Ekonomi Politik Internasional

Kekuatan “Fulus” Dalam United Nations Security Council (UNSC)


Ilustrasi: Pxfuel.com

Muhammad Iskandar Syah

Kita pun mengalir lewat iring-iring
Ramai menciumi semerbak menangnya pagi
Kita menghirupi harum dekat basi
Dari abad yang busuk yang juga tak mau pergi”—Ternyata Kau…!-Pas Band

UN Security Council (UNSC) atau Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) merupakan salah satu organ utama di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertanggung jawab untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Salah satu tugasnya termasuk mengambil tindakan militer melawan para agresor dan menginvestigasi perselisihan yang menyebabkan kekacauan di ranah internasional. 

Jumlah total anggota DK PBB adalah lima belas negara, lima negara merupakan anggota tetap, yang terdiri dari Amerika Serikat (AS), Rusia, Inggris, Prancis, dan Cina; sedangkan sepuluh anggota lainnya merupakan anggota sementara yang dipilih secara bertahap lima negara setiap tahunnya untuk masa tugas 2 tahun. Sebelumnya negara yang menduduki posisi anggota sementara DK PBB harus terlebih dahulu dinominasikan oleh negara-negara dari asal regionalnya, kemudian disetujui oleh sedikitnya dua per tiga dari anggota Majelis Umum PBB—sejak 1966, komposisi anggota sementara      DK PBB harus terdiri dari 3 negara dari Afrika, 2 dari Amerika Latin dan Karibia, 2 dari Asia, 1 dari Eropa Timur, dan 2 dari negara industri maju.

Setiap anggota DK PBB memiliki satu hak suara, namun lima anggota tetap DK PBB memiliki hak veto (big five) yang bisa digunakan untuk membatalkan sebuah resolusi yang hendak dibuat. Dalam mengangkat sebuah isu di DK PBB, anggota DK PBB harus mendapatkan 9 suara anggota organ tersebut. Organ ini begitu vital dalam mendiskusikan isu politik tingkat tinggi (high politics), oleh sebab itu keanggotaan sementara organ ini banyak yang merebutkan. 

Selain karena hal tersebut, keanggotaan di DK PBB juga bisa mendatangkan banyak keuntungan, seperti aliran bantuan akan banyak diberikan kepada negara-negara anggota sementara tersebut. Maka dari itu, tulisan ini akan menguraikan tentang bagaimana negara-negara anggota sementara DK PBB menjual suaranya kepada pihak tertentu dengan imbalan materi.

Menurut Kuziemko dan Werker (2005), terdapat kompetisi yang sengit untuk memperebutkan kursi keanggotaan sementara DK PBB dengan harapan mereka bisa menerima imbalan sepanjang masa jabatan di organ tersebut. Mereka menemukan fakta bahwa bantuan AS meningkat dengan rata-rata 57% dan bantuan pembangunan PBB meningkat rata-rata 7% ketika suatu negara terpilih untuk menduduki kursi di DK PBB. Keuntungan lain yang mungkin didapat bagi anggota sementara DK PBB adalah mendapat dukungan yang besar dari organisasi internasional, seperti IMF.

Pada 1991, AS menjanjikan Cina dengan mendukung upaya negara itu untuk meminjam bantuan dari Bank Dunia dengan syarat Cina harus mendukung upaya AS di DK PBB untuk mengirimkan pasukan bersenjata ke Iraq. Hal ini juga terjadi pada 1994, resolusi DK PBB yang berkaitan dengan upaya mengembalikan demokrasi di Haiti bisa lolos berkat bantuan Cina yang tidak menggunakan kekuatan vetonya untuk membatalkan resolusi tersebut. AS kemudian memberikan imbalan kepada Cina berupa bantun untuk mendapatkan pinjaman dari Bank Dunia dan memberi jaminan keamanan kepada Cina terkait Taiwan (Eldar, 2004).

Contoh lainnya seperti yang pernah dialami oleh negara Tanzania, sejak kemerdekaannya di tahun 1961, negara ini tidak tergabung kedalam IMF selama satu setengah dekade. Kemudian pada akhir tahun 1974, negara ini terpilih sebagai anggota sementara DK PBB, dan di tahun yang sama, Tanzania mendapatkan bantuan tanpa syarat dari IMF sebesar 6,3 juta SDR (Special Drawing Rights—sebutan bagi mata uang yang dibuat IMF demi tujuan akuntansi, yang mana satu SDR setara dengan sekitar U$D 1.25-U$D 1.50. Di tahun 1975, pemerintah Tanzania juga menerima pinjaman tanpa syarat dari IMF sebesar 3,15 juta SDR. Lalu pada 21 Agustus 1975, negara itu dijanjikan akan menerima pinjaman dari IMF sebesar 10,5 juta SDR melalui mekanisme “Stand-by Arrangements”—merupakan mekanisme pinjaman dengan syarat yang paling tua dan paling umum di IMF (Dreher, Sturm, dan Vreeland, 2006).

