Daria, wanita 28 tahun yang telah lebih dari enam tahun menjalani pekerjaannya sebagai buruh pabrik salah satu pabrik minumam dalam kemasan di kawasan industri, Cikarang, Kebupaten Bekasi, Jawa Barat. Wajah bugarnya kini berganti dengan tatapan lelah seakan mengabarkan kepada dunia ia menyerah.
Empat tahun lalu Daria dipinang Reza, pria yang usianya terpaut tiga tahun lebih tua darinya. Tak ubahnya Daria, Reza juga seorang buruh di pabrik komponen elektronik. Reza terbilang lebih beruntung dari Daria, ia mendapatkan upah setara UMR. Sementara gaji istrinya masih seperempat lebih rendah darinya.
Tak butuh waktu lama, selang setahun menikah mereka langsung dikarunia seorang putri yang kini masih balita. Di tengah kesibukannya sebagai buruh, Daria dituntut untuk mengurusi putrinya yang sedang membutuhkan perhatian besar seorang ibu.
Setiap pagi, Daria menyiapkan berbagai kebutuhan anak dan suaminya. Sampai jarum jam tepat berada di angka tujuh, aktivitasnya di rumah tak akan ia tinggalkan. Setelah itu Mahnaz, nama putri semata wayangnya, akan dititipkan ke Bu Darmin. Dia seorang wanita paruh baya yang sejak cuti melahirkan Daria berakhir, telah diamanahi mengasuh Mahnaz.
Bukan tanpa alasan Daria memilih Bu Darmin untuk mengasuh Mahnaz. Selain lakunya yang selama ini terkenal lembut, Bu Darmin juga belum dikarunia momongan setelah lebih dari dua dasawarsa menikah. Tempat tinggal yang tak jauh darinya menjadi pertimbangan tambahan mengapa Daria mempercayakan Mahnaz kepada wanita itu.
Pekerjaan Daria di pabrik amat menguras energinya. Pikiran untuk berhenti dari rutinitas di sana bukan tidak pernah ia pikirkan. Berkali-kali Daria bersama Reza menimbang untuk berhenti dari pekerjaannya. Terutama ketika Mahnaz sakit beberapa bulan lalu, ia sudah bulat untuk menanggalkan gawainya itu.
Namun keadaan memaksa Daria mengurungkan niatnya. Gaji suaminya yang pas UMR sementara mereka masih harus membiayai hidup orang tua masing-masing membuat Daria amat berat meletakan pekerjaannya selama ini. Daria dan Reza masing-masing masih memiliki orang tua, bahkan Reza masih mempunyai adik dua orang yang baru menginjak bangku SMA dan SMP.
Orang tua Reza yang hanya buruh tani membuat dia mau tidak mau turut membiayai kebutuhan orang tua ditambah kedua adiknya. Tak ubahnya Reza, Daria pun masih memiliki orang tua yang lengkap. Dahulu ayah Daria juga seorang buruh pabrik, namun sejak insiden kecelakaan yang membuat lengan ayahnya putus, ayah Daria dirumahkan dengan kompensasi yang tak seberapa.
Kini untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari orang tua Daria setiap pagi berjualan nasi kuning di depan gang. Penghasilan dari sana tentu saja tak cukup, untuk itulah Daria juga saban bulan mengirimkan uang untuk membantu kehidupan mereka.
Basa-Basi Hypocrisy
Suatu ketika Daria melihat pimpinan perusahannya tampil di salah satu stasiun TV daerah. Hal itu tak mengherankan baginya mengingat sang Bos bukan kali pertama tampil di sana. Usianya yang belum genap 30 tahun tapi sudah mempunyai lebih dari seribu karyawan membuat dia menjadi sosok idola lokal. Terlebih lagi sampai saat ini dia masih lajang membuat banyak kaum Hawa membidiknya.
Dalam sebuah perbincangan di stasiun TV tersebut, si Bos mengaku di usianya yang terhitung muda dia membanggakan diri lantaran telah berhasil menciptakan lebih dari seribu lapangan kerja. Namun mendengar ucapan sang Bos ditambah gayanya yang menurut Daria kelewat percaya diri, dia justru bergumam bahwa menurutnya menciptakan ribuan lapangan kerja namun mengupah pekerjanya dengan gaji murah bukanlah sebuah prestasi. Itu merupakan "sebuah perbudakan dengan gaya".
