Muhammad Iskandar Syah
Bagaimana jadinya jika seekor siput bertarung melawan seorang manusia?
Maaf saya keliru mengajukan pertanyaan, bagaimana jadinya jika seekor siput menantang manusia sekampung?
Bayangkan seekor siput, yang dia bergerak saja membutuhkan waktu yang amat lama apalagi untuk bertarung melawan manusia, terlebih lagi manusia sekampung. Pertarungan siput melawan manusia bukanlah pertarungan yang mengasyikan untuk ditonton karena kalau kita berlandaskan pada akal sehat sudah bareng tentu manusialah yang akan menang. Hal tersebut tidak dimungkiri lagi karena manusia memiliki banyak sumber daya untuk sekali pukul mengalahkan sang siput.
Namun cerita menjadi lucu saat manusia justru bermain curang dengan mencuri surat izin sang siput untuk bisa bertanding melawan manusia, sehingga sang siput tidak bisa ikut serta bertanding. Konsekuensi logis dari hal ini adalah siput didiskualifikasi dari pertandingan ini dan secara otomatis manusialah yang menang.
Satu pertanyaan dalam cerita tersebut, mengapa manusia takut melawan siput?
Cerita tersebut mungkin hanya ada dalam dunia dongeng ataupun karangan, namun kalau kita tarik dalam konteks yang lebih kompleks, maka cerita tersebut benar adanya. Manusia adalah representasi dari negara, sedangkan sang siput adalah sebuah organisasi masyarakat yang tak memiliki sumber daya selengkap negara.
Negara yang tak diragukan lagi memiliki berbagai instrumen untuk bisa memengaruhi masyarakat justru bermain curang dengan menumpas salah satu ormas yang bermain sesuai aturan. Pemandangan semacam ini tak ubahnya dengan cerita siput melawan manusia di atas, seharusnya kita tertawa menyaksikan sebuah negara besar namun pengecut melawan sang siput. Ya seharusnya kita tertawa, ataukah saya yang memiliki selera humor terlalu rendah?.
Lalu pertarungan macam apa yang membuat manusia takut melawan siput atau dalam konteks ini negara melawan sebuah ormas? Opini dan paham, ya sejauh yang saya lihat inilah pertarungan yang dilakukan antara sang siput vs manusia.
Pertarungan antara sang siput melawan manusia memang bukanlah pertarungan menggunakan ‘hard power’ melainkan ‘soft power’. Baik hard maupun soft, negaralah yang sudah pasti unggul dalam pertarungan tersebut. Negara banyak mempunyai instrumen pendukung untuk bisa memenangkan pertarungan tersebut, salah satunya adalah para intelektual yang negara punya. Dengan kemampuan yang tak terbatas dan ditopang dengan para intelektual yang sudah pasti didengar sabdanya oleh para penonton, tapi mengapa negara malah bertindak pengecut?.
Hal tersebut menandakan bahwa secara intelektual negara telah kalah melawan sang siput. Meskipun sang siput kecil, lelet, miskin sumber daya dan kemampuan tapi dia berani untuk menantang seorang manusia bahkan sekampung, atau dalam definisi saya menantang sebuah peradaban yang telah mapan, lalu pertanyaan saya “pengecutkah peradaban yang kita bangun dan banggakan selama ini?”.