Grenthink Views

Imagine Indramayu by 2030: End Poverty



Ilustrasi:Wikimedia.org

Yopi Makdori

     
The Sustainable Development Goals (SDGs), atau secara resmi dikenal dengan Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development, yang popular dengan sebutan “Global Goals”, adalah sebuah kumpulan tujuh belas aspirasi “Global Goals” dengan 169 target di dalamnya. SDGs dilahirkan di dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro, Brazil pada 2012. 

SDGs ini tertuang dalam paragraf 56 resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) A/RES/70/1 pada tanggal 25 September 2015. SDGs diciptakan untuk menggantikan program serupa, yaitu Millennium Development Goals (MDGs) yang telah berakhir di tahun 2015 kemarin sejak pertama kali dijalankan di tahun 2000. Jadi dengan kata lain, SDGs merupakan kelanjutan dari MDGs dalam lima belas tahun kedepan—tepatnya tahun 2030.

MDGs dianggap berhasil dalam beberapa sektor, berikut beberapa keberhasilan MDGs yang kemudian menjadi landasan semangat untuk menciptakan SDGs: 1) berhasil mengeluarkan lebih dari satu miliar orang dari kemiskinan ekstrim (sejak 1990); 2) kematian anak menurun hingga lebih dari setengah kali (sejak 1990); 3) jumlah anak yang putus sekolah menurun hinggah lebih dari setangah kali (sejak 1990); 4) infeksi HIV/AIDS menurun hingga hamper 40 persen (sejak 2000) (UNDP, 2016). Pencapaian-pencapaian yang berhasil diraih MDGs tersebut menjadi semangat para pemimpin dunia untuk melanjutkan program yang serupa dengan memperluas cakupan isunya, maka dari itu tercetuslah SDGs dengan cakupan isu yang lebih luas, bahkan hampir meng-cover segala aspek dalam kehidupan kita.


SDGs memiliki tujuh belas gol yang kemudian diperinci menjadi 169 target, berikut ketujuhbelas gol tersebut: 

1) End Poverty in All Its Forms Everywhere; 2) End Hunger, Achieve Food Security and Improved Nutrition, and Promote Sustainable Agriculture; 3) Ensure Healthy Lives and Promote well-being for All at All Ages; 4) Ensure Inclusive and Equitable Quality Education and Promote Life-long Learning Opportunities for All; 5) Achieve Gender Equality and Empower All Women and Girls; 6) Ensure Availability and Sustainable Management of Water and Sanitation for All; 7) Ensure Access to Affordable, Reliable, Sustainable, and Modern Energy for All; 8) Promote Sustained, Inclusive and Sustainable Economic Growth, Full and Productive Employment and Decent Work for All; 9) Build Resilient Infrastructure, Promote Inclusive and Sustainable Industrialization and Foster Innovation; 10) Reduce Inequality Within and Among Countries; 11) Make Cities and Human Settlements Inclusive, Safe, Resilient and Sustainable; 12) Ensure Sustainable Consumption and Production Patterns; 13) Take Urgent Action to Combat Climate Change and Its Impacts; 14) Conserve and Sustainably Use the Oceans, Seas and Marine Resources for Sustainable Development; 15) Protect, Restore and Promote Sustainable Use of Terrestrial Ecosystems, Sustainably Manage Forests, Combat Desertification, and Halt and Reverse Land Degradation and Halt Biodiversity Loss; 16) Promote Peaceful and Inclusive Societies for Sustainable Development, Provide Access to Justice for All and Build Effective, Accountable and Inclusive Institutions at All Levels; 17) Strengthen The Means of Implementation and Revitalize the Global Partnership for Sustainable Development (UNDP, 2016).

Dari ketujuhbelas gol tersebut, gol pertama, yaitu “End Poverty in All Its Forms Everywhere” yang akan saya pilih menjadi fokus kajian kita di dalam tulisan ini, dengan konteks di wilayah Kabupaten Indramayu.

