Muhammad Iskandar Syah
“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi suatu kaum maka dijadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang bijaksana dan dijadikan ulama-ulama mereka menangani hukum dan peradilan. Juga Allah jadikan harta-benda di tangan orang-orang yang dermawan. Namun, jika Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum maka Dia menjadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang berakhlak rendah. DijadikanNya orang-orang dungu yang menangani hukum dan peradilan, dan harta berada di tangan orang-orang kikir”. (HR. Ad-Dailami)
Sejak
pengeboman yang dilakukan oleh kelompok teroris di New York yang menyerang
gedung World Trade Center (WTC) dan Pentagon—yang dikenal dengan tragedi 9/11
karena terjadi pada 11 September 2001, perang terhadap terorisme semakin masif
dilakukan oleh Amerika Serikat dan kemudian diikuti oleh banyak negara-negara
di dunia di bawah slogan “Global War on Terrorism”.
Perang terhadap terorisme
dilandasi akan ketakutan serangan terhadap umat manusia dan tatanan
demokrasi-liberal yang telah dikonstruksikan sejak lama. Di Amerika sendiri
propaganda mengenai alasan para teroris menyerang Amerika Serikat (AS) didorong
oleh rasa “iri” terhadap kebebasan di AS banyak dipercayai oleh warga Amerika.
Terorisme menjadi momok yang sangat menakutkan bagi mereka dan pada akhirnya
sebagian besar dari mereka rela untuk menyerahkan kebebasan, privasi, bahkan
kemanusiaan yang mereka miliki untuk membinasakan teroris dari muka bumi ini.
Atas dalih keamanan nasional dan atas dalih untuk melindungi “civilians” mereka
melakukan berbagai cara untuk memberangus para teroris, dan tidak peduli apakah
teroris atau justru warga sipil yang menjadi korbannya. Mereka juga bahkan
melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini selalu mereka
promosikan ke seluruh pelosok dunia.
Tulisan
ini hendak mendiskusikan terkait serangan pesawat tak berawak (Drone) yang
banyak memakan korban warga sipil di negara-negara miskin. Program Drone muncul
atas dasar hasrat untuk memerangi para teroris yang bersembunyi di negara-negara
seperti Afghanistan, Pakistan, Yaman, Somalia, dan lainnya. Namun fakta
menunjukan bahwa pesawat bersenjata yang tak berawak ini justru lebih banyak
memakan korban warga sipil dibandingkan teroris itu sendiri.
Namun sebenarnya
bukan hanya itu yang membuat saya miris, yang semakin membuat saya merasa miris
adalah bahwa angka seratus, dua ratus, tiga ratus, atau bahkan ribuan warga
sipil yang terbunuh dalam serangan Drone itu tidak lebih menyakitkan dibanding
seorang artis meninggal karena kecelakaan, atau bahkan seekor orang utan
terbunuh. Ratusan bahkan ribuan warga sipil meninggal sama sekali tidak memukul
nurani kita. Maka, memang benara bahwa angka hanyalah angka, ia tidak berarti
apa-apa sampai diterjemahkan ke dalam sebuah kisah. Efeknya akan semakin
memukul jika kisah tersebut dikombinasikan dengan sebuah gambar bergerak, yaitu
film.
Efek
film sebagai alat untuk mengaduk-aduk perasaan seseorang tak lagi diragukan efektifitasnya. Hal ini sudah terbukti saat rezim Orde Baru berkuasa di
Indonesia. Kala itu, rezim tersebut menggunakan film untuk menggambarkan betapa
kejamnya para anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) yang membantai para
jenderal. Film ini selama bertahun-tahun saat rezim Orba berkuasa selalu dicekokkan
ke masyarakat Indonesia. Sehingga membekas begitu dalam di hati bangsa
Indonesia, dan efeknya kebencian terhadap PKI mengakar sangat kuat di dalam
relung hati sebagian besar penduduk Indonesia.
Seperti itulah dahsyatnya
kekuatan sebuah gambar bergerak. Bayangkan jika saat itu rezim Soeharto hanya
menggunakan angka untuk menggambarkan kekejaman PKI, maka akan seperti ini “PKI
telah membunuh 10 jenderal”. Lihat bagaimana pukulan dari angka “10” tersebut,
sama sekali tidak ada artinya. Padahal apa yang terbunuh di film dengan di
angka tersebut adalah sama. Namun mengapa efeknya berbeda, bahkan jauh berbeda?