Menciptakan lapangan kerja namun menggaji para pekerja dengan upah yang untuk memenuhi "kebutuhan hidup yang layak" saja tidak cukup merupakan eksploitasi. Daria yakin ketika mengutarakan hal itu di depan publik akan menuai banyak kontroversi. Sejumlah pihak akan menganggap semua itu "bergantung pada gaya hidup," pihak lain bilang "cukup tidak cukup itu hanya masalah kepandaian kita dalam bersyukur".
Tapi kendati Daria tak pernah mengenyam bangku kuliah, dia dibekali kemampuan bernalar yang cukup tinggi ketimbang teman-teman di pabriknya. Hal itu terbaca kala masa-masa awal Daria hijrah ke kota dan menjadi buruh.
Saat itu selang tiga bulan diterima kerja, kawan-kawan di pabriknya menuntut kenaikan upah buruh. Bertepatan dengan May Day, ribuan buruh tumpah ke jalan meminta supaya gaji buruh dinaikkan.
Demo besar-besaran itu berujung rusah, massa buruh banyak yang kena pukul aparat. Sebagian dari mereka bahkan diamankan polisi karena dianggap provokator.
Daria saat itu menjadi satu dari ribuan buruh yang turun ke jalan untuk mendesak pemerintah menaikkan upah minimum para buruh. Usaha Daria dan ribuan buruh lainnya tampaknya membuahkan hasil, tepat awal tahun upah mereka meningkat 5 persen.
Di saat buruh lain menyambut dengan gempita kenaikan upah tersebut, Daria justru sebaliknya. Ia mengeja cukup lama untuk membandingkan kenaikan harga berbagai rupa barang dengan meningkatnya upah buruh.
Perempuan yang terkenal periang itu menghitung dengan saksama pengeluarannya dalam sebulan pascakenaikan upah minimum. Hasilnya ia bandingkan dengan pengeluaran di bulan-bulan sebelumnya. Dari analisis sederhana itu, Daria menemukan bahwa pengeluarannnya meningkat 10 persen dibanding sebelum ada kenaikan upah minimum.
Dari sana ia menarik kesimpulan bahwa kenaikan upah hanya kamufalse untuk menutupi kenaikan haraga barang-barang. Mayoritas buruh, menurut Daria tak menyadari siasat ini. Mereka justru gembira di saat penghasilan sesungguhnya mereka mengalami penurunan.
Dorong Wanita Bekerja
Belenggu tradisi beserta agama dianggap menjadi faktor utama bagi kaum Hawa untuk bekerja. Tapi saat ini semua itu dibongkar, wanita bekerja bukan lagi hal tabuh di masyarakat kita.
Citra "wanita karier" bahkan dianggap lebih mulia ketimbang mereka yang kesehariannya mengurusi rumah tangga. Tercipta dogma di tengah masyarakat bahwa wanita yang bekerja memiliki kasta lebih tinggi dari sesama kaumnya yang memilih tinggal di rumah. Hal ini cukup ironis, di mana di saat aktivis perempuan mendorong wanita untuk bisa setara dengan pria tapi di saat yang sama wanita yang memilih tinggal di rumah justru dipandang menjadi kelas "nomor dua".
Munculnya pandangan semacam ini di tengah benak publik amat disayangkan. Mengingat peran wanita yang memilih "tetap di rumah" tak kalah penting bahkan jauh lebih penting ketimbang peran mereka di sektor publik. Dikotomi seperti ini justru kontraproduktif dengan semangat "pemberdayaan wanita".
Daria membaca bahwa maraknya perempuan bekerja lebih banyak didorongan bukan atas kehendak pribadi, namun lebih kepada tuntutan hidup yang kian mengimpit. Daria tak habis pikir jika mengingat wanita yang sering kali dari para istri pejabat mendorong kaumnya sesama perempuan untuk bekerja.
Dorongan serupa juga diembuskan oleh mereka yang melabeli diri sebagai aktivis perempuan. Padahal menurut Daria jika dirinya dilahirkan sebagai anak orang kaya, ia lebih memilih menghabiskan waktu bersama anaknya ketimbang setiap hari bergelut dengan deru mesin pabrik.
