif para politikus ‘pragmatis’ untuk merapat ke barisan umat Islam. Berkaca pada masa lalu dan kejadian pada Pemilu 2019 bagi kami sudah cukup membuktikan bahwa kerap kali umat Islam hanya digunakan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan praktis, setelahnya akan disingkirkan. Bahkan tak jarang dikebiri dari dunia perpolitikan.
0 komentar:
Posting Komentar