Ilustrasi: Pxfuel.com
Senin kemarin saya menemukan sebuah
ulasan di forum dunia maya terbesar di Indonesia—Kaskus—terkait Palestina.
Ulasan tersebut cukup menarik, karena menuliskan Palestina dari sisi yang
jarang dipublikasikan. Penulis menggunakan akun bernama “hazor.v3”—selanjutnya
saya akan sebut saudara Hazor. Ia menjelaskan panjang lebar terkait
Palestina (dari perspektif yang tidak biasa). Berikut akan saya tanggapi
tulisan dia:
Tulisan saudara Hazor di awali
dengan pertanyaan yang cukup kritis, seperti ini “apakah yg disumbang beneran layak disumbang? Bagaimana kalau
ternyata yang disumbang lebih makmur dari yg menyumbang?”.
Oke saya akan jawab,
saudara Hazor yang saya hormati, meskipun kita tak pernah bertemu, saya akan
bertanya kepada saudara “Apakah saudara tahu kapan penggalangan dana itu dilakukan dan apakah saudara tahu konteks penggalangan dana tersebut?”
Biasanya,
penggalangan dana dilakukan saat Israel membombardir Gaza dan berdampak pada
kerusakan yang sangat luas, dan saudara tahu konteks bantuan tersebut? Konteks
bantuan tersebut diberikan karena Gaza dalam posisi luluh lantak.
Anda tahu saat
Jepang terkena Tsunami? Indonesia terkena gempa bumi? Turki juga terkena
gempa bumi? Apakah dunia diam saja? Apakah komunitas internasional tidak ikut
menyumbang hanya gara-gara Jepang sudah makmur?
Pada saat itu Pakistan,
Bolivia, Afganistan, Maladewa, bahkan Indonesia ikut membantu dan menyumbang
dana kepada Jepang. Negara-negara tersebut pasti lebih mengerti dibanding
saudara ataupun saya tentang betapa sejahteranya Jepang, namun mereka masih
menyumbang.
Hal tersebut bukan dikarenakan siapa yang lebih maju dari siapa,
namun konteksnya siapa yang sedang dilanda musibah. Di dalam Studi Hubungan
Internasional—kebetulan saya mahasiswa Hubungan Internasional—ada prinsip yang
disebut “solidaris”, prinsip ini digunakan oleh negara-negara di dunia untuk
satu-sama lain saling membantu, meskipun dengan prinsip ini pula Amerika
Serikat melakukan intervensi militer ke beberapa negara.
Artinya, saya ingin
tegaskan bahwa negara-negara di dunia sekarang ini layaknya sebuah perkampungan
(global village) yang mana tidak ada lagi kata-kata seperti ini “urus
saja urusanmu sendiri, aku tidak peduli”. Karena dalam situasi negara-negara
yang satu sama lain saling terhubung, apa yang terjadi di suatu negara akan
berdampak bagi negara lainnya juga (domino effect).
Saudara menggunakan perbandingan foto-foto beberapa tempat di Gaza dengan di Indonesia.
Saudara juga menggunakan data tingkat obesitas di dunia, yang mana Gaza di
posisi kedelapan (laki-laki) dan ketiga (perempuan). Baik saya akan jelaskan,
dalam hal ini saudara menggunakan perbandingan foto yang salah—tidak adil—anda
menampilkan foto daerah-daerah yang “cemerlang” di Gaza dengan daerah kumuh di
Indonesia. Kalau adil mari kita ukur dengan data yang valid dari lembaga dan
orang-orang yang kompeten.
Obesitas Bukan Indikator Kemakmuran
Menurut
The Legatum Prosperity Index tahun 2015 lalu, Indonesia menempati posisi ke 69
dari 142 negara, lalu di mana posisi Gaza atau Palestina? Tidak masuk dalam
indeks, dan kalau kita menggunakan data dari Legtum, obesitas bukanlah
indikator kemakmuran. Saudara menggunakan tingkat obesitas sebagai indikator
kemakmuran sebuah bangsa, dan itu tak pernah dijadikan sebagai indikator
kesejahteraan oleh lembaga dan ilmuwan mana pun.
Penggunaan parameter kesejahteraan
yang salah akhirnya membuat saudara terjebak dalam argumen yang tidak
logis—membandingkan media kafir dengan media Indonesia—apa coba maksudnya? Di
sini saya tidak peduli tentang hal itu, saya hanya berbicara data resmi, entah
itu dari media Israel, Indonesia, atau yang lainnya.
Di Gaza 96 persen suplai air tidak
aman untuk dikonsumsi, listrik padam 12 jam sehari karena blokade dari Israel.
Nelayan dan petani di sana dilarang untuk mengakses tanah mereka, bahkan
ditembak saat sedang bekerja.
Bahkan 60 persen pemuda di sana terklasifikasi sebagai pengangguran—merupakan
tingkat pengangguran terbesar di dunia. Lebih dari 300 ribu anak-anak di sana
terkena trauma berat karena konflik.