Hal menariknya adalah selama tahun 1975, hak suara yang Tanzania miliki selalu sejalan dengan AS, Jepang, Inggris, dan Prancis yang merupakan negara-negara anggota DK PBB yang memiliki pengaruh yang besar di IMF. Namun pada awal tahun 1976, setelah Tanzania menerima dana pinjaman hampir 10 Juta SDR dari IMF, pemerintah Tanzania memilih untuk memoting sebuah resolusi yang tidak didukung oleh semua anggota IMF yang paling berpengaruh. 

Di bulan Maret, Tanzania menggunakan hak suaranya dalam DK PBB untuk sebuah resolusi yang mengutuk aksi Afrika Selatan—yang merupakan sekutu AS dalam Perang Dingin—untuk menyerang Angola—AS, Jepang, Inggris, Prancis, dan Italia absen dalam resolusi ini. Pada bulan April, Tanzania memoting sebuah resolusi yang menyeru Indonesia untuk menarik diri dari Timor Timur, sedangkan AS dan Jepang absen; Dan di bulan Juli, Tanzania memoting untuk sebuah resolusi yang mengutuk Afrika Selatan yang menyerang Zambia, sedangkan AS absen. Menariknya, IMF tidak pernah membayarkan pinjaman dengan mekanisme Stand-by Arrangements yang pernah ditandatangani dengan Tanzania pada bulan Agustus 1975 (Dreher, Sturm, dan Vreeland, 2006).

Selanjutnya adalah Gabon, negara ini memperoleh kemerdekaannya pada 1960 dan sejak kemerdekaannya, Gabon tidak masuk ke dalam keanggotaan IMF hingga pada 31 Mei 1978, sekitar lima bulan setelah negara ini menjadi anggota sementara DK PBB. Sepanjang kedudukannya di DK PBB, hak suara Gabon ditunjukkan untuk memoting beberapa resolusi penting yang sejalan dengan AS, Prancis, Jerman, dan Kanada; dan menentang Uni Soviet, seperti dalam isu Lebanon dan kemerdekaan Namibia. Namun Gabon mendukung resolusi terkait mengutuk aksi yang dilakukan oleh Afrika Selatan, di mana AS, Inggris, Prancis, dan Jerman memilih untuk absen. IMF membayarkan setengah dari pinjaman yang diajukan oleh Gabon yang mencapai 15 juta SDR (Dreher, Sturm, dan Vreeland, 2006).

Selanjutnya adalah Zimbabwe, negara ini selama hampir satu dekade tidak lagi berpartisipasi dalam kesepakatan IMF, namun pada 1992, negara ini kembali menandatangani ketetapan IMF yang mana setelah Zimbabwe terpilih menjadi anggota tidak tetap DK PBB selama 1991-2. Dalam massa baktinya di DK PBB, Zimbabwe banyak memoting resolusi terkait Iraq yang mana AS sangat berkepentingan akan isu tersebut.

Negara ini juga memoting beberapa resolusi yang tidak didukung oleh negara-negara berkembang. Sebagai contoh, Zimbabwe mendukung resolusi Dewan Keamanan 686 (2 Maret 1991) yang berkaitan dengan seruan kepada Iraq untuk membatalkan aksi aneksasinya terhadap Kuwait—yang mana Kuba menolak, Cina, India, dan Yaman absen. Zimbabwe juga mendukung resolusi DK PBB 687 yang juga terkait aksi Iraq terhadap Kuwait, di mana Kuba menolak, Ecuador dan Yaman absen. Namun, Zimbabwe tidak mendukung resolusi 688 bersama dengan Kuba dan Yaman, sedangkan Cina dan India absen. 

Akan tetapi, setelah diancam dengan persyaratan baru IMF, Zimbabwe akhirnya secara berturut-turut kembali mendukung resolusi yang sejalan dengan AS, yaitu resolusi 689, 692, 700, 706, 773, 778 terkait Iraq san Kuwait, dan resolusi 699, 705, 707, 712, 715 yang mengutuk aksi Iraq (Pilgar dalam Dreher, Sturm, dan Vreeland, 2006).

