Inovasi Pragmatis

Sekuntum Kerinduan yang Kutinggalkan di Jogonalan [Repack]


Ilustrasi: Mas Imad, Yopi serta Nepi

Kereta dari Stasiun Bekasi mengantarkanku tepat pukul 21.00 malam di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Ransel yang terisi penuh pakaian serta peralatan mandi, kugendong untuk keluar dari stasiun.

Di luar stasiun kondisi lumayan gelap, ada sejumlah tukang ojek dan pengemudi ojek online menawarkan jasanya kepada mereka yang baru keluar dari stasiun. Aku terdiam sejenak, sambil memikirkan langkah apa yang selanjutnya aku ambil.

Kedatanganku ke kota pelajar itu demi menghadiri tes wawancara pada sebuah perusahaan di Klaten. Nekat memang, kalau tak mau dibilang pikiranku udah buntu. Bagaimana tidak, seseorang yang sedang berada di wilayah Jabodetabek justru mencari kerja di Klaten yang jelas jauh dari mana pun. Baik saudara maupun kampung halaman.

Tapi tekadku bulat, aku pikir dengan bekerja di sana asaku untuk hidup sederhana di wilayah sekitaran Jawa Tengah bisa terpenuhi. Di samping juga sebuah luapan kekecewaanku lantaran tak kunjung mendapatkan pekerjaan di Jakarta sejak beberapa minggu padat menghadiri beragam wawancara.

Sejujurnya sampai aku sampai di Jogja, aku belum tahu akan menginap ke mana. Benakku hanya menyarankan satu tujuan, dengan sisa uang hasil mengikuti kerja paruh waktu survei semasa di Purwokerto, aku pastikan tak akan menginap di hotel, kendati di hotel sekelas OYO ataupun RedDoorz.

Untuk menyangkilkan waktu dan dana, aku dekati tukang ojek di sana. Aku tanya-tanya harga berapa ongkos untuk sampai ke Sendowo, sebuah kelurahan yang berdekatan dengan Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM). Dia bilang Rp 20 ribu, aku coba tawar tapi nihil. Tampaknya bakat negosiasiku kandas oleh tukang ojek di sana.

Melihat jam di ponsel seakan makin bergerak cepat, aku putuskan untuk mengiyakan harga tersebut, dan kita deal. Tukang ojek pun langsung mengantarku ke tempat tujuan. Di tengah perjalanan aku mengingat betul jalan-jalan yang kami lalui. Jogja tak banyak berubah, ucapku dalam hati.

Sampailah kami di Sendowo, aku berhenti tepat di salah satu SD di kelurahan tersebut. Seketika kenangan mengajakku untuk kembali ke beberapa tahun lalu. Mengingat setiap detail jalan yang tak asing aku lalu di sana.

Tujuan ku satu, kosan lama yang saat itu telah aku tinggalkan lebih dari empat tahun lalu. Ya, empat tahun silam aku pernah lebih dari satu semester bercengkerama dengan kota Jogja. Kota selain Purwokerto serta Jakarta yang mengajariku banyak hal.

Di jalan benakku tak berhenti bicara. Ia seakan mengajakku untuk berunding apakah aku yakin menginap di kosan tersebut. Apakah nanti ada kamar yang kosong? Apakah ibu kos telah meninggal? Mengingat saat aku pergi saja usianya sudah pantas dibilang sepuh.

Pikiranku tak henti berdialog, namun langkahku yakin untuk terus bergerak ke depan. Tapi aku bukan tipe orang yang menyandarkan tubuh pada satu harapan, sembari berjalan benakku juga berpikir untuk mencari alternatif bagaimana jika kos di sana penuh. Jalanku tak lebih memakan waktu 15 menit, tapi di sana aku memikirkan begitu banyak hal di saat yang hampir bersamaan. Akhirnya aku teringat pada sebuah masjid yang pernah mempertemukanku pada seorang kawan.

