Grenthink Views

Menjawab Jakarta van Ottoman

   

Ilustrasi: Pxfuel.com

Yopi Makdori


Tulisan ini dibuat untuk menjawab tulisan dengan judul “Jakarta van Ottoman” yang diterbitkan oleh blog pribadi sahabat Azzy yang merupakan salah satu orang yang saya hormati, tulisan tersebut diterbitkan pada 31 Desember 2016. Tulisan ini sengaja akan saya buat kaku karena jawaban yang saya sampaikan cukup serius. Baik, tanpa memperpanjang waktu langsung saja kita masuk ke bagian inti.

Indonesia menolak Israel? Dalam tulisannya sahabat Azzy (selanjutnya akan saya sebut Mr. Az untuk mempersingkat pengetikan) menuliskan bahwa Indonesia menolak berhubungan dengan agama Yahudi yang diinterpretasikan oleh Mr. Az bahwa penolakan Indonesia terhadap Israel berarti penolakan terhadap Yahudi. Begini redaksinya:

“…sayangnya Indonesia, dengan alasan yang kurang jelas menolak dengan agama Yahudi. Terbukti bahwa Indonesia menolak untuk memberikan visa perjalanan ke Israel (mungkin maksud Mr. Az Indonesia menolak memberikan visa perjalanan kepada warga Israel)”. 

Indonesia mempunyai alasan yang kuat mengapa menolak Israel, salah satunya tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea pertama, yang isinya “Bahwa Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan penjajah di atas dunia harus dihapuskan”. 

Inilah sikap para pendiri bangsa dalam menolak eksistensi negara Israel. Pada awal berdirinya Israel (1948) Bung Karno dengan tegas menolak untuk mengakui eksistensi negara itu. Ia  mempunyai alasan yang kuat kenapa menolak mengakui kemerdekaan Israel. Dia memandang Israel telah merampas tanah rakyat Palestina.

Perlu diingat tidak semua Yahudi mendukung Israel, lihat Noam Chomsky betapa gigihnya ia menolak berbagai tindak tanduk Israel. Tatkala pemerintah Israel mengundangnya untuk segera menetap di sana, Chomsky konsisten menolak tawaran tersebut. Kalau Mr. Az membaca lebih dalam lagi, para Yahudi Ortodoks juga menolak eksistensi Israel karena menurut mereka Israel buakanlah representasi dari Yahudi melainkan Zionisme (Baca Gerakan Anti Zionisme).

Bandingkan dengan Ottoman

Di paragraf selanjutnya Mr. Az berusaha membandingkan kondisi Indonesia sekarang dengan kondisi Imperium Ottoman di akhir masa menjelang kejatuhannya. Redaksinya sebagai berikut:

“Persis seperti di Indonesia, kondisi akhir di Imperum Turki Utsmani pun diterjang oleh gelombang fundamentalisme besar-besaran, di mana saran-saran imam besar dipandang sebagai hukum positif imperium . . . Kondisi ini adalah kondisi umum Imperium Turki Utsmani saat memasuki tahun 1700-an. Kondisi ini diikuti oleh menurun drastisnya pemasukan negara, mandeknya aktivitas militer dan perekonomian, lemahnya fondasi hukum di imperium dan meningkatnya jumlah utang Imperium Turki Utsmani. Kondisi-kondisi tersebut adalah akibat dari merajalelanya tindakan 'fundamentalisme keisalaman' di Turki Utsmani”.

Bagi saya klaim Mr. Az di atas adalah sebuah klaim yang kurang tepat, kalau tak mau dibilang ahistoris. Baik, mari kita bahas satu per satu klaim tersebut. Pertanyaan pertama yang ingin saya tanyakan adalah apakah benar kondisi menjelang akhir riwayatnya, Kekaisaran Turki Utsami diterjang gelombang fundamentalisme keislaman?

Lalu selanjutnya, apa itu fundamentalisme? Saya tak akan banyak mengutip definisi para ahli mari kita bedah menurut kata yang membentuk istilah tersebut, yakini “fundamental” dan “isme”. Fundamental sebenarnya kata serapan dari Bahasa Inggris yang jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia memiliki arti “asas” atau“pokok”. 