Romania juga menjadi anggota DK PBB sejak 1990-1, dan pada April 1991, negara ini menandatangani kesepakatan dengan IMF untuk dana pinjaman sebesar 380,5 juta SDR—sebesar 318,1 juta SDR yang dibayarkan oleh IMF. Mengapa IMF begitu murah hati terhadap Romania? Hal ini bisa dilihat bahwa sepanjang keanggotaannya di DK PBB, Romania banyak menggunakan hak suaranya untuk mendukung kemauan AS, terutama terkait isu Iraq dan Kuwait—Romania selalu memoting setiap resolusi DK PBB yang AS dukung, seperti resolusi 660, 661, 662, 664, 665, 666, 667, 669, 670, 674, 677, 678, 686, 687, 688, 689, 692, 699, 700, 705, 706, 707, 712, dan resolusi 715 (Dreher, Sturm, dan Vreeland, 2006).

Menurut Dreher, Sturm, dan Vreeland (2006), Kuba merupakan salah satu negara yang secara konsisten berlawanan dengan AS terkait Perang Teluk—yang merupakan anggota DK PBB pada periode 1990-1. Saat ini, Kuba tidak tergabung kedalam keanggotaan IMF, namun negara ini pernah menjadi anggota IMF pada 1964, namun kemudian mengklaim bahwa “IMF merupakan alat bagi AS dan negara Kapitalis Barat”. Pada 1956-7, Kuba terpilih untuk menjadi anggota tidak tetap DK PBB, kemudian pada bulan Desember 1956, Kuba mendapatkan pinjaman sebesar 12,5 juta SDR dari IMF. Melihat fakta tersebut semakin menguatkan bangunan argumen yang menyatakan bahwa terdapat jual-beli “voting” di dalam tubuh DK PBB.

Fakta-fakta di atas menunjukan bahwa negara-negara G7—khususnya AS—menggunakan pengaruhnya dengan tekanan maupun hadiah supaya setiap voting yang mereka gunakan bisa sejalan dengan AS. Menurut Eldar (2004), AS dengan keras menekan anggota-anggota sementara DK PBB untuk mendukung resolusi terkait intervensi militer ke Iraq pada 1991, termasuk menjanjikan bantuan finansial kepada Kolombia, Pantai Gading, Ethiopia, dan Zaire; menjanjikan kepada Uni Soviet untuk mempertahankan Estonia, Latvia, dan Lithuania.

Sebelum Perang Teluk kedua meletus, AS mencoba untuk “membeli” voting negara-negara anggota sementara DK PBB supaya meloloskan sebuah resolusi terkait dengan pengiriman pasukan bersenjata ke Iraq. Melihat hal tersebut, Eldar (2004) menyatakan bahwa terdapat alasan yang kuat bahwa praktek jual-beli voting di tubuh DK PBB adalah sebuah hal yang lazim ditemui untuk mendukung sebuah keputusan yang dibuat dalam organ tersebut.

Terdapat banyak bukti yang menunjukan bahwa IMF telah digunakan sebagai alat suap negara-negara G7 untuk membeli suara di Majelis Umum PBB. Thacker (1999) menunjukan sebuah kesimpulan bahwa program IMF tergantung kepada tingkah-laku voting yang dilakukan suatu negara di Majelis Umum PBB. Ia menggunakan dua variable, yaitu indikasi kesepakatan politik dengan AS dan cerminan dari pergerakan aliansi politiknya. Menurut hasil yang ia temukan dalam periode 1985-94, suatu negara yang manuvernya mendekat ke AS akan semakin besar kemungkinan mendapatkan program bantuan dari IMF. 

Temuan dari Thacker (1999) juga memperlihatkan bahwa pergerakan suatu negara yang garis politiknya condong ke AS akan berbanding lurus dengan aliran bantuan dari IMF tanpa memandang posisi awal dari negara tersebut. Menariknya, bagi negara yang secara garis politik jauh dari AS namun kemudian mendekat memiliki kesempatan lebih besar untuk menerima bantuan dibandingkan negara yang sudah lama beraliansi namun cenderung menjauh.

Artinya, dari pemaparan fakta di atas dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa IMF merupakan “alat” bagi negara-negara yang berpengaruh di institusi tersebut (G7—terutama AS) untuk “membeli” suara negara-negara “miskin” baik di DK PBB maupun di Majelis Umumnya dengan tujuan meloloskan sebuah resolusi. Hal ini berarti “DEMOKRASI” yang selama ini mereka gaungkan adalah OMONG KOSONG!

BIBLIOGRAFI

Dreher, Axel., Jan-Egbert Sturm dan James Raymond Vreeland. “Does Membership on the UN Security Council Influence IMF Decisions?”, Working Papers No. 151, October 2006.

Eldar, Ofer. (2004). “Vote Trading in International Organizations”, New York: New York University School of Law.

Kuziemko, Ilyana dan Eric Werker. “How much is a Seat on the Security Council Worth? Foreign Aid and Bribery at the United Nations”, Journal of Political Economy 2005.

Thacker, Strom C. (1999). “The High Politics of IMF Lending”, World Politics 52: 38-75.

About Yopi Makdori

Diberdayakan oleh Blogger.