Sebuah masjid yang letaknya tak jauh dari Mirota Kampus dan Sekolah Vokasi UGM. Aku ingat betul di sana aku bertemu Anwar, seorang mahasiswa Sekolah Vokasi UGM jurusan D3 Bahasa Inggris. Saat kali pertama bersua mahasiswa asal Surabaya ini, kami begitu cepat akrab. Mungkin karena kami sama-sama satu nasib, sama-sama dari jauh dan mahasiswa Bidikmisi.

Oke alternatif kedua bila kosan lama penuh, aku putuskan untuk menginap di masjid. Awalnya aku tak tahu nama masjid itu, belakangan aku ingat bahwa masjid itu bernama Masjid Al Hasanah, Terban.

Sampailah aku di sebuah rumah yang tepat menghadap ke bantaran kali Code. Rumah itu memang berdiri di bawah lembah kali Code. Di atasnya tepat bertengger bukit kecil yang jika longsor, maka tak butuh waktu lama menelan rumah berlantai dua itu.

Aku gedor pintu rumah sembari mengucapkan salam. Tak lama seorang perempuan paruh baya membukakan pintu tersebut. Aku langsung bilang mau cari "Si Mbok" tak lama seorang nenek yang jalannya sudah terbungkuk menemuiku aku pun spontan menyalaminya. Aku langsung mengutarakan niatku untuk mencari kos barang satu malam untuk menghadiri intreview di Klaten. Apakah masih ada kamar kosong? Tanyaku sama Si Mbok.

Tampaknya Si Mbok tak mengingatku sama sekali, padahal selama di kos aku ingat betul Si Mbok sering memberiku makanan kala ia masak. Dia menjawab dengan logat Jawa yang kental bahwa kos saat ini penuh. 

Baiklah, untung masih ada alternatif kedua. Aku bergegas pamit dari sana dan langsung mengayunkan langkah kakiku ke alternatif kedua.

Sampai di sana aku bertemu dengan beberapa orang, langsung aku cari pengurus masjid dan kuutarakan maksud untuk menginap satu malam demi menghadiri wawancara kerja esok hari. Tampaknya mereka begitu ramah, aku disambut dengan baik. Aku bergegas untuk cuci muka dan menjalankan salat Isya. Setelah itu seorang pria dengan perkiraan umur yang cukup matang menghampiriku. Ia mencoba mengajak berbincang mengenai asal dan tujuanku ke Jogja.


Ilustrasi: Masjid Al Hasanah, Jogjakarta


Setelah sekian lama berbincang sambil menunggu kantuk, aku akhirnya tahu bahwa si bapak bernama Sutaryo. Tukang becak sekaligus pengurus masjid di sana. Kerap kali Pak Taryo, sapaan akrabnya memimpin salat di masjid tersebut.

Kami tidur berdampingan, sampai azan Subuh berkumandang kami pun terjaga. Di tubuhku terhampar sebuah sarung milik Pak Taryo, mungkin tadi malam tubuhku menggigil. Lantas Pak Taryo berinisatif menyelimuti tubuhku.

Pagi menjelang, aku tadi sudah membicarakan ihwal cara menuju tempat wawancara kerjaku dengan Pak Taryo. Pertama naik bis, kedua diantarkan oleh Pak Taryo yang kebetulan akan pulang ke Gunungkidul. Syukurnya, kampung Pak Taryo searah dengan tempat wawancaraku di Jogonalan, Klaten.

Usai salat Subuh, kami langsung bergegas berangkat ke lokasi. Dengan motor Honda Astrea Grand milik Pak Taryo, kami melaju menembus jalanan Jogja yang pagi itu terasa menggigil. Perjalanan lumayan jauh, sekitar satu atau satu setengah jam kami pacuh kendaraan ke arah Jogonalan. Tujuan kami adalah PT JKJ Indonesia yang beralamat di Tegalsari, RT.26/RW.14, Disoluwis, Dompyongan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten. Sebuah perusahaan Korea Selatan yang bergerak dalam bidang pembuatan sarung tangan Golf.

