Grenthink Views

Tentang Serangan Senjata Kimia Suriah #2


Ilustrasi: Pixabay.com

SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB?

Dari fakta yang telah Saya uraikan di atas, maka kita semakin bertanya-tanya siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab dalam tragedi serangan senjata kimia tersebut? Pertanyaan ini akan mengantarkan kita pada tiga kemungkinan, kemungkinan-kemungkinan tersebut antara lain:

PIHAK ASSAD [DAN RUSIA]

Pihak Assad merupakan kemungkinan yang paling keras gaungnya terdengar. Banyak pihak yang menudingkan tuduhan atas pembantaian warga sipil dengan zat kimia di Khan Sheikhoun kepada Assad selaku Presiden Suriah. Tudingan terutama datang dari pihak Barat yang sangat getol untuk menyingkirkan rezim Bashar al Assad dari Suriah. Lalu apakah benar tudingan tersebut?

Jika kita sudi untuk menengok ke tahun 2013—tepatnya tanggal 21 Agustus 2013, maka kita akan tahu bahwa tepat pada tanggal tersebut juga terjadi serangan senjata kimia terhadap warga Suriah, tepatnya di Ghouta—daerah suburban Damaskus—yang dikenal dengan tragedi serangan senjata kimia Ghouta. Di dalam serangan tersebut sebanyak 502 orang meninggal (The Syrian Observatory for Human Rights) dan 494 orang versi resmi pemerintah Suriah (Buenosairesherald.com, 21/08/2013). Sedangkan versi AS menyebutkan bahwa korban meninggal mencapai angka 1.429 jiwa (Whitehouse.gov, 30/10/2013). Pihak Barat banyak yang mengamini jumlah korban jiwa menurut data dari Gedung Putih, namun tatkala didesak oleh Associated Press (AP) untuk menyebutkan nama-nama korbannya AS hanya bisa melaporkan 395 nama saja (Whowhatwhy.org, 01/12/2014).

Pada saat itu baik pihak oposisi, maupun pihak pemerintah, mereka saling menyalahkan atas kejadian tersebut. Pihak oposisi menganggap bahwa tindakan biadab tersebut dilakukan oleh rezim Assad, sementara itu pihak pemerintah menganggap bahwa serangan gas Sarin tersebut dilakukan oleh “foreign fighter” dan para penyokongnya (Cbc.ca, 22/08/2013). Presiden Bashar al Assad mengatakan bahwa klaim terkait pemerintahannya telah menggunakan senjata kimia akan berlawanan dengan logika dasar dan “tuduhan semacam ini sangatlah politis” (Buenosairesherald.com, 21/08/2013).

Investigasi PBB dalam Tragedi 21 Agustus


Pada 19 Maret 2013, Pemerintah Suriah melaporkan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa para pemberontak telah menembakkan roket yang mengandung material kimia ke wilayah Khan al-Asal—salah satu distrik di Aleppo, daerah yang dikontrol oleh rezim al Assad (Un.org dalam Archive.org, 19/03/2013). Dalam serangan tersebut dilaporkan bahwa sebanyak 25 orang meninggal dan 110 orang mengalami cedera (United Nations Mission to Investigate Allegations of the Use of Chemical Weapons in the Syrian Arab Republic. Final Report, 2013). 

Sebagai respons atas permintaan tersebut, Sekretaris Jenderal PBB yang kala itu masih dijabat oleh Ban Ki Moon membuat “United Nations Mission to Investigate Alleged Uses of Chemical Weapons in the Syrian Arab Republic” sebagai misi PBB yang ditujukan untuk menginvestigasi laporan pemerintah Suriah (Un.org, 21 Maret 2013). Awalnya pemerintah Suriah menolak untuk memberikan izin misi PBB tersebut untuk memperluas wilayah investigasinya di luar daerah Khan al-Assal, namun kemudian disetujui pada bulan Juli 2013 (Theguardian.com, 9/04/2013). 

Perubahan sikap pihak pemerintah Suriah ini bukan tanpa alasan, pasalnya pada tanggal 13 April 2013 dan 29 April 2013—masing-masing di Sheikh Maqsood dan Saraqib, telah terjadi serangan yang serupa dengan yang terjadi di Khan al-Assal (Bbc.co.uk, 18/08/2013).

Pada 23 April 2013, Inggris dan Prancis telah mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal PBB yang berisi pernyataan bahwa pihaknya telah menemukan bukti bahwa pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia di Aleppo, Homs dan kemungkinan juga Damaskus. Israel juga mengklaim bahwa pemerintah Suriah telah menggunakan senjata kimia pada 19 Maret di dekat Aleppo dan Damaskus (Nytimes.com, 24/04/2013). Namun demikian, klaim Israel tersebut kurang dilandasi pada pijakan yang kukuh. Pada 24 April 2013, Suriah melarang para investigator PBB untuk memasuki Suriah, namun PBB di bawah Sekretaris Bidang Hubungan Politik, Jeffrey Feltman mengatakan bahwa hal tersebut tidak akan mencegah penyelidikan untuk terus dilakukan (The Guardian.com, 24/04/2013).

