Gagasan

Konsisten untuk Tidak Konsisten

 


Ilustrasi: Pixabay.com


Tak lama dari ini, publik tak kenal ampun menghujamkan kritik bahkan cibiran dengan nama yang kini tertaut dengan TikTok. Dia adalah Bowo, bagi mereka yang beberapa tahun silam cukup aktif memantau media sosial atau berita, dipastikan tak asing dengan nama tersebut.


Nama Bowo belum bisa lepas dengan TikTok, sebuah aplikasi pembuat video pendek yang kini tengah digandrungi sejumlah kalangan. Bahkan tak sedikit instansi pemerintah yang menggunakan aplikasi ini.


Lain dulu lain sekarang, begitulah ungkapan yang pantas untuk aplikasi besutan perusahaan asal China itu. Dulu mereka yang bermain TikTok harus siap menerima label kekanak-kanakkan atau alay, dan sebutan-sebutan semacamnya. Kini sekelas menteri pun ikut menjajal aplikasi ini.


Sekaliber Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim pun pernah mencicipi untuk membuat video di sana. Kendati masih menggunakan akun instansi.


Padahal kita mafhum bahwa Nadiem terbilang cukup ogah bermain-main dengan media sosial. Meskipun karena mungkin desakan sana-sini, akhirnya ia membuat akun media sosial pertamanya yang diumumkan ke publik, yakni Instagram.


Bowo yang bisa dibilang pionir TikTokers di Tanah Air awalnya harus rela menelan cibiran dari warganet di Indonesia yang terkenal "kejam". Acara meet and great yang mematok harga sampai Rp 80-100 ribu menjadi puncak hujatan terhadapnya.


Citra TikTok kala itu masih tak sebagus kini. Label-label seperti disebut di atas masih melekat di diri para pengguna TikTok.


Dari sana saya berpikir memang tak ada yang konsisten di dunia ini [keimanan tetap harus konsisten]. Akhirnya saya jatuh pada anggapan bahwa siapa pun yang melandaskan sikapnya pada hal-hal yang bersifat bendawi atau materil, maka harus siap dengan ketidakkonsistenan dunia.


Ya, lihat contoh TikTok, saya yakin banyak di antara pengguna TikTok saat ini yang dulu mencibir Bowo. Saya yakin pula banyak di antara kita yang melihat TikTok tak memberikan manfaat apa pun.


Tapi tunggu dulu, jika anda seorang pengusaha maupun berkutat dengan industri kreatif, maka TikTok tak bisa dipandang remeh. Itu sebabnya banyak perusahaan media maupun instansi pemerintahan yang berbondong-bondong merambah TikTok.


Musababnya lantaran tren pengguna TikTok yang semakin tahun semakin meningkat. Dan saya rasa sudah banyak masyarakat yang membuang persepsi negatif terhadap aplikasi ini, seperti saat era Bowo merajai aplikasi tersebut.


Lihat bagaimana tidak konsistennya kita. Saya rasa semua bakal diombang-ambing ketidakpastian. Seperti yang disebut di atas, jika kita masih sudi melekatkan kebenaran pada hal-hal yang bersifat material, maka kepastian hanyalah ketidakpastian itu sendiri.


Ada orang yang tak goyang diterpa apa pun karena keyakinanya akan sebuah hal membuat dirinya kukuh bagaikan gunung yang menunjam ke bawah tanah. Lain halnya apabila akar itu tercerabut, seseorang bakal dengan mudah "ikut-ikutan". Bahkan sesuatu yang dulu baginya dianggap menjijikan, namun karena dikemudian hari anggapan publik mengatakan bahwa hal itu bagus dan keren, maka mau tidak mau ia bakal turut larut dengannya.


Lantas dengan rekaman sejarah seperti itu, masihkah anda menyandarkan benar salah pada konsensus publik? 

About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.