Setelah bertanya ke warga sekitar, kami pun sampai ke lokasi yang dituju. Aku pikir perusahaan ini akan berada di pinggir jalan raya. Tapi asumsiku terpatahkan, PT JKJ justru berada di tengah-tengah perkampungan warga. Aku tak tahu pasti mengapa pabrik sarung tangan ini justru berada di tengah perkampungan yang masih begitu asri. Aku terkesima dengan pemandangan di sana, begitu asri dan hamparan bukit membentang sejauh mata kita memandang. Betul-betul menenangkan, ucap benakku.

Setelah mengetahui lokasi perusahaan, aku ajak Pak Taryo mencari pasar untuk menyantap sarapan. Maklum, tadi pagi kami tergesa-gesa untuk segera beranjak ke lokasi dan melupakan sarapan pagi.

Ternyata pasar tak begitu jauh dari sana, kami pun memutuskan untuk menyantap soto di salah satu warung di sana. Rasa sotonya begitu nikmat, dengan kombinasi pedas dan asam dari perasan jeruk nipis, lidahku seakan gandrung untuk menyantap soto itu kembali. Apalagi sodoran tempe goreng berbalut terigu dan irisan daun bawang menambah kenikmatan tersendiri soto yang kami nikmati itu.

Kelar menyantap, aku pun panggil pemilik kedai menanyakan berapa harga yang mesti kami berdua bayar. Aku sedikit kaget mendengar harganya, ternyata semangkok soto dan beberapa tempe goreng yang kami makan hanya dibandrol Rp 8 ribu. Jadi total yang mesti aku bayar hanya Rp 16 ribu untuk dua mangkok soto dan beberapa tempe goreng yang bak pasangan serasi untuk disantap dengan hidangan soto itu. Sungguh harga yang murah bukan?

Karena Pak Taryo mesti bergegas pulang ke kampungnya, aku pun diantar kembali ke lokasi PT JKJ. Berhubung wawancara masih lama dan kami tiba terlalu pagi, Pak Taryo menanyaiku untuk sementara istirahat di mana sambil menunggu waktu wawancara tiba. Seperti biasa, aku sarankan untuk mencari musalah atau masjid terdekat dari lokasi. Dan Alhamdulliah, kami menemukan sebuah musalah yang berjarak tak jauh dari perusahaan. Di sana kebetulan ada seorang ibu-ibu yang rumahnya bersebelahan dengan musalah tengah menyirami bunga di halaman rumahnya. Pak Taryo langsung berinisiatif untuk meminta izin agar aku diperkenankan istirahat sejenak di musalah tersebut. Sang ibu dengan ramah mempersilakannya.


Ilustrasi: Musalah Dekat PT JKJ Indonesia


Aku dan Pak Taryo berpisah di sana. Aku sampaikan banyak terima kasih karena telah mengantar hingga ke tujuan, aku titipkan salam untuk anak dan istrinya di rumah. Semoga mereka diberikan kesehatan dan kelancaran rizki.

Aku masuk musalah dan mengganti bajuku dengan sebuah kemeja. Tak lama ibu tadi menghampiriku dan sedikit berbincang sembari memberiku beberapa roti. Namun karena aku sudah kenyang, aku masukkan ke dalam tas roti tersebut, untuk bekal di jalan pulang, pikirku.


Ilustrasi: Para Pekerja PT JKJ Indonesia di Tempat Parkir


Akhirnya waktu yang ditunggu tiba, sekitar pukul 10.00 WIB aku menghadap dua pewawancara. Mereka menelanjangi latar belakangku dan membicarakan beberapa hal, termasuk terkait perusahaan. Sampai akhirnya negosiasi gaji. Aku dengar umumnya gaji karyawan di sana sekitar Rp 2 jutaan. Untuk itu tatkala pewawancara menanyakan berapa gaji yang diminta, aku langsung menyebut angka Rp 2,7 juta.


Ilustrasi: PT JKJ Indonesia Tampak Depan


Aku pikir nominal tersebut merupakan angka yang wajar. Aku sudah membulatkan tekadku, dengan suasana yang begitu nyaman dan ongkos makan yang amat murah aku bisa bahagia hidup di sana. Aku benar-benar terkesan dengan daerah Jogonalan kala itu.

