Gagasan

Juminten dan Tarno: Sebuah Cerita tentang Kekolotan Tak Bermakna

 


Ilustrasi: Bukit di Atas Ayana Komodo Resort, Labuan Bajo.

Tak ada yang melebihi kebahagiaan Juminten dan Tarno hari itu. Raut wajah mereka begitu tegas menunjukkan bahwa merekalah pasangan yang paling bahagia kala itu.

Juminten dan Tarno sudah terlampau lama menunggu momen ini. Mereka sudah menghabiskan waktu tak kurang dari dua tahun demi menunggu momen duduk bersama di singgasana pelaminan. Maklum saja, Tarno yang sehari-hari berprofesi sebagai pengajar di pondok pesantren ini butuh waktu lama agar bisa menyanggupi permintaan keluarga Juminten untuk menggelar organ tunggal dalam momen pernikahan mereka.

Juminten seorang yatim piatu sejak dirinya berada di bangku SMP. Sejak itu, ia diadopsi oleh sang nenek yang ditopang oleh bibi-bibinya. Sang nenek merupakan salah satu kalangan kelas mengah di desanya. Sawah dan tanahnya terhampar luas. Namun itu dulu, kini semua raib bak melelehnya es di tengah terik.

Ada sesuatu yang tak bisa Juminten ceritakan soal neneknya itu. Entah mengapa dahulu dikenal sebagai orang yang berada, kini keluarga mereka hidup dengan pas-pasan.

Walaupun sudah begitu, keluarga Juminten tetap memiliki ego sebagaimana ego keluarga mereka dulu. Nenek beserta bibi-bibinya seakan lupa bahwa harta yang dulu mereka selalu banggakan sudah sirna.

Oleh karenanya saat Juminten dilamar Tarno, keluarganya, terutama sang nenek menyaratkan hal yang seakan mustahil dilakukan. Ya sang nenek minta saat resepsi acara pernikahan nanti menggelar organ tunggal. Organ tunggal merupakan sebuah orkes dangdut di mana ada sejumlah penyanyi beserta pemain musiknya yang pentas di atas panggung menyanyikan lagu-lagu dangdut.

Mereka yang bisa menyewa organ tunggal biasanya bukan dari keluarga sederhana seperti Tarno. Bahkan gaji dua tahun Tarno pun tak bisa untuk menyewa orkes dangdut ini.

Begitu mendengar permintaan keluarga Juminten, Tarno merasa lemas. Keringat dingin perlahan menetes dari keningnya. Ia tak menyangka pihak keluarga Juminten, kekasihnya menyaratkan hal semacam itu.

Di sini bukan tanpa alasan nenek Juminten menyaratkan itu. Hatinya masih dipenuhi rasa gengsi yang seakan mendarah daging di sekujur tubuhnya. Egonya tak lekang kendati Allah telah melepas atribut kekayaan yang dulu melekat dalam dirinya.

Mottonya hidupnya seakan berbunyi “kalau tetangga bisa, masa saya tak bisa”. Ia ingin menunjukkan kembali kedigdayaan keluarganya bahwa mereka bisa menggelar organ tunggal dalam pernikahan cucunya.

Juminten yang saat itu duduk di sebuah sofa yang diimpit nenek di sebelah kirinya dan bibi di sebelah kanannya sekan tak bisa berbuat apa-apa. Ia dengan malu-malu menatap ke arah Tarno yang tampak lemas sejak mendengar permintaan neneknya itu.

Terbesit rasa khawatir di benak Juminten, apakah kekasih hatinya itu akan mundur. Tapi Juminten begitu paham dengan karakter Tarno, berkat tempaan kedua orang tuanya Tarno bukan pribadi yang mudah mundur. Mentalnya begitu teguh kendati kemustahilan bagi pendapat banyak orang.

Di mata Juminten, kekasihnya bukanlah pribadi yang mudah tumbang. Tarno adalah perwujudan “suket teki” dalam bentuk manusia. Ia tak bisa mati hanya dengan diinjak-injak.

