Ilustrasi: Pxfuel.com
Muhammad
Iskandar Syah
Efek
paling dahsyat dari kolonialisme bukan hanya tentang kerugian material, jauh
lebih besar dari itu sisa-sisa kolonialisme akan membekas dalam pikiran masyarakat
yang terkolonialisasi, bahkan hingga anak-cucunya. Pernah berpikir orang kulit
putih lebih menarik secara seksual? Pernah berpikir mereka lebih superior
dibanding kita? Pernah berpikir bahwa hitam itu jelek dan buruk? Pernah
berpikir menggunakan Bahasa Inggris lebih keren dibandingkan bahasa daerah maupun
Indonesia? Pernah berpikir kita harus mengadopsi nilai-nilai yang datang dari
Barat karena menganggap mereka memiliki peradaban yang lebih mapan? Itu semua
merupakan sisa-sisa kolonialisme yang diwariskan oleh nenek moyang kita hingga
saat ini.
Banyak
di antar kita yang masih berasumsi bahwa apa yang datang dari peradaban Barat
merupakan sebuah kebenaran. Hal ini bahkan kerap membuat putusnya nalar kritis kita
tentang segala sesuatu yang datang dari sana. Seakan-akan semua yang datang
dari peradaban tersebut merupakan hasil oleh pikir manusia yang derajatnya
sangat tinggi.
Namun ketika disodorkan sebuah konsep maupun gagasan yang
datangnya dari luar peradaban tersebut, orang-orang yang terkolonialisasi
pikirannya akan secara spontan menggunakan nalar kritisnya untuk menggugat
gagasan tersebut. Hal itu sering saya temui dalam kehidupan sehari-hari
dan secara tidak langsung pikiran mereka sebetulnya masih dijajah.
Pandangan terhadap Gamis
Misalnya saja banyak
pendapat yang menyudutkan orang-orang yang menggunakan gamis karena menganggap
hal tersebut bukanlah budaya Indonesia, melainkan budaya Arab. Namun sayang, terkadang mereka tidak sadar bahwa kemeja, celana, dan jas yang mereka pakai
juga bukanlah budaya Indonesia. Ini merupakan salah satu bukti bahwa pikiran
mereka masih terjajah lantaran mereka mengkritisi sesuatu
yang datang dari luar peradaban Barat, namun menganggap wajar jika itu datangnya
dari Barat.
Tanpa
sadar kita telah didikte mengenai standar benar dan salah, cantik dan buruk,
normal dan tidak normal, bahagia dan tidak bahagia, dan lain-lainnya. Secara
tidak sadar seluruh aspek dalam hidup kita didikte oleh mereka dengan
menggunakan berbagai instrumen, mulai dari koran hingga media online yang
jangkauannya bisa lebih luas. Pada akhirnya hal ini akan menciptakan sebuah
penjara pikiran di kepala kita yang tanpa kita sadari setiap harinya kita
perkuat penjara tersebut.
Kolonialisasi
pikiran ini akan sangat sulit untuk dibebaskan karena individu yang
terkolonialisasi kerap kali tidak sadar sedang diperbudak. Sejauh seluruh aspek dalam
hidup kita masih didikte oleh Barat selama itu pula kita ada dalam penjara yang
sangat kuat. Hanya kita sendirilah yang bisa merobohkan penjara tersebut.