Ilustrasi: Thebluediamondgallery.com
Muhammad Iskandar Syah
“The highest result of education is tolerance”
― Helen Keller
*Penulis menggunakan kata “Cina” bukan bermaksud untuk melecehkan maupun menghina, hal ini ditujukan supaya bisa sesuai dengan judul tulisan.
Felix Siauw, nama yang cukup asing di telinga orang Indonesia bagi seorang ustaz. Saya mengetahui beliau saat diberikan video tentang salah satu kajiannya oleh guru sekaligus sahabat saya, Egy Ginanjar Pratama. Sejak saat itu saya mulai mengagumi beliau sebagai salah satu tokoh panutan saya.
Seorang dai muda, penuh semangat dalam mendakwahkan Islam ke tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama di kalangan remaja Indonesia, membuat sosoknya banyak dikenal oleh publik di Indonesia. Ia merupakan seorang mualaf yang penyerapan ilmu tentang Islamnya begitu cepat. Hal ini dikarenakan kesungguhannya dalam mempelajari ilmu agama. Ia dikenal sebagai dai yang mempunyai ciri khas tempo bicaranya yang begitu cepat, sehingga terkadang bagi sebagian orang membutuhkan waktu sedikit lama untuk menyerap isi ceramah beliau.
Selain ciri khas tersebut, Ustadz Felix juga dikenal sebagai “Ustaz Cina”, ya Ust. Felix memang seorang keturunan Tionghoa tulen. Dengan identitasnya yang merupakan seorang Cina membuat masyarakat penasaran akan ceramah beliau dan akhirnya mengenal dakwah beliau. Namun terlepas dari itu semua, kemampuan beliau dalam mendakwahkan Islam ke tengah-tengah masyarakat Indonesia—terutama ABG (Anak Baru Gede)—tidak perlu dipertanyakan lagi, melihat semakin hari semakin banyak masyarakat Indonesia yang bersimpati kepada beliau. Meskipun terkadang ada sebagian orang yang mempertanyakan kemampuan beliau terkait pemahamannya tentang Islam, namun sikap kritis mereka bukan ditujukan untuk mendukung atau menjalin persaudaraan sebagai sesama muslim, namun justru ingin menjatuhkan beliau.
Pada Sabtu, 4 November 2017, kehadiran Ust. Felix untuk ceramah di Masjid Manarul Gempeng, Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan ditentang oleh kelompok yang selalu menggaungkan slogan “toleransi”. Mereka beralasan bahwa penolakannya tersebut dikarenakan Ust. Felix Siauw dianggap anti-Pancasila dan mengancam keutuhan bangsa. Padahal sungguh tuduhan tersebut sangatlah “groundless” kalau tak mau disebut tuduhan “ngawur”.
Saat beliau sampai di sana—Masjid Manarul Gempeng, kapolres Pasuruan langsung meminta beliau untuk diamankan di Polres. Polisi beralasan bahwa beliau tidak mau menandatangani surat pernyataan sebagaimana disepakati. Padahal Ust. Felix sendiri bingung, atas dasar apa ia dipaksa untuk menandatangani kesepakatan tersebut. Kemudian diketahui bahwa isi kesepakatan tersebut sebagai berikut:
1. Mengakui ideologi Pancasila sebagai ideologi tunggal NKRI;
2. Tidak akan menyebarkan ideologi Khilafah;
3. Menyatakan keluar dari Hizbut Tahrir Indonesia.
Ust. Felix sendiri paham bahwa hal tersebut sebuah jebakan, dan juga sebuah penghinaan. Sebab jika beliau menandatangani kesepakatan tersebut, itu sama halnya dengan beliau mengaku bahwa semua yang dituduhkan terhadapnya itu benar adanya. Lucunya dalam kejadian tersebut, polisi sebagai aparat negara justru mengaku ditekan oleh kelompok intoleran tersebut.
Selama ini kelompok tersebut selalu mengklaim bahwa dirinya merupakan kelompok yang paling toleran, yang paling pancasilais, tidak jarang mereka juga menjaga tempat ibadah maupun ritual ibadah agama lain. Namun sungguh sangat disayangkan, perlakuan mereka terhadap saudara sesama muslimnya jauh dari kata toleran bahkan jelas-jelas sangat intoleran. Kelompok ini juga kerap kali membela kaum minoritas, lalu apakah mereka lupa bahwa Ust. Felix merupakan seorang Cina yang tentu saja sangat minoritas di Indonesia, terlebih lagi beliau juga seorang muslim yang tentu Cina-Islam merupakan kaum minoritas di negeri ini. Kalau memang mereka komitmen dengan kata toleransi, seharusnya pengajian yang diisi oleh Ust. Felix akan selalu mereka jaga—mengingat identitas mereka sendiri merupakan seorang muslim dan juga mengklaim paling toleran—bukan justru malah mereka bubarkan.
Pada akhirnya sama seperti Pancasila, definisi intoleran hanya dipegang oleh mereka. Mereka dengan sesuka hati melakukan tindakan intoleran dengan masih menyebut diri mereka sebagai “kelompok paling toleran”. Ust. Felix merupakan seorang minoritas di negeri ini, namun sayangnya dia seorang muslim yang gigih memperjuangkan Islam dan hal ini yang menyebabkan beliau menjadi minoritas yang “terkecualikan” bagi kelompok-kelompok yang mengaku paling toleran tersebut.
Terakhir, saya juga ingin mempertanyakan komitmen kelompok “Liberal Karbitan” atas slogan mereka tentang “toleransi” dan “kaum minoritas”, di mana suara kalian kali ini?