Konsep kemiskinan merupakan fenomena yang masih menjadi perdebatan para ilmuwan sampai saat ini, Renata Lok-Dessallien dalam papernya yang berjudul “Review of Poverty Concepts and Indicators”, menjelaskan bahwa kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan relatif (absolute and relative concept). Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standar yang baku (konsisten), tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat. Hal tersebut berhubungan dengan standar pengeluaran perhari, kondisi kehidupan sosial, dan konsumsi nutrisi dalam sebuah populasi. Sedangkan kemiskinan relatif, dilihat dari perbandingan antara kalangan bawah dengan kalangan atas dalam sebuah populasi, biasanya diukur dari tingkat pendapatannya.

Kabupaten Termiskin

Kemiskinan adalah musuh setiap bangsa, layaknya monster, kemiskinan merupakan musuh bersama bagi umat manusia. Indramayu merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Barat yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa. Kabupaten yang terkenal dengan penghasil buah mangga ini ternyata merupakan salah satu kabupaten termiskin di Jawa Barat. 

Tingkat kemiskinan di Indramayu pada 2015 lalu mencapai angka 253,12 ribu jiwa, dan mengalami tren peningkatan dari tahun ke tahun. Angka tersebut berarti mengalami kenaikan 4,04 persen dari tahun sebelumnya—bertambah 12,44 ribu jiwa dari sebelumnya 240,68 ribu jiwa (Pikiran Rakyat, 11/11/2016). Angka kemiskinan tersebut didapatkan BPS Indramayu dari Sensus Ekonomi Nasional dengan indikator pengeluaran kebutuhan bulanan untuk makan dan non-makan—seperti tempat tinggal, listrik, pendidikan dan lainnya—di bawah Rp. 379.088 per bulan, atau setara dengan Rp. 12.636 perhari. 

Angka Rp. 379.088 merupakan pengeluaran rata-rata bulanan warga Indramayu, jika warga Indramayu memiliki pengeluaran bulanan di bawa angka tersebut, maka termasuk dalam kategori warga miskin. Terkait akses air yang merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi manusia, hanya 40 persen saja masyarakat di Kabupaten Indramayu yang bisa mengakses air bersih (Fajarnews, 27/08/2015).

Tingkat kemiskinan yang tinggi di Kabupaten Indramayu pada akhirnya mempengaruhi berbagai aspek, seperti rendahnya waktu rata-rata sekolah warga Indramayu yang merupakan salah satu terendah di Jawa Barat, yaitu hanya 5,46 tahun per orang atau hanya setingkat sekolah dasar. Angka tersebut cukup tertinggal bahkan jika dibandingkan dengan daerah sekitar Indramayu, seperti Kota Cirebon (9,76 tahun), Kabupaten Cirebon (6,32), Kuningan (7,2), dan Majalengka (6,8) (Pikiran Rakyat, 14/11/2016).

Rendahnya angka lama sekolah tersebut akhirnya berimplikasi pada aspek lainnya juga, yakini rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) di kabupaten ini. Indeks Pembangunan Manusia atau IPM Kab. Indramayu pada tahun 2015 terendah di wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Inderamayu, Majalengka, dan Kuningan) dengan skor 64,36. Jika dibandingkan dengan kabupaten lain di Jawa Barat, IPM Indramayu menempati posisi ke-4 terendah setelah Kab. Cianjur, Kab. Tasikmalaya, dan Kab. Garut (Republika, 11/11/2016). Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur IPM tersebut ialah aspek pendidikan—angka harapan lama sekolah (EYS) dan rata-rata lama sekolah (MYS)—selain dua aspek lainnya, yaitu aspek kesehatan dan daya beli masyarakat.