Tak berbeda dengan fundamental, isme juga berasal dari Bahasa Inggris, yakini ism yang berarti aliran atau paham (school of thought). Maka, bertolak dari arti kedua kata yang membentuk istilah fundamentalisme tersebut, fundamentalisme memiliki arti “paham yang berpegang teguh pada asas” dan jika ditambahkan keislaman akan menjadi “paham yang berpegang teguh pada asas keislaman”. 

Lantas mari kita kembali kepada pertanyaan awal, apakah benar kondisi menjelang akhir riwayatnya, Kekaisaran Turki Utsami diterjang gelombang fundamentalisme keislaman? Saya sudah mencari-cari di beberapa literatur terkait sejarah Kekaisaran Turki Utsmani menjelang kejatuhannya dan saya justru banyak menemukan bahwa keadaan di Turki Utsmani menjelang keruntuhan imperium itu banyak ditemukan masyarakat—terutama pemuda dan intelektual yang mengenyam pendidikan Barat—justru tak lagi percaya terhadap nilai-nilai Islam. Lalu apakah itu yang disebut fundamentalisme keislaman?

Kalaupun Mr. Az masih ngotot bahwa menjelang keruntuhannya Imperium Turki Utsmani menghadapi gelombang fundamentalisme keislaman, izinkan saya bertanya sejarawan mana yang mengatakan hal tersebut? Kalaupun iya pada saat itu terjadi gelombang fundamentalisme keisalaman, perlu digarisbawahi kalau kita mengacu pada arti fundamentalisme keislaman—yang saya paparkan di atas—maka pada masa kekuasaan Sulatan Mahmed II atau yang sering dijuluki Al Fatih, masyarakat Turki Utsmani lebih fundamental. 

Kemudian pertanyaan besarnya, seberapa jauh fundamentalisme keislaman memengaruhi (menjadi faktor dominan) kejatuhan Kekaisaran Turki Utsmani? Kalau kita menggunakan alur logika yang digunakan oleh Mr. Az, harusnya Turki Utsmani sudah runtuh sejak masa Sulatan Mahmed II, tapi apa kenyataannya? Kekaisaran Turki Utsmani berkembang dengan pesat, dibuktikan dengan lusanya wilayah kekuasaan kekaisaran tersebut. Justru sebaliknya, tatkala masyarakat Turki Utsmani terinfiltrasi ide-ide Barat, maka pada titik itulah awal kejatuhan imperium raksasa tersebut. Mr. Az dalam hal ini terlalu mensimplifikasi faktor yang menyebabkan kejatuhan Turki Utsmani dengan menuliskan bahwa:

Kondisi ini diikuti oleh menurun drastisnya pemasukan negara, mandeknya aktivitas militer dan perekonomian, lemahnya fondasi hukum di imperium dan meningkatnya jumlah hutang Imperium Turki Utsmani. Kondisi-kondisi tersebut adalah akibat dari merajalelanya tindakan 'fundamentalisme keisalaman' di Turki Utsmani”.


Memoar Sultan Hamid II

 

Di dalam catatan harian sultan terakhir Turki Utsamni, Sultan Abdul Hamid II yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Memoar Sultan Abdul Hamid II, dijelaskan bahwa Sultan Hamid II telah menyerahkan kekuasaannya terhitung sejak bulan Juli 1908, kepada para pejuang (pemberontak) dengan sebutan Mujahidin. Ia menuliskan (Hal. 66) :

“Wilayah kekuasaan kami (Ustmani) pada masa pemerintahanku membentang mulai dari Ashcodrh sampai ke Al-Bashra, dari Laut Hitam sampai padang pasir Afrika. Jika kami perbandingkan antara (penanggalan) Almanaq Dogoth yang diluncurkan tahun 1908 dan edisi yang muncul pada tahun ini, maka akan jelas bagi para penentangku aku tidak meninggalkan negara dalam keadaan terbakar. Melainkan meninggalkan sebuah wilayah yang luas dan dihuni lebih dari tiga puluh juta jiwa. Sebagaimana aku meninggalkan militer…”

 

Artinya jelas bahwa sejak tahun 1908, Imperium Turki Ustmani dijalankan oleh Turki Muda, termasuk keputusan bergabungnya Turki Utsmani pada Blok Poros di bulan November 1914 untuk kemudian terlibat Perang Dunia I yang menjadi faktor signifikan dalam mendukung merosotnya kekuatan imperium ini. 

