GRENDENG THINKER VIEWS

Kontrak yang Ditulis dengan Tinta Besi


Ilustrasi: Pxfuel.com


Membaca karya Slamet Muljana yang bertajuk “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam  di Nusantara” memantik saya untuk mengevaluasi kembali cara pandang dalam melihat sejarah. Pasalnya buka yang telah terbit sejak dasawarsa akhir 1960-an ini memuat temuan bahwa sebagian dari Walisongo, penyebar agama Islam di Nusantara berasal dari negeri China. Akibat itu, buku ini sempat dibredel oleh rezim Orde Baru.


Buku ini melandaskan sajiannya dari dua buku utama, yakni Babad Tanah Jawa serta Kronik Kelenteng Sam Po Kong, Semarang. Babad Tanah Jawi sendiri para ahli menganggap bahwa sebagian isinya merupakan bentuk cerita fiksi. Artinya tak mencetak dari kejadian sejarah sesungguhnya.


Sementara Kronik Klenteng Sam Po Kong, menurut Agus Sunyoto, kolektor naskah-naskah kuno Nusantara, menyebut bahwa kronik tersebut sengaja dibuat oleh Belanda. Jika begitu, artinya naskah yang menjadi acuan oleh Slamet jelas rapuh. Dan tesisnya soal Walisongo China praktis mengikuti.


Sejarah memang dapat dilihat dari dua sisi, bahkan lebih. Tapi para sejarawan biasanya mengikuti pola. Membaca pesan-pesan yang tersembunyi dan menunggu untuk diungkap.


Orang boleh berkata “kebenaran itu relatif”, tapi fakta itu pasti bergandengan dengan kebenaran. Orang yang melihat sebuah fakta dari sisi Timur mungkin akan menafsirkan berbeda dari mereka yang melihatnya di sisi Barat. Tapi tetap faktanya satu, yang salah hanyalah “cara pandangnya” bukan faktanya.


Pakar Sejarah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman pernah menyampaikan soal pernyataan dari salah seorang kelompok PKI yang turut melakukan penculikan para jenderal dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada 1965.  Menjelang posisinya terdesak, orang tersebut beserta sejumlah pasukan lain kabur ke Jawa Tengah. Tapi di sana orang tersebut berhasil ditangkap dan terbentuk narasi tunggal yang dikonstruksikan rezim Orde Baru bahwa mereka kabur.


Setelah ditangkap, mereka dijebloskan ke dalam penjara tanpa melalui proses peradilan yang menaati rambu-rambu hukum. Menjelang kekuasaan Orde Baru runtuh, ia dibebaskan. Pasca dibebaskan Indonesia masuk pada era yang kita kenal sebagai era Reformasi. Era ini menghendaki suara-suara yang dulu dibungkam oleh Orde Baru untuk berbicara.


Salah satunya adalah orang tersebut. Saat ia diwawancarai sejarawan terkait alasan ia dan kawan-kawannya menculik para jenderal. Orang ini berujar bahwa dirinya sama sekali tidak tahu soal motif dari penculikan tersebut. Begitupun kala ia beserta kawan-kawannya menuju Jawa Tengah, itu bukan dalam rangka melarikan diri. Melainkan mencari pimpinnya, yakni Letkol Untung.


Lalu manakah yang fakta dalam kasus ini? Apakah narasi yang dikonstruksikan Orde Baru atau pernyataan yang diuraikan orang tadi? Di sini jelas, nalar kritis serta pengetahuan akan fakta yang berkaitan mutlak diperlukan untuk melihat hal itu.


Asvi Warman yang memiliki bekal keduanya jelas menyangsikan pernyataan orang itu. Menurut Asvi mana mungkin ada prajurit yang tak tahu tujuan dari penculikan tersebut. Di tambah lagi jika sudi untuk menarik konteks perginya sejumlah pasukan, termasuk orang itu dari Jakarta ke Jawa Tengah usai terdesak, jelas itu mengindikasikan kuat bahwa mereka bukan mencari Untung melainkan melarikan diri ke basisnya.