Hal tersebut dikarenakan ketika di film kita menyelami apa yang terjadi di
sana, kita menghayati perasaan mereka, kesakitan mereka dan kekejaman yang
mereka terima. Namun jika hanya angka seribu, dua ribu tiga ribu atau bahkan
satu juta, itu sama sekali tak ada harganya. Makanya, kekejaman Soeharto yang
“katanya” telah membunuh 500 ribu hingga 2 juta terduga PKI tidak lebih
menyakitkan dibandingkan 10 jenderal dibunuh PKI. Bayangkan jika kehidupan
terduga PKI tersebut difilmkan satu per satu, atau paling tidak beberapa orang
saja dan dipertontonkan di TV Indonesia, maka saya yakin seluruh orang
Indonesia yang masih mempunyai “kemanusiaan” dalam hatinya akan bersama-sama
mengutuk rezim Orba.
Mari
kita kembali ke pokok pembahasan, pada 2015 lalu, laporan dari The Intercept
mengungkapkan bahwa hampir 90% korban serangan Drone AS di Afghanistan selama
periode bulan Januari 2012—Februari 2013 adalah warga sipil. Dari 200 orang
yang terbunuh oleh Drone tersebut, hanya 35 orang saja yang benar-benar
merupakan target serangan atau kombatan.
Apakah angka tersebut menusuk hati
kita? Sama sekali tidak menyentuh hati kita bukan. Lalu mari kita bayangkan
bahwa salah satu di antara mereka adalah, bapak atau ibu atau anak-anak kita
atau saudara-saudara kita, atau bahkan kawan-kawan kita, orang-orang terdekat
kita yang sama sekali tidak melakukan tindakan terorisme. Kira-kira apa yang
kita rasakan? Kira-kira apakah kita akan memerangi teroris atau justru melawan
negara yang mengoperasikan Drone tersebut?
Itulah
angka, berapa pun besarnya korban nyawa warga sipil yang telah hilang tidak
membuat pukulan yang berarti untuk menggerakkan rasa kemanusiaan kita. Haruslah
ada sebuah kisah, atau cerita mengenai kehidupan para korban tersebut untuk
menggerakkan hati kita. Kisah kehidupan tentang bagaimana seorang ayah yang
hendak menjemput anak-anaknya di sekolah kemudian tewas digempur hellfire yang
dimuntahkan oleh “malaikat maut di udara”, kisah tentang anak-anak yang sedang
belajar di madrasah lalu mereka semua meninggal karena gedung yang mereka
tempati dihujami misil Drone, kisah mengenai seorang ibu yang sedang berdagang untuk
menafkahi anak-anaknya namun tak pernah kembali untuk bertemu mereka dan
kisah-kisah lainnya.
Setiap angka tersebut mewakili kisah, mewakili kesakitan
dari keluarga yang ditinggalkannya, mewakili jutaan air mata dari orang-orang
yang mencintainya. Setiap angka tersebut adalah sangat berharga, terkadang kita tak mengacuhkannya. Namun jika ada saudara atau anggota keluarga kita yang masuk ke
dalam daftar tersebut, saya yakin angka tersebut akan sangat berharga untuk
menggerakkan rasa kemanusiaan kita.
Ada
pepatah yang bilang bahwa jika kita bercermin lalu di cermin itu kita terlihat
“jelek”, maka jangan cermin yang kita hancurkan, namun seharusnya kita mengintrospeksi
diri. Sama halnya dengan banyak orang yang membenci kita atau tidak menyukai
kita, hal pertama yang seharusnya kita lakukan adalah introspeksi tingkah-laku
kita selama ini, bukan malah justru menyerang orang-orang yang membenci kita.
Begitupun dengan AS, semakin banyaknya bermunculan para teroris bukan karena
radikalisme atau bukan karena teroris iri dengan kebebasan yang ada di Amerika,
namun ketidakadilan yang mereka terima atas kebijakan luar negeri AS itu
sendirilah yang membuat semakin banyak muncul para teroris selama ini.
Para
orang tua yang nyawa anaknya direnggut oleh Drone AS saya yakin tidak akan
berperang melawan para teroris, namun justru berperang melawan AS itu sendiri.