Grenthink Views

Right To Exist-nya Israel



Ilustrasi: Publicdomainpictures.net

Yopi Makdori

“Ucapan ‘Jangan merasa benar sendiri!’ seharusnya diucapkan oleh seseorang yang telah melakukan penggalian dan pencarian suatu informasi, bukan oleh orang yang hanya duduk dan membaca sebuah susunan kata yang tak lebih dari lima baris.”—Luz Lazarus

Konflik yang terjadi antara Israel dan bangsa Palestina sudah berlangsung cukup lama. Peperangan bukan hanya terjadi secara fisik, namun juga secara opini untuk merebutkan posisi siapa yang menjadi representasi tokoh “protagonis” di mata publik. Perang opini tampaknya dimenangkan oleh Palestina dengan berbagai dukungan dari media-media independen dan media-media milik kaum muslim, seperti Aljazeera milik Qatar—namun hal ini tidak terjadi di Barat, terutama Amerika Serikat. 

Aljazeera selama ini dikenal sebagai media yang selalu di garis depan dalam memberitakan kebiadaban Israel terhadap bangsa Palestina. Media ini selalu meliput situasi yang terjadi di sana (on the ground), mengungkapkan kejahatan-kejahatan Israel terhadap rakyat Palestina. Namun sebelum mengungkap kejahatan-kejahatan Israel, seharusnya ada pertanyaan yang terlebih dahulu mesti dijawab, yaitu “Apakah Israel memiliki hak untuk ada? atau “Apakah Israel memiliki hak untuk berdiri?”. Oleh karena itu, tulisan singkat ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Term Israel “right to exist” merupakan salah satu metode negara tersebut dalam memenangkan perang opini dengan bangsa Palestina. Right to exist menjadi eksklusivitas yang dimiliki Israel dan menegasikan hak yang dimiliki bangsa Palestina. Padahal penggunaan term tersebut sebenarnya kurang tepat, karena sebuah bangsa tidaklah memiliki sebuah hak, namun manusialah yang memiliki hak. 

Manusia memiliki hak untuk menentukan nasbinya sendiri (self-determination), dan diskusi mengenai right to exist-nya Israel semestinya berangkat dari konsepsi tersebut. Faktanya, bukan bangsa Arablah yang menegasikan Israel, namun sebaliknya Israel-lah yang meniadakan bangsa Arab dan melanggar hak-haknya dengan memanfaatkan propaganda Israel right to exist—karena sejak awal Israel sama sekali tak memiliki hak.

Perlu dicatat bahwa Israel bukanlah diciptakan oleh PBB (mungkin dalam kesempatan lain saya bisa menulis terkait hal ini), bermula pada tanggal 14 Mei 1948, tatkala kelompok Zionis secara unilateral dan dengan illegal mendeklarasikan berdirinya sebuah negara Israel—dengan tanpa spesifikasi tapal batas wilayahnya. Pada saat itu, Zionis menyatakan bahwa bangsa Arab tidak lagi memiliki hak atas tanahnya—menjadi miliknya bangsa Yahudi, dan seketika itu juga Zionis menyatakan bahwa mayoritas bangsa Arab Palestina menjadi warga kelas dua (second-class citizen) di “negara Yahudi baru” tersebut (Hammond, 2016).

Namun demikian, bangsa Arab di sana tidak pasif dengan begitu saja menyetujui hal itu, di saat yang sama, negara-negara Arab di sana menyatakan perang terhadap rezim Zionis untuk mencegah ketidakadilan yang menimpa mayoritas bangsa Palestina di tanahnya. Perang tersebut kemudian diberitakan oleh sebagian besar media sebagai serangan bangsa Arab terhadap negera Israel. Padahal sesungguhnya, aksi tersebut merupakan respon dari bangsa Arab untuk melindungi (acting of defense) hak-hak bangsanya, dan untuk mencegat tindakan Zionis yang secara illegal mengambil tanah Arab.

Saat perang terjadi, Israel memberlakukan sebuah kebijakan ‘ethnic cleansing’. Hal ini menyebabkan 700.000 bangsa Arab Palestina terusiar dari tanahnya, baik karena dipaksa untuk meninggalkannya maupun karena ketakutan akan pembantaian massal, seperti yang terjadi di perkampungan Deir Yassin. Saat peperangan telah usai, bangsa Palestina tidak diizinkan untuk kembali ke tanahnya, meskipun secara legal (hukum internasional) mereka mempunyai hak untuk kembali—right to return (Hammond, 2016).

Bangsa Palestina tidak akan pernah mau untuk menyetujui permintaan dari Israel dan sekutu dekatnya, Amerika Serikat untuk mengakui bahwa “Israel right to exist”. Hal tersebut akan menegaskan bahwa Israel memiliki hak untuk mengambil tanah Arab, sementara bangsa Arab tidak memiliki hak terhadap tanahnya. 

Hal ini berarti Israel memiliki hak untuk melakukan pembantaian terhadap bangsa Arab Palestina, sementara bangsa Palestina tidak memiliki hak untuk memiliki kehidupan yang bebas dan sejahtera di tanahnya. Ibaratnya seseorang yang telah memiliki tanah secara sah, baik secara de facto maupun de jure, namun di kemudian hari ada seseorang yang membangun rumah di atas tanahnya dan seseorang yang membangun rumah tersebut memaksa si pemilik tanah dan memberitakan kepada masyarakat di daerah itu bahwa ia memiliki hak untuk mendirikan rumah dan melanggar hak si pemilik tanah. 

Kemudian si pemilik tanah dan keluarganya berjuang untuk mengusir si pemilik rumah karena solidaritas kekeluargaan yang ingin melindungi hak anggota keluarganya. Namun, aksi pengusiran tersebut dilihat sebagai aksi “penyerangan” terhadap si pemilik rumah. Kurang lebih begitulah analoginya, maka jelas bahwa Zionis sama sekali tidak memiliki hak atas sebagian besar wilayah yang mereka klaim sebagai wilayah Israel, bangsa Arablah yang memilikinya.

Terakhir, bangsa Palestina pada dasarnya bukanlah memerangi Yahudi, karena sudah sejak lama mereka hidup berdampingan di sana, yang mereka perangi adalah “entitas politik zionis”, yaitu negara Israel yang dengan sewenang-wenang merebut tanah Palestina.

BIBLIOGRAFI

Hammond, Jeremy R. (2016). “The Israel-Palestine Conflict: A Collection of Essays”. (tanpa kota terbit): Worldview Publication.

About Yopi Makdori

Diberdayakan oleh Blogger.