Akhirnya aku diminta untuk menunggu selama dua minggu, apakah aku diterima sebagai staf untuk mengurusi ekspor-impor di sana atau sebaliknya. Sejak saat itu aku kerap merapalkan doa supaya bisa diterima pada perusahaan tersebut.

Aku pun beranjak dari sana, keluar dari gerbang yang tampak dicat dengan warna biru telor asin itu. Di depan gerbang tampak banyak pedagang yang berjejer di pinggir jalan. Mulai dari pedagang makanan bahkan pedagang perabotan rumah tangga pun ada di sana. Aku rasa para pedagang ini amat mempermudah para buruh pabrik di sana mencari kebutuhan sehari-hari. Jadi pas jam istirahat atau pulang kerja, mereka bisa berbelanja terlebih dulu di sekitar pabrik.


Ilustrasi: Salah Seorang Pedagang di Depan PT JKJ Indonesia


Karena aku berencana langsung pulang, maka aku bergegas beranjak dari sana. Lokasi PT JKJ yang cukup masuk ke dalam perkampungan membuatku mesti berjalan terlebih dahulu ke arah jalan raya. Setelah ku cek di Google Maps, jalan dimaksud ialah Jalan Pasar Deli. Sampai di sana aku beristirahat di sebuah warung yang tak jauh dari jalan masuk ke PT JKJ. Sambil aku aku tanyakan jalan pulang menuju Jogja.


Ilustrasi: Gang Menuju PT JKJ Indonesia


Aku masih jauh dari jalan utama menuju Jogja, seorang bapak penjaga warung bilang kalau di sana tak ada kendaraan umum. Tukang ojek pun jarang. Alternatif transportasi satu-satunya yang bisa mengantarku ke jalan utama adalah truk pasir.


Ilustrasi: Gang Utama ke PT JKJ Indonesia


Jalan Pasar Deli ini memang salah satu penghubung antara penambangan pasir di lereng Merapi ke daerah sekitarnya. Pantas saja jika di jalan sana sering ditemui lalu-lalang truk pengangkut pasir.

Usai menyantap makanan yang lagi-lagi dengan harga yang murah, sang bapak itu memintaku untuk menunggu sebentar di sana. Tak lama ia menyeberang ke arah jalan untuk menghentikan sebuah truk pasir yang tengah melaju. Di sana ia tampak tengah berdialog dengan sang sopir. Sampai akhirnya dari seberang jalan sang bapak melambaikan tangannya sebagai isyarat agar aku mendekat. Aku pun beranjak dari warung itu dan sesegera mungkin menghampiri sang bapak.

Sang bapak bilang bahwa nanti aku bisa menumpang truk pasir itu. Di sana sopir pun mengizinkanku untuk naik. Aku langsung menuruti hal itu. Sang bapak bilang bahwa truk itu akan mengantarku sampai ke jalan utama.

Aku pun berterima kasih kepada sang bapak, sebelum truk itu berangkat ada pesan yang disampaikan sang bapak kepada sopir. Pesan itu yang hingga kini membuatku sulit untuk melepaskan hatiku dari sana. Bapak berpesan kepada sopir agar menjaga saudaranya dari Indramayu. Saudaranya maksudnya adalah aku. 


Ilustrasi: Penampakan Warung Si Bapak


Aku duduk di samping sopir, ia tampak ramah dan di perjalanan kita banyak berbincang. Sampai tak terasa aku telah sampai di jalan utama tepat aku menunggu bis yang akan membawaku ke arah Jogja.


Ilustrasi: Jalan Utama ke Jogja


Dari sana, tujuanku selanjutnya adalah Purwokerto. Badanku amat letih tapi entah mengapa, saat itu perasaanku begitu riang. Hingga kini, aku masih merindukan tempat itu. Semoga suatu hari nanti aku bisa menyapamu lagi Jogonalan.

About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.