Ilustrasi: Wikimedia.org
Yopi Makdori
Pembantaian terhadap warga Suriah kembali terulang, kali ini dilakukan dengan cara yang lebih pelan namun tak menihilkan kekejamannya. Tepat pada tanggal 4 April 2017, kota Khan Sheikhoun yang terletak di provinsi Idlib mendapatkan gempuran senjata kimia yang menewaskan sedikitnya 92 orang dan melukai puluhan orang lainnya—30 diantaranya merupakan anak-anak (Human Rights Watch, 1/5/2017).
Gempuran tersebut datang dari pesawat pengebom milik pemerintah Suriah, namun demikian pemerintah menolak tuduhan banyak pihak bahwa mereka yang telah menggunakan senjata kimia terhadap warga kota Khan Sheikhoun. Banyak pihak menduga bahwa zat tersebut merupakan Sarin, zat kimia yang sangat dilarang penggunaannya di dalam medan perang.
Pemerintahan Bashar al Assad berdalih bahwa mereka tidak mungkin menggunakan zat berbahaya tersebut kepada warganya sendiri. Beberapa pihak (red: anti imperialis) juga menuding bahwa ada upaya mendiskriditkan Bashar al Assad oleh negara-negara imperialis, dan menudingnya telah melakukan serangan senjata kimia terhadap warganya sendiri. Mereka mengklaim bahwa Barat melakukan propaganda melalui jaringan media yang dikuasainya untuk mengaduk-aduk perasaan masyarakat dunia yang diharapkan akan berdapak pada diberikannya “lampu hijau” bagi negara-negara imperialis seperti, Amerika Serikat, Inggris dan Prancis untuk melakukan intervensi militer atas nama kemanusiaan ke Suriah.
Di dalam video yang diunggah oleh Telegraph.co.uk pada 13 April 2017, Assad mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah memberikan perintah untuk melakukan serangan. Ia juga mengatakan bahwa pihaknya tidak lagi memiliki senjata kimia karena telah tiada sejak tiga tahun lalu, bahkan andai kata pihaknya memiliki senjata kimia tersebut, maka tidak akan pernah digunakannya.
Pemerintah Suriah dan otoritas Rusia mengklaim bahwa korban jiwa terbunuh karena gas beracun yang keluar dari gudang senjata kimia milik pemberontak saat gudang tersebut diserang pesawat tempur Suriah (Telegraph.co.uk, 13/04/2017).
Lebih jauh, Kremlin menuding bahwa yang harusnya bertanggungjawab atas kematian puluhan korban jiwa tersebut adalah kelompok teroris, terutama Jabhat Fateh al-Saham karena kelompok tersebut yang menguasai provinsi Idlib (Westernjournalism.com, 06/04/2017).
Pernyataan tersebut juga ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri Suriah, Walid Mullem yang mengatakan:
“[I] stress to you once again: the Syrian army has not, did not and will not use this kind of weapons — not just against our own people, but even against the terrorists that attack our civilians with their mortar rounds” (Timesofisrael.com, 06/04/2017).
Ia juga mengatakan bahwa tuduhan beberapa pihak bahwa Assad melakukan serangan menggunakan senjata kimia tidaklah berdasar. Karena menurutnya, Assad hanya menyerang depot senjata milik al-Nusra (red: Fateh al-Sham Front) yang menyimpan senjata kimia. Mullem juga menegaskan bahwa al-Nusra dan ISIS dan organisasi lainnya—yang beroposisi dengan pihaknya—terus menerus menyimpan senjata kimia di dalam wilayah pemukiman warga.
Pernyataan Mullem tersebut langsung direspons oleh Menteri Pertahanan Israel Avigdor Liberman, menurutnya serangan senjata kimia terhadap warga sipil di Idlib—yang juga menyerang Rumah Sakit merupakan hasil dari perintah dan rencana Presiden Suriah Bashar al Assad menggunakan pesawat tempur Suriah. Namun, Ia mengakui bahwa tidak mengetahui rencana tersebut dari A hingga Z-nya (detail) (Timesofisrael.com, 06/04/2017).