Daria menyakini bahwa perempuan layak mendapatkan hak dan penghormatan. Tapi mendorong kaumnya untuk bekerja menurut dia sesuatu yang tak masuk akal. Bagaimana tidak, pengalamannya di pabrik selama sekian tahun membawanya untuk memahami betul bagaimana tak layaknya tempat itu bagi kaum Hawa.
Pekerja perempuan yang setiap saat bercucuran keringat adalah pemandangan biasa yang sering dilihatnya. Menahan letih bahkan kerinduan dengan si buah hati adalah makanan biasa bagi mereka.
Menurut pikiran Daria, daripada mendorong wanita untuk bekerja mengapa mereka tak meminta agar gaji di negeri ini bisa menghidupi paling tidak satu keluarga. Daria mencontohkan gaji suaminya yang hanya setara dengan upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Dengan istri dan anak yang masih balita saja menurut hitung-hitungan Daria gaji suaminya tak cukup. Apalagi ditambah mereka berdua dipaksa turut menghidupi keluarganya di rumah.
Daria acap kali mengeluhkan hitungan yang dipakai pemerintah untuk menentukan upah minimum kepada teman-temannya. Tapi mereka hanya menjawab "syukuri saja apa yang ada".
Daria merasa ada yang ganjil dengan penggunaan kalimat tersebut. Daria mengakui bahwa "syukur" adalah sikap wajib yang mesti dimiliki setiap manusia. Namun dalam konteks itu menurutnya serasa ada penyalahgunaan penggunaan kalimat syukur.
Menurut Daria syukur tidak boleh menolelir adanya prilaku yang dianggapnya sudah menjurus ke arah penindasan. Daria terkadang penasaran andai Nabi Muhammad, tokoh idolanya hidup di era ini, maka apa yang akan beliau lakukan melihat sistem upah minimum yang untuk membiayai kebutuhan hidup satu keluarga saja tak cukup.
Padahal menurut Daria dirinya sudah begitu sederhana. Sejak kali pertama menikah hingga saat ini Daria merasa tak pernah beli makanan di luar. Untuk kebutuhan makan sehari-hari bagi keluarga kecilnya, Daria memilih untuk memasaknya sendiri.
Dia paling anti dengan membeli makan di luar karena bisa menguras uang belanjanya. Sebagian perbandingan belanja lauk pauk untuk dua hari Daria hanya merogoh Rp 70 ribu. Sementara jika harus beli di luar angkanya bisa membengkang 180 ribu untuk dua hari. Dengan asumsi satu kali makan untuk satu orang Rp 15 ribu. Ini belum menghitung kebutuhan untuk anaknya.
Menaikkan Upah Minimum Suami
Daria dalam pikirannya tetap bersih kukuh bahwa mestinya mereka yang mendukung pemberdayaan perempuan juga harus menyuarakan agenda utama untuk menaikkan upah para pekerja dengan standar yang layak. UMR yang selama ini menjadi patokan banyak perusahaan dalam memberikan upah kepada pekerja, menurut Daria ditafsirkan secara keliru.
Huruf M dalam UMR mewakili kata "minimum", secara bahasa jelas minimum bermakan paling sedikit atau paling rendah.
Namun fakta ini seakan digerus oleh opini umum bahwa UMR samadengan upah standar. Padahal standar dengan minimum jelas jauh berbeda. Minimum dalam UMR adalah biaya minimal yang dikeluarkan oleh seseorang untuk bisa menjalani hidup di suatu tempat selama sebulan.
Maka ketika seseorang bicara mengenai UMR Cikarang atau UMR DKI Jakarta, maka dia bukan sedang membahas standar biaya hidup di Cikarang atau Ibu Kota. Melainkan Biaya paling minimal yang bisa dikeluarkan untuk menopang hidup di tempat tersebut.
Maka, pikir Daria amat aneh jika Indonesia memberlakukan UMR secara merata tanpa memandang apakah pekerja ini sudah mempunyai anak dan istri. Karena pada dasarnya UMR hanya menghitung kepala bukan keluarga.
UMR, kata Daria telah memaksa dengan sistematis suami-istri di Indonesia untuk bekerja. Supaya bisa menghidupi keluarga mereka. Amat malang bagi perempuan tinggal di negeri ini, pikir Daria dalam hatinya.
0 komentar:
Posting Komentar