Grenthink Views

Mitos Perang Sino-Amerika


Ilustrasi: Pxhere.com


Muhammad Iskandar Syah


Perang Dunia 3.0 digandang-gandang akan mempertemukan dua kubu, yaitu blok Barat—dipimpin Amerika Serikat (AS) dan blok Timur—dipimpin Cina dan Rusia. Agresivitas Cina di wilayah Laut Cina Selatan membuat kekhawatiran tersendiri bagi negara-negara di dunia, terlebih bagi negara-negara yang wilayahnya diklaim oleh Cina. 

Cina mengklaim Sembilan garis putus-putus di Laut Cina Selatan yang beririsan dengan teritori Vietnam, Taiwan, Brunei, Malaysia, dan Filipina—bahkan Indonesia. Hal itulah yang menyebabkan otoritas di negara-negara tersebut murka. Klaim Cina itu didasarkan pada rekaman sejarah peradaban bangsa itu, padahal telah banyak negara mengimbau Cina untuk menggunakan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) dalam menyelesaikan sengketa wilayah tersebut, namun Cina bergeming.

 Akhirnya, hal tersebut membuat berlarut-larutnya sengketa wilayah di sana. Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang memposisikan dirinya sebagai polisi dunia, selama ini berusaha mengintervensi sengketa wilayah antara Cina dan negara-negara di sekitar Laut Cina Selatan.

Selain itu, aktivitas mata-mata dan militer AS di wilayah ini membuat Cina semakin meradang. AS sendiri memiliki kepentingan yang besar di kawasan ini, selain Laut Cina Selatan merupakan jalur perdagangan utama, kawasan ini juga banyak menyimpan kandungan sember daya alam yang melimpah, di tambah juga strategisnya kawasan ini sebagai arena perebutan pengaruh di wilayah Asia-Pasifik.

Intervensi AS dalam sengketa wilayah tersebut membuat Beijing geram. Karena bisa menghadang Cina untuk menjadi regional power di kawasan tersebut. Penguasaan terhadap kawasan ini berarti pula penguasaan perdagangan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.

Hal ini akan berimplikasi pada kekuatan nasional Cina yang semakin besar. Ditopang dengan armada laut yang besar dan tangguh akan membuat negara-negara di sekitar kawasan tersebut ketar-ketir.  Terlebih lagi untuk AS, sebagai negara yang telah membangun pengaruh di kawasan ini, agresivitas Cina di kawasan ditafisrkannya sebagai ancaman.

Bertolak dari alur di atas—yang juga dibesar-besarkan oleh media, maka munculah narasi Perang Dunia III yang akan membenturkan raising power dengan old power—Cina dan Amerika Serikat. Lalu benarkah narasi tersebut?

The Capitalist Peace

Capitalist Peace adalah sebuah teori yang menyatakan bahwa negara-negara yang menggunakan kapitalisme sebagai sistem untuk mewujudkan pembangunan ekonominya tidak akan berperang dengan negara kapitalis lain. Akar filosfis teori ini dapat dilacak dari filsuf-filsuf Barat, seperti Immanuel Kant, Norman Angell, Joseph Schumpeter, Adam Smith, Richard Cobden, Montesquieu, dan lain-lain.

Di dalam buku Perpetual Peace (1795) karya Immanuel Kant, dijelaskan bahwa:

“Semangat perdagangan…cepat atau lambat akan menyatukan setiap bangsa, dan hal ini membuat perang sulit terjadi”. 

Hal senada juga diungkapkan Norman Angell pada awal abad ke-20, ia menyatakan bahwa saling ketergantungan dalam perdagangan di era modern membuat perang tidak menguntungkan—dalam bukunya The Great Illusion: A Study of the Relation of Military Power to National Advantage (1913). 

Stuart Bremer juga menguji relasi antara kapitalisme dan perang, dalam penelitiannya, Bremer menemukan bahwa kapitalisme lebih kuat menciptakan perdamaian antar bangsa dibandingkan dengan demokrasi—democratic peace (dalam Journal of Conflict Resolution dengan judul Dangerous Dyads: Conditions Affecting the Likelihood of Interstate War, 1816-1965 (1992)).

Kalangan liberal beranggapan bahwa perdagangan bisa mengantarkan suatu negara dalam kesejahteraan dan kesejahteraan menghilangkan kondisi domestik suatu negara untuk terlibat dalam perang. Kemadekan ekonomi bisa memicu elite politik suatu negara untuk terlibat perang sebagai sarana menyatukan dukungan politik warganya (Jack S. Levy dalam Theories and Cause of War).