Beginilah cara melihat sejarah, kebenaran akan senantiasa bergandengan mesrah dengan fakta. Keduanya tak akan bisa dipisahkan, dua dari keduanya adalah satu kesatuan. Jika tidak demikian maka hanya menjadi sesuatu yang “dipersepsikan” atau dipercayai sebagai suatu kebenaran. Bukan kebenaran yang hakiki.


Tinta Besi


Bagi saya tak ada kebenaran relatif, cara pandang yang beragam iya. Namun apakah cara pandangnya benar, di situlah pertanyaannya. Berkaca dari kasus tadi, andai kata ada seseorang yang mendengar atau membaca pernyataan orang tadi soal mencari Untung ke Jawa Tengah, mungkin jika ia hanya membaca narasi itu saja, ia akan tergelincir pada cara pandang yang salah. Di mana jelas ia akan kehilangan penglihatan ihwal konteks pernyataan yang dikemukakan orang tadi. Dia tak akan tahu bahwa kepergian orang itu beserta kawan-kawannya ke Jawa Tengah, menjelang terdesaknya posisi mereka di Jakarta.


Hal-hal seperti inilah yang pada ujungnya membuat orang terjebak pada sikap untuk “menyimpulkan terlalu dini”. Simpulan yang dibuat secara dangkal ini kerap kali dianggap sebagai sebuah kebenaran dan fakta suci yang tak bisa diganggu-gugat lagi. Akhirnya ketika bertemu dengan fakta sesungguhnya, ia akan cenderung resisten. Ujung-ujungnya terjebak pada pernyataan “ya cara pandang kita berbeda”. Padahal bukan cara pandang berbeda, melainkan orang ini pada awalnya terlampau dini untuk menyimpulkan sebuah fakta yang kemudian diinternalisasi menjadi sebuah kebenaran di benak dia.


Andai kata sudi untuk menelaah ulang, dan memahami konteks atau mendengar pendapat-pendapat orang terdahulu, maka mungkin saja persepsinya pada sebuah hal akan berubah. Dan tentu saja akan lebih jernih.


Begitupun dalam agama, memang akan panjang jika kita membahas sebuah ajaran dari kata yang disebut “agama”. Tapi agama tak bisa ditafsirkan seenak jidat kita, terlebih lagi agama Islam. Ajaran Islam sudah ditulis dangan tinta besi yang disusun oleh Muhammad dan generasi setelahnya. Mereka, para ulama terdahulu telah dengan rapi mengodifikasi ajaran Islam. Bahkan para periwayat hadis harus berjalan ribuan kilometer untuk mengumpulkan perkataan Nabi Muhammad Saw yang kala itu masih berceceran. Lalu tiba-tiba ada orang yang hanya hafal Al Quran dan baru lahir di zaman ini muncul mengatakan, “oh ini gak wajib, oh yang ini kan budaya Arab boleh ditinggalkan, oh maksud Al Quran itu begini”. Bayangkan? Andai kata ucapan mereka benar, maka para ulama yang hidup usai zaman Nabi akan lebih dulu mempraktikan atau mengatakannya, bukan generasi saat ini. Jangan sangka para ulama terdahulu bodoh-bodoh sehingga tak terpikir untuk menelaah suatu ajaran. 


Di samping, para ulama memiliki pakem yang ketat untuk menggali hukum, bukan asal hafal Al Quran lantas dengan seenaknya menafsirkan hukum melawan arus para ulama terdahulu.


Ajaran rusak ketika dipaksa untuk mengikuti hawa nafsu. Ibarat kita punya timbangan untuk mengontrol berat badan kita, namun karena nafsu makan kita tinggi dan dilihat di timbangan, berat badan kita sudah melebihi standar, lantas timbangannya kita akali. Bukan seperti itu...


Ajaran Muhammad itu kokoh, bak sebuah susunan kalimat yang dicetak pada besi. Janji Allah tak akan membuat lekang Islam sampai hari kiamat kelak.

About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.