Esoknya, Juminten dan Tarno bertemu di sebuah langgar dekat lembaga pendidikan tempat Juminten mengajar. Ya Juminten sehari-hari berprofesi sebagai guru sama seperti kekasihnya. Bedanya gaji Juminten hampir empat kali lipat dari gaji Tarno.

Di langgar itu keduanya mendiskusikan soal permintaan sang nenek kemarin. Dengan nada sedikit emosi, Tarno mempertanyakan Juminten atas sikapnya kemarin. Mengapa kala neneknya menyaratkan permintaan yang mustahil dipenuhinya, Juminten justru diam memaku. Padahal di momen genting seperti itu, Tarno mengharapkan Juminten untuk bicara dan menunjukkan sikap penentangannya atas usulan sang nenek yang dinilainya “ngawur” tersebut.

Juminten dengan nada sedikit emosi juga mengucapkan bahwa dirinya tak bisa berkutik. Ia sejak SMP diasuh oleh nenek dan para bibinya, rasa tak enak seakan selalu bergelayut dalam benaknya. Semua permintaan neneknya selalu segan dibantah oleh Juminten. Tarno pun terdiam tanpa sadar ia mengangguk-anggukan kepalanya tanda ia memahami posisi serba sulit yang dihadapi Juminten kala itu.

Akhirnya mereka membicarakan jalan keluar dari semua ini. Tarno sempat menawarkan Juminten untuk melepaskan dirinya, namun Juminten enggan melakukan hal itu. Menurut Tarno, Juminten lebih baik mencari laki-laki lain yang lebih mapan dari dirinya. Namun Juminten bukan tipe perempuan yang mudah melupakan seseorang. Komitmennya tinggi, ia sudah siap sepenuh jiwa untuk menghadapi masalah ini bersama dengan Tarno.

Tarno pun menghela napas, dan berjanji akan mencari uang guna membiayai organ tunggal saat resepsi pernikahannya. Juminten pun menimpali bahwa dirinya juga akan menyisihkan sejumlah gajinya untuk turut menyumbang biaya organ tunggal itu.

Kini dua tahun lebih sudah mereka lalui untuk saling menghalalkan, mereka duduk bersama di singgasana yang tentu saja itu atas permintaan nenek Juminten. Mereka berdua pada dasarnya tak ingin muluk-muluk, tak perlu organ tunggal, tak perlu resepsi yang mewah. Mereka hanya ingin yang terpenting bisa saling menghalalkan.

Nenek Juminten dan Kekolotan Kita

Kisah Juminten dan Tarno murni terinspirasi dari kisah nyata yang sebetulnya banyak terjadi di sekitar kita. Bagaimana ego orang yang dituakan justru membuat semuanya jadi lebih sulit. Gengsi seakan terus mereka langgengkan, entah demi apa. Tapi yang pasti mereka bertolak dari sudut pandang yang salah soal pernikahan.

Bagi mereka yang lebih terdidik, baik secara intelektual maupun mental akan lebih bijaksana menanggapi pernikahan. Mereka tak mengedepankan ego, pun gengsi. Mereka justru menyiapkan bekal buat anak-anaknya untuk kehidupan pasca mereka menikah, bukan malah sibuk mempersiapkan resepsi. Karena bagi mereka resepsi jauh tak penting jika dibandingkan dengan kehidupan pasca anak-anak mereka menikah.

Pola seperti ini akhirnya justru membuat anak sibuk bereuforia dengan resepsi dan lupa bahwa setelah itu perjalanan masih panjang. Bagi saya, apa yang dilakukan nenek Juminten jelas mencerminkan kekolotan berpikir di kepalanya. Mereka menyaratkan sesuatu yang justru sia-sia belaka bagi kehidupan rumah tangga cucunya itu.

Duit yang mestinya bisa dipakai buat tabungan ataupun membuka usaha justru harus sirna digunakan untuk menyewa organ tunggal yang jelas tak akan bermanfaat sedikit pun bagi keduanya kelak. Tapi begitulah, orang tua yang mestinya mempermudah justru menghambat bahkan membebani anak-anaknya dengan hal yang tak berguna.

Semoga tak ada lagi Juminten dan Tarno yang lain di dunia ini.

About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.