Tepat pada tanggal 18 Agustus 2013—dua hari menjelang tragedi serangan di Ghouta, sebuah misi PBB yang dikepalai oleh Ake Sellstrom tiba di Damaskus dengan izin dari pemerintah Suriah untuk menginvestigasi dugaan penggunaan senjata kimia baru-baru itu. Pada hari terjadinya serangan (21 Agustus 2013), Ban Ki Moon menyampaikan bahwa “[T]he need to investigate [the Ghouta incident as] soon as possible,” berharap mendapatkan persetujuan dari pemerintah Suriah (Un.org, 21/08/2013).

Hari selanjutnya—24 Agustus 2013, Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, Navi Pillay mendorong pemerintah Suriah dan pihak oposisi untuk mengizinkan sebuah investigasi dan Ban (Sekjen PBB) meminta pemerintah Suriah untuk menyediakan akses sesegera mungkin (Ohchr.org, 22/08/2013). Pada 23 Agustus, pertempuran anatar pemberontak dan tentara pemerintah masih berlanjut di sekitar Ghouta, dan inspector PBB dilarang untuk mengakses tempat kejadian selama dua hari (Express.co.uk, 22/08/2013).  

Gedung Putih meyakini bahwa rezim Assad telah berupaya untuk menyembunyikan bukti penggunaan senjata kimia dengan cara mengebom tempat kejadian dan menunda pemeriksaannya (Wsj.com, 27/08/2013). Ban meminta supaya kedua belah pihak melakukan genjatan senjata agar para petugas inspeksi bisa diizinkan untuk mangakses tempat kejadian (Un.org, 23/08/2013). Pada 25 Agustus, kedua belah pihak mau untuk melakukan genjatan senjata untuk lima jam setiap harinya dari tanggal 26 hingga 29 Agustus (Cnn.com, 26/08/2013).

Pada pagi hari tanggal 26 Agustus 2013, beberapa mortir menghantam pusat kota Damskus. Beberapa mortir tersebut jatuh di dekat Four Seasons Hotel, tempat para petugas inspeksi berada. Kemudian—masih di hari yang sama, tim PBB dihujani seniper dan memaksa mereka untuk kembali ke hotel (Theatlanticwire.com, 26/08/2013). Tindakan penembakan membuat Ban sangat marah, namun empat jam kemudian tim bisa melanjutkan investigasi.

Para tim inspeksi meninggalkan Suriah pada 31 Agustus dan berjanji akan kembali ke sana untuk menyelesaikan investigasi yang objektif, namun pemerintah Suriah menginginkan bahwa tim untuk tetap tinggal di sana dan melakukan investigasi pada saat itu juga (Nytimes.com, 03/10/2013).

Laporan dari investigasi yang dilakukan oleh PBB dipublikasi pada 16 September 2013. Laporan tersebut menyatakan bahwa mulai dari sampel lingkungan, kimia, dan kesehatan menunjukan secara jelas dan meyakinkan bahwa gas Sarin telah digunakan dalam serangan di Ein Tarma, Moadamiyah dan Zamalka yang merupakan daerah di wilayah Ghouta, Damaskus (Ã…ke, dkk, 2013). Para inspektor juga berhasil mengidentifikasi roket-roket yang digunakan untuk membawa senjata kimia tersebut, yaitu 140 mm BM-14 Rocket yang diketahui dibuat di Rusia dan 330 mm Rocket yang kemungkinan dibuat di Suriah. Berikut penampakan roketnya:

Gambar 1.

Sumber: Report of United Nations Mission to Investigate Allegations of the Use of Chemical Weapons in the Syrian Arab Republic on the Alleged Use of Chemical Weapons in the Ghouta Area of Damascus on 21 August 2013

Gambar 2.


Sumber: Report of United Nations Mission to Investigate Allegations of the Use of Chemical Weapons in the Syrian Arab Republic on the Alleged Use of Chemical Weapons in the Ghouta Area of Damascus on 21 August 2013

Gambar 3.

Sumber: Report of United Nations Mission to Investigate Allegations of the Use of Chemical Weapons in the Syrian Arab Republic on the Alleged Use of Chemical Weapons in the Ghouta Area of Damascus on 21 August 2013

Gambar 4.

Sumber: Report of United Nations Mission to Investigate Allegations of the Use of Chemical Weapons in the Syrian Arab Republic on the Alleged Use of Chemical Weapons in the Ghouta Area of Damascus on 21 August 2013.

Dari gambar-gambar di atas, Brown Moses, seorang pengamat persenjataan mengatakan bahwa “Selama 18 bulan dirinya mempelajari senjata dan amunisi yang digunakan dalam konflik itu (konflik Suriah), ia tak pernah melihat amunisi-amunisi di atas dipergunakan oleh kelompok oposisi” (Moses, 2013).