Lebih jauh, Weede (1995) menjelaskan bahwa perdagangan memicu kesejahteraan, kesejahteraan memicu demokratisasi, dan demokrasi memicu perdamaian—democartic peace. Turunan dari teori tersebut ialah Teori Lengkung Emas (Golden Arches Theory) yang dimuat dalam buku karya Thomas L. Friedman dengan judul “The Lexus and Olive Tree (1999)”, Friedman menuliskan bahwa:

“Belum pernah ada dua negara yang berperang melawan satu sama lain sejak McDonald’s masuk ke dua negara tersebut”. 

Pernyataan ini dilandasi dari pengamatan Friedman yang melihat bahwa tatkala suatu negara mencapai pembangunan ekonomi dengan warga yang telah memiliki kehidupan yang layak cukup besar, maka akan dimanfaatkan oleh McDonald’s sebagai pasarnya, dan negara tersebut akan menjadi negara McDonald’s—negara kapitalis—dengan semangat berperang yang mendekati nol. 

Namun tidak lama setelah teori ini muncul, NATO—aliansi pertahanan Atlantik Utara—mengebom Yugoslavia, padahal restoran McDonald’s telah berdiri di negara tersebut. Maka dari itu, untuk menyempurnakan Teori Lengkung Emas tersebut, Freidman dalam bukunya “The World is Flat (2005)” menggagas sebuah teori pencegahan konflik, yakini Teori Dell.

Teori Dell menjelaskan tentang relasi antara rantai pasokan global dengan perang. Thomas L. Friedman menyatakan bahwa:

“Belum pernah ada dua negara rantai pasokan global, misalnya Dell (perusahaan elektronik AS), yang berperang melawan satu sama lain selama keduanya merupakan anggota rantai pasokan global yang sama”. 

Hal tersebut berarti selama sebuah perusahaan memiliki operasi rantai pasokan besar di negara-negara selain negara markasnya (home country), maka negara-negara tersebut tidak akan pernah terlibat konflik bersenjata satu sama lain. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan ekonomi yang sangat besar di antara negara-negara tersebut. Sehingga membuat pemimpin negara-negara tersebut berpikir beribu kali untuk kontak senjata dengan negara lain yang memiliki satu rantai produksi dengannya. 

Karena, jika perang sampai terjadi di antara mereka, maka akan mengakibatkan kerugian yang amat besar di antara negara-negara tersebut. Lalu bagaimana teori-teori tersebut menjelaskan hubungan AS dengan Cina dalam kerangka konflik Laut Cina Selatan?

Sekilas Hubungan Ekonomi Sino-Amerika

Meskipun Cina dalam menjalankan sistem pemerintahannya masih menggunakan Komunisme, namun sistem ekonomi negara ini terkenal sangat kapitalistik. Transformasi ekonomi Cina menjadi ekonomi kapitalis dimulai sejak negara ini dipimpin oleh Deng Xiaoping pada bulan Desember 1978—dikenal dengan Chinese Economic Reform (reformasi ekonomi Cina). 

Reformasi ini melewati dua tahap, yaitu pada 1970-an sebagai tahap pertama dan 1980-90-an tahap kedua. Pada tahap pertama, reformasi ekonomi Cina diawali dengan terjadinya dekolektivisasi pertanian, membuka diri dari investasi asing, dan memberikan izin bagi pengusaha untuk menjalankan bisnisnya di negara ini. Pada tahap ini masih banyak industri-industri yang dipegang oleh negara, baru pada tahap dua, yaitu 1980-90-an mulai banyak terjadi privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara.

Disusul kemudian dengan bergabungnya Cina ke Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) pada 11 Desember 2001, membuat ekonomi negara ini semakin jauh menyimpang dari karakter sistem pemerintahannya yang komunis.

Hubungan ekonomi Amerika Serikat dengan Cina secara formal dimulai sejak kedua negara menjalin hubungan diplomatik pada 16 Juni 1844—saat itu Cina masih dalam bentuk kekaisaran. Tahun 2014, AS merupakan negara ekonomi terbesar di dunia, sedangkan Cina terbesar kedua. Hal ini bermakna relasi perdagangan kedua negara merupakan hal yang sangat vital bagi perekonomian dunia. 

Pada tahun 2015 lalu, nilai perdagangan antara AS dan Cina dalam sektor barang dan jasa diperkirakan mencapai angka U$D 659,4 miliar, dengan U$D 161,6 miliar ekspor AS kepada Cina, dan impor sebesar U$D 497,8 miliar—di realitas hanya mencapai angka U$D 483,2 miliar. Saat ini Cina merupakan partner dagang terbesar bagi AS, begitupun sebaliknya.

