Muhammad Iskandar Syah
“You're not to be so blind with patriotism that you can't face reality. Wrong is wrong, no matter who does it or says it.”― Malcolm X dalam By Any Means Necessary
Saat ini, intelktualitas tengah diciderai dengan kabar disanksinya seorang mahasiswa Institut Agama Islam (IAIN) Kendari, Sulawesi Tenggara. Ia adalah Hikma Sanggala, salah seorang aktivis mahasiswa yang dengan gigih memperjuangkan baiknya keadaan Indonesia untuk menjadi bangsa yang sejatinya. Saya pribadi sama sekali tidak mengenal saudara Hikma, namun bagi orang yang intelektualitasnya masih “waras”, melihat apa yang menimpa saudara Hikma pasti nuraninya akan bergejolak.
Menurut Keputusan Rektor IAIN Kendari Nomer: 133.c Tahun 2017 tentang Sanksi Akademik Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah Institut Agama Islam Kendari, saudara Hikma diberi sanksi dalam bentuk skorsing selama satu semester dengan tetap membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT). Dalam keputusan rektor tersebut, Hikma mendapatkan sanksi akademik dikarenakan terbukti melakukan provokasi dan tindakan lain yang mencemarkan nama baik IAIN Kendari.
Lantas provokasi seperti apa sehingga ia mendapatkan sanksi tersebut? Ujaran kebencian kah? Provokasi untuk melakukan penyerangan? Pengeboman kah? Atau apa? Ternyata provokasi yang dimaksud adalah “dukungan terhadap Aksi Bela Islam 299” yang disebarkan dalam bentuk video.
Lalu apa yang salah dengan hal ini? Apakah pihak rektorat lupa bahwasanya mengemukakan pendapat di muka umum ialah hak setiap penduduk Indonesia? Hak tersebut dijamin oleh konstitusi negara kita.
Apakah permasalahannya terletak pada tuntutan dari Aksi Bela Islam 299? Pihak IAIN Kendari seharusnya tahu bahwa tuntutan dari aksi tersebut ialah “Tolak Perppu Ormas dan Kebangkitan PKI”. Bagi massa Aksi Bela Islam 299, Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017 dianggap mencidarai semangat dakwah Islam dan iklim kebebasan berpendapat di Indonesia, dan hal tersebut bukanlah suatu kesalahan.
Kemudian terkait isu kebangkitan PKI, yang juga menjadi salah satu tuntutan dalam aksi tersebut, bagi saya bukanlah sesuatu yang salah, mengapa? Massa aksi menganggap bahwa pola pembungkaman berbagai aktivitas dakwah saat ini mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh partai komunis tersebut saat dulu pernah berjaya di Indonesia. Lalu dimanakah letak kesalahannya?
Diskorsingnya saudara Hikma atas tindakannya yang seharusnya juga dilakukan oleh seluruh mahasiswa di negeri ini adalah sebuah bentuk penistaan terhadap institusi pendidikan tinggi. Seorang intelektual—atau dalam hal ini mahasiswa—seperti Hikma bukan hanya berkewajiban untuk mendapatkan nilai yang bagus, namun jauh lebih penting dari pada itu seorang intelektual dituntut untuk mempunyai tanggung jawab terhadap kondisi negeri ini (epistemic responsibility). Chomsky pernah berujar “that intellectuals should make themselves responsible for searching for the truth and the exposing of lies” dan kita tahu, Hikma adalah salah satu intelektual yang melakukan hal tersebut.
Dalam kasus ini, IAIN Kendari seharusnya malu dengan apa yang mereka lakukan terhadap mahasiswa yang menjalankan peran tanggung jawab intelektualnya. Kampus seharusnya menjadi institusi pencetak orang-orang seperti Hikma, yang peduli akan kondisi negeri ini, yang dengan lantang menyuarakan suatu kebenaran; bukan malah para mahasiswa yang hanya peduli dengan dirinya dan apatis terhadap permasalahan bangsa. Maka, sebagai institusi pendidikan tinggi, IAIN Kendari telah gagal menjalankan perannya sebagai institusi yang menjungjung intelektualitas dan tanggung jawab intelektualnya.