Perlu diingat, pasca kekalahan Blok Poros dalam PD I, termasuk di dalamnya Turki Utsmani, membuat keadaan imperium ini gonjang-ganjing dan membuat sebagian wilayah imperium tersebut dibagi-bagi kepada pihak pemenang PD I (lihat Perjanjian Asia Minor atau yang dikenal dengan Sykes-Picot Agreement).

Sultan Hamid II melanjutkan :

“Kondisi semacam ini berlangsung (sejak campur tangan mereka dalam pemerintahan) selama sepuluh tahun. Apakah mereka mampu melakukan sepertiga dari pencapaian keberhasilanku selama masa pemerintahanku? Tak usah sampai sepertiga, sebab sepertiga itu banyak, kita katakana saja “sepersepuluh”. Apakah mereka akan mampu mencapainya?”

Apakah Sultan Hamid II hanya mengklaim sepihak? Tunjukan pada saya sejarawan mana yang tidak mengamini hal tersebut?.

Berhasil Turunkan Utang

Pada masa kekuasaan Sultan Hamid II, Turki Utsmani berhasil menurunkan utang luar negeri pemerintah dari 300 juta lira menjadi hanya 30 juta lira, namun tatkala Sultan Hamid II meninggalkan pemerintahan (1908), Turki Muda justru berhasil menaikkan kembali utang tersebut menjadi 400 juta lira (13 kali lipat). 

Utang-utang itulah yang menjadi salah satu faktor melemahnya perekonomian Turki Utsmani dan menjadi salah satu faktor jatuhnya imperium tersebut. Lalu pertanyaan saya, siapa yang menyebabkan utang Turki Utsmani melambung sebegitu besar?

Fundamentalisme Islamkah (Sultan Hamid II) atau kalangan sekular (Turki Muda)?. Jika kita bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan jujur, maka dalam hati kita akan bertanya, Sultan Hamid II ataukah Turki Muda dengan semangat sekularisasinya yang membuat Turki Utsmani runtuh?.

Pada pemaparan di atas saya harap Mr. Az mengerti bahwa fundamentalisme keislaman justru berpengaruh sangat kecil, kalau tak mau dibilang tak ada sama sekali dalam menyumbang faktor keruntuhan Imperium Tuki Ustamani. Justru, gagasan-gagasan Barat yang tertanam di pikiran para pemberontak—Turki Muda—yang pasca tahun 1907 telah menjalankan pemerintahan Turki Utsmani dan menggiring imperium besar tersebut ke dalam jurang keruntuhan.

Menurut saya sebuah tindakan yang amat “Fatal” terlalu mensimplifikasi faktor yang menyebabkan kejatuhan Turki Ustmani, apalagi klaim tersebut tak berdasar sama sekali. 

Para ilmuwan telah sejak lama berdebat mengenai faktor apa yang memengaruhi menurunnya kekuatan Imperium Turki Ustamani—munculnya Ottoman Decline Thesis—dan di antara mereka tak pernah ada yang menyinggung faktor fundamentalisme keislaman sebagai faktor yang signifikan untuk membuat imperium tersebut runtuh. 

Meskipun demikian Jonathan Grant, seorang sejarawan terkemuka menyebutkan bahwa pemahaman terkait sejarah menurunnya pengaruh Imperium Turki Utsmani saat ini terlalu “Eropa Sentris” dan kita menjadi kabur, kalau tak mau dibilang bias dalam memahami sejarah kejatuhan imperium tersebut. Saya tegaskan di sini bahwa julukan Barat terhadap Imperium Turki Utsmani dengan sebutan “the sick man of Europe” datang dari penguasa Rusia, Tsar Nicolas I yang kita tahu bersama bahwa Rusia merupakan musuh abadi imperium tersebut.

Di paragraf terakhir Mr. Az kembali berbicara terkait fundamentalisme, ia menganggap fundamentalisme sebagai biang dari kehancuran banyak bangsa, benarkah demikian? Lalu apa yang dimaksud Mr. Az dengan fundamentalisme itu sendiri?.

Terakhir, Mr. Az menganggap situasi di Indonesia saat ini mirip seperti yang terjadi di Turki pada masa-masa menjelang keruntuhannya, saya penasaran situasi seperti apa yang membuat keduanya mirip?

About Yopi Makdori

Diberdayakan oleh Blogger.