Moses (2013) juga memaparkan bahwa mortir jenis itu pernah digunakan oleh pemerintah al Assad sejak Januari 2013—informasi didapat dari gambar dan video yang diunggah oleh pemberontak sejak bulan tersebut. Roket-roket tersebut dikenal dengan sebutan UMLACA (Unidentified Munition Linked to Allegation Chemical Attacks) karena tidak diketahui siapa yang meluncurkannya. UMLACA ini tercatat pernah diluncurkan juga pada serangan senjata kimia di Adra, Damaskus pada 5 Agustus 2013.

Di tempat yang sama pada tanggal 11 Juni 2013 juga terjadi serangan serupa dengan menggunakan UMLACA (Youtube.com, 13/06/2013). Perlu ditekankan bahwa UMLACA ini merupakan roket yang tak perah terlihat digunakan di dalam pertempuran mana pun selain di Suriah ini (Moses, 2013). Pernyataan tersebut juga didukung oleh Peter Bouckaert dalam tulisannya yang dimuat dalam The Guardian (16/09/2013), berikut teks aslinya:

“[T]he rocket systems identified by the UN as used in the attack – truck-launched 330mm rockets with about 50 to 60 liters of Sarin, as well as 140mm Soviet-produced rockets carrying a smaller Sarin-filled warhead – are both known to be in the arsenal of the Syrian armed forces. They have never been seen in rebel hands. The amount of Sarin used in the attack – hundreds of kilograms, according to Human Rights Watch's calculations – also indicates government responsibility, as opposition forces have never been known to be in possession of such significant amounts of Sarin”.

Selain itu, Human Rights Watch (tanpa tanggal) juga menuliskan hal yang serupa:

“[T]he evidence concerning the type of rockets and launchers used in these attacks strongly suggests that these are weapon systems known and documented to be only in the possession of, and used by, Syrian government armed forces. Human Rights Watch and arms experts monitoring the use of weaponry in Syria have not documented Syrian opposition forces to be in the possession of the 140mm and 330mm rockets used in the attack, or their associated launchers”.

Human Rights Watch bukan hanya menuding Assad, pihaknya juga mencurigai kelompok oposisi sebagai dalang dibalik peristiwa tersebut. Akantetapi setelah mereka melakukan investigasi, didapati bahwa bukti lapangan yang mendukung klim tersebut sangatlah lemah dan tidak kredibel.

Menurut investigasi PBB menunjukan bahwa Sarin yang digunakan dalam serangan tersebut konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan Sarin yang digunakan dalam perang Iran-Iraq (Reuters.com, 16/09/2013). Hal tersebut menunjukan bahwa gas Sarin yang digunakan di sana jauh lebih beracun dan mematikan.

Saat itu berkembang perdebatan mengenai siapa dibalik serangan gas Sarin 21 Agustus—sama seperti saat ini, kelompok pendukung pemerintahan Bashar al Assad menganggap bahwa serangan tersebut merupakan ulah dari pihak oposisi atau pemberontak. Mereka mengklaim bahwa ledakan tersebut dikarenakan tentara oposisi yang tidak bisa menangani senjata kimia hingga akhirnya terjadi ledakan. Teori tersebut “groundless” karena menurut laporan investigasi PBB serangan dilakukan di tempat yang jaraknya sejauh 16 km (10 mil), dan diketahui pula bahwa ledakan terjadi dari roket yang diluncurkan bukan ledakan di tempat (on the ground explosions).

Pada 30 Agustus 2013, Gedung Putih merilis sebuah laporan, yaitu U.S. Government Assessment on the Use of Chemical Weapons in Syria on August 21. Di dalam laporan tersebut komunitas intelijen menganggap (dengan tingkatan “high confidence”) bahwa pemerintah Suriah telah menggunakan senjata kimia terhadap pihak oposisi di Damskus. Laporan tersebut juga memuat peta area-area yang terdampak, berikut gambarnya:

Gambar 5.
Sumber: U.S. Government Assessment on the Use of Chemical Weapons in Syria on August 21

Ruslan Pukhov, seorang ahli pertahanan Rusia yang juga menjabat sebagai direktur Russia’s Centre for Analysis of Strategies and Technologies, mengatakan bahwa kode yang ditemukan oleh investigator PBB dalam roket M-14 menunjukan bahwa roket tersebut memang diproduksi oleh Uni Soviet pada 1967 di Novosibirsk oleh Sibselmash plant untuk peluncur roket ganda BM-14-17. Namun ia juga mengatakan bahwa senjata jenis itu sudah tidak digunakan oleh Suriah dan digantikan oleh BM-21s. Sedangkan proyektil kedua yang ditemukan oleh investigator PBB, Ia menganggap bahwa lebih terlihat sebagai ‘home made’ projectile (Dailymail.co.uk, 18/09/2013).

About Yopi Makdori

Diberdayakan oleh Blogger.