Pihak AS juga mengatakan bahwa intelijennya telah berhasil menyadap komunikasi beberapa anggota rezim Assad dan ahli kimianya terkait rencana pengeboman Khan Sheikhoun. Namun demikian, pihak AS mengatakan tidak memiliki bukti keterlibatan Rusia dalam serangan tersebut karena Kremlin lebih berhati-hati dalam hal komunikasi sehingga sulit untuk dideteksi.
Tak ubahnya dengan AS dan Israel, Inggris juga mengatakan hal yang senapas. Theresa May selaku Perdana Menteri Kerajaan Inggris mengatakan:
“[W]e believe it is highly likely that the attack was carried out by the Assad regime," the prime minister said in a televised statement. "Apart from anything else, we believe it's only the regime that has the capability to make such an attack." (Telegraph.co.uk, 13/04/2017).
Lebih jauh Ia menegaskan bahwa Rusia telah berada di sisi yang salah dalam sejarah karena telah mendukung sang diktator dan mencoba menutupi kesalahan-kesalahannya.
Pada Rabu minggu lalu (12/04), Rusia melakukan veto terhadap draf resolusi Dewan Keamanan PBB yang diajukan oleh Inggris, AS dan Prancis untuk mengutuk tragedi serangan senjata kimia di Khan Sheikhoun, dan anjuran Suriah untuk bisa bekerja sama dalam investigasi yang dilakukan secara independen untuk mengetahui siapa dalang dibalik serangan senjata kimia tersebut. Sejauh ini veto tersebut merupakan veto kedelapan Rusia terkait Perang Sipil Suriah (Cnn.com, 13/04/2017). Delegasi Federasi Rusia, Vladimir K. Safronkov dalam sidang di Dewan Keamanan tersebut mengatakan bahwa draf resolusi tersebut gagal untuk menjalankan tugasnya secara tepat (Un.org, 12/04/2017). Teks lengkapnya sebagai berikut:
“[R]eiterating that Syrians were victims of armed groups that had not hesitated to use chemical weapons, said the Government was keen to determine who had used them. It had made unprecedented commitments that had ended its chemical programme “in record time”, he recalled. In its ongoing cooperation with the OPCW, Syria had requested that investigations be launched in Khan Shaykhun and at the Shayrat air base in order to ascertain, among other things, whether Sarin gas had been stockpiled there, he said, noting that Nusrah Front controlled Khan Shaykhun. Syria wanted the truth more than anyone, he stressed. Rejecting the text’s “sly political language” seeking to accuse the Government of Syria in advance, he said that whoever read it would understand that truth was not its true goal. Facts had been doctored and evidence fabricated against the Government, which, for its part, had sent 90 letters to the OPCW about the involvement of terrorist groups with chemical weapons. Urging the Council to be rational and obtain clear responses, he cited examples of questionable evidence, pointing out that all photographs of the Khan Shaykhun incident had come from organizations supporting the armed groups. The “White Helmets” had worked with the United Kingdom intelligence service, he added. For its part, Syria continued to heed all its OPCW obligations, he emphasized”.
Perwakilan Amerika Serikat dalam siding tersebut mengatakan bahwa jika Assad memang benar tidak bersalah harusnya pihaknya bersedia untuk memberikan izin kepada lembaga independen untuk melakukan investigasi supaya informasi menjadi terang siapa yang sebenarnya melakukan serangan senjata kimia tersebut.
Namun Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov, mengatakan bahwa inspektor dari Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) seharusnya selain menginvestigasi wilayah terdampak zat kimia (Khan Sheikhoun), OPCW juga menginvestigasi pangkalan udara Suriah yang dituding oleh AS sebagai base awal pesawat tempur Suriah melakukan serangan. Ia juga menambahkan bahwa kenapa Rusia melakukan veto terhadap draf resolusi tersebut karena di dalam draf itu tidak menyebutkan untuk perlu menginvestigasi daerah serangan tersebut (Washingtonpost.com, 13/04/2017).