Grenthink Views

Kesehatan Anak Nomor Satu

Ilustrasi: Oyong dan Tempe

Dian, ibu dari seorang putri yang masih berusia empat tahun, saban hari menghabiskan waktunya untuk mengurusi sang anak. Dia tinggal di sepetak kosan yang ia bersama sang suami sewa dengan ongkos Rp 500 ribu. Harga yang cukup mahal bagi mereka berdua, terlebih lagi kehidupan mereka hanya mengandalkan penghasilan suami.

Suami Dian bekerja sebagai kuli di salah satu toko dekat kosan mereka. Ia diupah perbulannya tiga kali lipat dari harga sewa kos mereka. Dengan nominal sekitar Rp 1 juta, Dian mesti mengatur kebutuhan sehari-hari keluarganya. 

Dian sama sekali buta akan gizi, ia tak paham makanan mana yang mengandung protein, mana yang mengandung vitamin dan mineral yang dibutuhkan bagi anak. Putrinya tiap hari selalu diberi makan kerupuk plus nasi putih anget. Sang putri mau makan saja Dian sudah amat bersyukur, ia sama sekali tak paham kebutuhan gizi anak tercukupi atau tidak.

Suaminya pun sama, ia kerap mengonsumsi mi instan dengan nasi. Bukan tanpa alasan, mi instan selain murah juga praktis untuk dimasak. Terkadang, anaknya pun mengikuti sang ayah untuk mengonsumsi mi instan tersebut.

Tak butuh waktu lama, mi instan sudah siap dihidangkan. Ini juga taktik agar gas di kosan mereka tak cepat habis. Bayangkan jika Dian mesti masak sayur dan goreng tempe, maka gas yang digunakan pun akan semakin banyak. Imbasnya akan membebani pengeluaran keluarga kecilnya.

Mata Dian selalu terlihat sayu. Tubuhnya memang berisi, jauh dari kata kurus kering. Akan tetapi, tak ada gairah hidup di wajahnya. Roman muka sama juga ditunjukkan oleh putri Dian. Ia berbeda dengan kebanyakan anak seusianya. Tak ada keceriaan di wajah sang anak. Kendati bermain bersama anak-anak lainnya, ia selalu terlihat murung. Padahal, anak seusia tersebut belum memahami kondisi hidup yang diderita kedua orang tuanya.

Gizi anak yang tak seimbang mungkin melatarbelakangi hal itu. Kita memang paham bahwa kondisi ekonomi mungkin amat menjepit. Sikap tak acuh dari para penguasa memperparah kondisi ini. Tapi lagi-lagi, sebagaimana pesan para dokter anak bahwa gizi buah hati selalu nomor satu.

Kadang tak perlu mahal untuk memenuhi kebutuhan gizi anak. Tapi memang pasti akan sedikit repot jika dibandingkan hanya manghidangkan mi instan atau pun kerupuk bagi anak. Repot harus ke pasar, repot juga untuk memasaknya. Tapi bukankah semua usaha kita demi anak? Kekurangan gizi pada anak juga berpotensi tinggi untuk mempengaruhi tingkat kecerdasan buah hati.

Saya memang bukan ahli gizi, tapi amat miris melihat anak-anak diberi makan ala kadarnya. Untuk informasi lebih lanjut soal makanan mana saya yang murah tapi banyak mengandung gizi, kawan-kawan bisa mencari lanjutannya di internet. Bertebaran banyak informasi berkaitan hal itu.

Kasarnya begini, ayam saja itu mesti dipastikan asupan gizinya. Apalagi anak seorang manusia. Memang negara harus mengambil peran di situ, tapi ya sudahlah ya. Kadang yang jadi abdinya pun bukan niat untuk mengabdi, tapi kepingin kaya. Padahal sudah saya wanti-wanti mau kaya tuh wirausaha biar tidak celamitan sama duit rakyat, paham?


*Terinspirasi dari kisah nyata.


About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.