Ilustrasi: Inaya Bay Komodo, Labuan Bajo.
Saat ini saya hidup di zaman di mana hampir semua hal bisa difabrikasi, tak terkecuali persepsi publik. Hal ini bagi saya begitu mengerikan, di mana massa yang kerap kali dalam keadaan buta diombang-ambingkan oleh sebuah pandangan yang sering kali jauh dari fakta.
Di negara demokrasi seperti yang saat ini tengah kita terapkan, persepsi publik merupakan hal yang paling vital. Dulu orang berpegang pada kalimat “peduli amat perkataan orang,” tampaknya untuk saat ini kalimat tersebut harus ditanggalkan. Sebabnya hampir semua lini memperhatikan apa yang disebut persepsi publik.
Sebuah “brand” rela menggelontorkan miliar rupiah untuk sebuah “citra”. Sebuah persepsi baik untuk dijual ke publik. Hal ini juga berlaku bagi para politisi, mereka terkadang mengalokasikan dan yang tidak sedikit untuk sebuah citra baik. Termasuk dalam dunia pemerintahan.
Citra baik ini tak akan jadi masalah bilamana sejalan dengan fakta. Namun akan menjadi sebuah mimpi buruk jika hal ini tak senapas dengan realitas yang ada.
Jualan Brand Merakyat
Brand yang paling laris di pasaran Indonesia adalah “brand merakyat”. Hal ini patut dimaklumi, setelah kekuasaan yang mengontrol mereka selama berabad-abad selalu merepresentasikan diri sebagai sosok “elitis”, maka hadirnya brand merakyat amat di nantikan oleh hampir seluruh rakyat Indonesia.
Brand merakyat membawa harapan bagi rakyat bahwa “pengontrol” mereka lahir dari rakyat dengan kondisi yang sama. Bukan seorang pemimpin yang jauh dari kehidupan rakyat.
Citra merakyat tak boleh lepas dari para politisi, entah sejalan atau tidak dengan fakta, yang pasti citra ini mesti selalu melekat pada diri seorang politisi. Brand inilah yang akan mengantarkan seorang politisi bisa mempunyai kewenangan untuk mengontrol massa.
Maklum saja, demokrasi mensyaratkan supaya pemimpin itu dipilih oleh rakyat. Sedangkan persepsi massa bisa difabrikasi dengan serangkaian metode. Muaranya kadang melahirkan pengontrol rakyat yang pada dasarnya berwatak elitis, namun karena dipoles sana-sini akhirnya melahirkan sosok dengan citra yang jauh dari realitas.
Di sinilah pentingnya rakyat untuk dapat menelaah setiap calon pemimpin mereka. Tapi kadang kala, citra bisa mengalahkan logika manusia, yakni jika sudah berhubungan dengan emosi. Kadang selain citra, politisi juga sering memainkan hal-hal yang bersifat emosional, misalnya saja asal daerah ataupun agama.
Saya bukan salah satu pihak yang mendukung perceraian antara agama dengan politik, namun kerap kali faktanya agama dijadikan alat untuk meraup kekuasaan. Apakah orang semisal ini dapat mengubah kondisi lebih baik? Tidak ternyata. Mereka kadang turut larut menikmati gelimang kekuasaan. Artinya sering kali baik yang menggunakan citra agama ataupun tidak sama-sama tak membawa perubahan apa-apa. Tak jarang mereka terjerat kasus korupsi. Artinya semakin menegaskan persamaan keduanya.
Membajak Perdebatan
Perilaku membajak konsensus berujung juga pada menarik perdebatan ke dalam hal-hal yang tak objektif. Maksudnya begini, era ini muncul entitas yang menyerupai pers tapi lebih tak terkontrol. Kita percaya bahwa sulit untuk menemukan pers yang netral, tapi paling tidak mereka memiliki pakem-pakem di mana sejalan dengan fakta maupun bukti empiris.
Entitas baru ini bersifat perseorangan yang itu sulit untuk dikontrol dan sering kali menerobos pakem yang ada. Entitas ini dikenal dengan julukan “influencer”. Mereka merupakan seseorang atau kelompok orang yang aktif membuat konten di media sosial dan diikuti oleh banyak masyarakat. Ucapan, perkataan mereka kerap kali diamini oleh para pengikutnya yang kadung kagum dengan sosok sang influencer.
Kendati misalnya dalam perdebatan akademik antara paham si A dengan paham si B, si B miskin landasan namun karena paham itu di-endorsement oleh banyak influencer, maka di persepsi publik paham si B-lah yang benar. Hal ini begitu mengerikan di mana kebenaran absolut seakan-akan milik publik. Padahal belum tentu apa yang dianggap benar oleh banyak orang adalah sebuah kebenaran.
Sebenarnya relasi pengaruh antara influencer dengan pengikutnya bisa diputus asalkan para pengikut memiliki bekal dan kemampuan untuk menelaah setiap pesan yang dilayangkan influencer. Jika bekal ini tak ada, terlebih mayoritas tak memiliki bekal tersebut maka bukan tidak mungkin kita disesatkan secara massal oleh sabda influencer yang tak berdasar.
Kondisi ini imbas dari perdebatan yang pada dasarnya mewajibkan adanya landasan yang kukuh, namun hal ini diterobos oleh beberapa pihak yang dapat mempengaruhi banyak orang namun tak mempunyai landasan.
Semisal begini, dalam pandangan Sains bumi itu bundar. Namun ada infuencer yang memang menyasar kaum muda Muslim dengan “citra” taat melekat dalam dirinya meng-endorsement pemahaman “bumi datar” lengkap dengan kutipan ayat dan sabda nabi. Influencer ini akan cenderung dipercayai pengikutnya. Kendati berseberangan dengan Sains.
Hal ini juga berlaku dalam isu-isu lainnya. Makanya saya di sini menekankan pentingnya untuk menelaah. Kunci utama menelaah adalah “membaca,” maka membacalah...!
0 komentar:
Posting Komentar