Setiap hari mereka ketakutan jika tiba-tiba
dari atas mereka jet-jet Israel menggempur tempat tinggalnya. Blokade telah
berjalan selama delapan tahun dan menghancurkan perekonomian Gaza. Blokade
tersebut melarang warga Gaza untuk mengakses kebutuhan-kebutuhan dasar manusia,
seperti kesehatan dan pendidikan. Data tersebut saya dapat dari Oxfam ini
link-nya https://www.oxfam.org/en/emergencies/crisis-gaza.
Food Insecurity
Menurut WHO, 57 persen populasi di
Gaza dalam keadaan food insecurity atau kesulitan dalam mengakses bahan makanan.
Baca http://www.poponomics.net/2016/03/the-state-of-gaza-2-welfare.html. Masih kurang juga? Baca ini https://www.theguardian.com/world/2015/may/22/gazas-economy-on-verge-of-collapse-jobless-rate-highest-in-world-israel.
Selanjutnya
saudara beretorika dengan pertumbuhan populasi Gaza, argumen yang anda gunakan
kurang tepat. Saudara menggunakan argumen pertumbuhan penduduk sebagai dasar
memberi bantuan, ini logika yang salah. Kalau menggunakan logika ini berarti
negara-negara Eropa, Jepang dan Korea harus selalu kita bantu dong? Karena
memiliki pertumbuhan penduduk yang kecil bahkan minus dibandingkan dengan
Indonesia.
Tak Paham Konteks
Selanjutnya
lagi-lagi saudara tidak paham konteksnya, anda menampilkan kawasan elite di Gaza.
Baca ini http://imemc.org/article/68548/. Apakah jika di Jakarta memiliki kawasan elite lalu diserang oleh
Malaysia, lantas negara-negara lain tidak perlu memberikan bantuan?
Sekali lagi saya
ingatkan saudara tidak paham konteks bantuan tersebut. Bayangkan, saudara
tinggal di suatu negara yang segalanya diblokade apa saudara masih mau meulis
seperti itu? Dan perlu
diingat, dengan argumen anda yang menggunakan kawasan elite sebagai bukti
kesejahteraan di Palestina semakin menunjukan kalau anda tidak paham akan
konsep “pendudukan”.
Palestina Tengah Dijajah
Sebagai gambar tentang Gaza manipulasi? Sayang tidak paham akan hal itu, tapi di sini
kita akan berbicara data. Di tahun 2014 lalu, tepatnya bulan Juli hingga Agustus, Israel melakukan operasi militer di Gaza
selama 51 hari. Operasi militer ini dikenal dengan
kode Operasi
Protective Edge. Dalam
operasi tersebut sekitar 2.205 warga Palestina terbunuh—termasuk 722 milisi dan
lebih dari 500 anak-anak—ribuan di antaranya juga terluka.
Ditambah dengan 18
ribu rumah luluh lantak, dan sekitar 470 ribu jiwa terpaksa meninggalkan Gaza
(Middle East Research and Information Project). Lalu pertanyaannya, apakah
rakyat Gaza benar tidak dibantai? Saya paham bahwa memang benar ada oknum yang
sengaja memanipulasi foto-foto terkait korban di Palestina, namun hal ini bukan
berarti tidak ada pembantaian di sana.
Tidak semua apa yang terjadi di sana
direkam oleh lensa kamera. Kita juga harus mengerti perang informasi yang
dilakukan oleh para aktivis pro Palestina dan otoritas Israel, terkadang para
aktivis tersebut melakukan berbagai cara untuk menggalang simpati. Tapi kita
juga harus sedikit berpikir kritis, apakah benara gambar tersebut datang dari
para aktivis kemanusiaan yang pro terhadap Palestina atau jangan-jangan dari
mereka yang pro Israel untuk mengaburkan adanya pelanggaran kemanusiaan terhadap Bangsa Palestina?
Hal itu mengingat
mereka yang ada di lapangan pasti memiliki data foto-foto yang lebih orisinal dan mereka pasti lebih memahami situasi dan kondisi di sana jadi kemungkinannya
sangat kecil bagi aktivis pro Palestina—aktivis kemanusiaan—melakukan hal yang
seceroboh itu.
Menjelang akhir tulisan, saudara
Hazor yang cukup keras “penilaian dan mantan orang-orang yang pernah terlibat
Opsus—Oprasi Khusus—tentang akar masalah Palestina adalah kegagalan sistem
ekonomi mereka dari awal akibat watak dan sifat malas orang Arab”. Tampaknya dalam
hal ini argumen Hazor sangat groundless,
apa dia tak pernah dengar yang namanya blokade Israel terhadap Palestina? Hingga
menyebabkan bangsa Palestina runtuh dalam berbagai aspek, termasuk ekonomi?