Rendahnya IPM tersebut berimbas pada rendahnya produktivitas warga Indramayu yang juga secara langsung berimplikasi pada lemahnya perekonomian masyarakat. Dari sini kita bisa mengetahui imbas apa yang akan terjadi, kemiskinan. Pola seperti ini akhirnya terus bergulir hingga menyebabkan kelumpuhan di berbagai aspek, seperti sosial, pendidikan, politik, ekonomi dan lainnya. Jika mata rantai tersebut tidak diputus, maka dampak kelumpuhan tersebut bukan hanya ramalan, namun akan bisa menjadi sebuah kenyataan. Dibutuhkan sebuah metode untuk memutus mata rantai kemiskinan tersebut, salah satu metodenya ialah melalui pendidikan.

Hal senada juga disampaikan oleh Villa Kulild, Direktur Umum Norad (Norwegian Agency for Development), dalam sebuah seminar tentang United Nations Sustainable Development Goals and Post-2015 Development Agenda di Oslo, Norwegia pada 11 September 2014. Lebih jauh, bahkan ia memaparkan jika pendidikan sangat penting dan bisa menjadi pemicu bagi tercapainya berbagai target dalam SDGs. Publikasi terbaru UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Culture Organization) menunjukan bahwa pendidikan adalah aspek yang penting untuk mengeluarkan orang dari kemiskinan kronis dan mencegah pewarisan kemiskinan antar generasi.

Studi kasus di Amerika Serikat (AS) menunjukan bahwa korelasi antar rendahnya tingkat pendidikan dengan kemiskinan begitu terlihat, menurut laporan dari U.S. Census Bureau (2014), persentase kemiskinan di populasi warga AS dengan tingkat pendidikan sarjana atau lebih tinggi hanya 5 persen. Sedangkan, bagi mereka yang setingkat college tanpa gelar (10%), SMA/SMK sederajat (14%), dan di bawah SMA/SMK sederajat (29%). Data tersebut menunjukan bahwa semakin suatu populasi terdidik, maka semakin rendah persentase penduduk miskinnya.

Namun sayangnya—seperti yang telah disinggung sebelumnya, kemiskinan ini juga membuat orang sulit untuk mengakses pendidikan, terlebih lagi pendidikan tinggi. Akhirnya membuat suatu populasi terjebak terus menerus dalam kungkungan kemiskinan. Maka dari itu, dibutuhkan intervensi pemerintah supaya akses pendidikan bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Selain pemerataan akses pendidikan, dibutuhkan juga peningkatan kualitas pendidikan supaya menghasilkan output yang bisa berproduktivitas tinggi guna menggenjot perekonomian di Indramayu. Jika pola ini bisa diaplikasikan oleh pemerintah Kabupaten Indramayu dengan tepat maka, membayangkan kabupaten ini hingga tahun 2030 akan bisa sejalan dengan semangat pembangunan globalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)—Sustainable Development Goals.

End Poverty in All Its Forms Everywhere

End Poverty in All Its Forms Everywhere merupakan gol pertama dalam SDGs yang memerinci tujuh target di dalamnya. Ketujuh target tersebut dibutuhkan sinergi berbagai pihak untuk mencapainya. Jika gol pertama ini bisa dicapai atau setidaknya mengalami peningkatan, maka akan dengan lancer mencapai keenambelas gol SDGs lainnya. Karena bukan tanpa alasan para pemimpin dunia menempatkan End Poverty in All Its Forms Everywhere sebagai gol pertama dalam SDGs, kemiskinan merupakan fenomena yang mempengaruhi berbagai aspek, dan juga dipengaruhi oleh berbagai aspek pula. Maka, dibutuhkan usaha dan prioritas yang lebih untuk menanganinya, termasuk bagi Kabupaten Indramayu. Supaya di tahun 2030, tidak ada lagi cerita kalau kabupaten ini sebagai pengekspor Tenaga Kerja Wanita (TKW) terbesar, IPM terendah, rata-rata angka lama sekolah terendah, angka anak putus sekolah terbanyak, konsumsi kalori terendah, dan kabupaten termiskin.

The International Thinkers (IRTs)

About Yopi Makdori

Diberdayakan oleh Blogger.