Cina sendiri merupakan negara terbesar ketiga ekspor dan pertama impor AS pada 2015, dengan jenis barang ekspor AS ke Cina terdiri dari pesawat, perlalatan listrik, mesin, biji-bijian, buah-buahan, dan kendaraan. Sedangkan, jenis barang impor AS dari Cina terdiri dari peralatan listrik, mesin, mebel, mainan dan peralatan olahraga, dan alas kaki. Foreign Direct Investment (FDI) AS di Cina mencapai angka U$D 65,8 miliar di tahun 2014, ini berarti mengalami kenaikan 9,8% dari tahun sebelumnya. Sedangkan, FDI Cina di AS mencapai U$D 9,5 miliar di tahun yang sama—mengalami kenaikan 12% dari tahun sebelumnya (United States Trade Representative, 2016).

Sejak Cina mulai meliberalisasi perekonomiannya, sejak saat itu pula negara ini mulai terintegrasi ke perekonomian global. Masuknya perusahaan-perusahaan multinasional (multi-national corporations) ke Cina semakin memperkuat integrasi tersebut, seperti McDonald’s, restoran makanan cepat saji ini untuk kali pertama memasuki pasar Cina pada 1990 di daerah Shenzhen. Sejak awal pembukaannya, McDonald’s berhasil menarik hati masyarakat Cina dengan Badut Ronald McDonald’s, logo kuning M (golden arches), dan Big Mac-nya yang menjadi ciri khas restoran ini. 

Namun, McDonald’s bukanlah restoran makanan cepat saji pertama yang memasuki negara komunis tersebut, sebelumnya di tahun 1987, KFC telah terlebih dahulu masuk ke negara ini—tepatnya di Qianmen, Beijing yang berdekatan dengan alun-alun Tian’anmen yang bersejarah.

Di tahun 2002, telah berdiri 460 gerai McDonald’s di seluruh Cina, dan mendekati 600 gerai di akhir tahun 2004. Di saat yang sama, KFC yang sama-sama merupakan restoran makanan cepat saji asal negeri Paman Sam mencapai jumlah gerai 1.200—lebih dari dua kalinya McDonald’s. Saat ini, jumlah masing-masing kedua gerai restoran makanan cepat saji tersebut mencapai 2.200 gerai per Maret 2016 (McD), dan 5.003 gerai per akhir tahun 2015 (KFC).
 
Kedua restoran makanan cepat saji tersebut merupakan milik Amerika Serikat (sebagai home country) yang berhasil berekspansi ke negeri Komunis Cina. Selain McDanold’s dan KFC, perusahaan lain seperti Dell dan Apple (masih perusahaan AS) juga berekspansi ke Cina. Pada September 2015 lalu, CEO Dell, Michael Dell menyatakan bahwa Dell akan menginvestasikan U$D 125 miliar di negeri tersebut dalam lima tahun kedepan, berbarengan dengan kunjungannya ke Cina (Dell.com, 10/09/2015).

Ia juga mengatakan bahwa investasi tersebut akan berkontribusi pada ekspor dan impor sebesar U$D 175 miliar, dan akan menopang lebih dari satu juta lapangan pekerjaan. Selain Dell, Apple juga berivestasi di negara Tirai Bambu tersebut, bahkan Apple memindahkan pabriknya dari AS ke Cina dengan Foxconn sebagai kontraktornya. Pemindahan pabrik Apple ke Cina berarti semakin mengikat negara itu dalam rantai pasokan global.

And the Last…

Sekuat-kuatnya ego AS dan Cina dalam sengketa Laut Cina Selatan dan sebesar-besarnya konflik antara kedua negara tersebut, selama perdagangan antara dua negara kuat, selama pabrik-pabrik milik perusahaan AS masih bercokol di Cina, dan selama kerjasama ekonomi menguat di antara kedua negara, maka perang merupakan pilihan politik luar negeri yang tak akan pernah diambil oleh kedua raksasa ekonomi dunia tersebut. Peperangan kedua negara hanya akan ada di surat kabar—sebagai ramalan—dan tulisan-tulisan propagandis tanpa dasar. Karena perang adalah suatu kerugian, maka hanyalah mitos belaka jika AS dan Cina berkonfrontasi langsung untuk angkat senjata—begitulah yang disebutkan oleh Capitalist Peace, Golden Arches, dan Dell Theory.

The International Thinkers-IRTs

About Yopi Makdori

Diberdayakan oleh Blogger.