GRENDENG THINKER VIEWS

 Menunggangi Barisan Sakit Hati

Ilustrasi: Pixabay.com


Zaman kuliah kami pernah bersua dengan satu dari sekian “pengikut” Budiman Sudjatmiko. Pria yang dari tampilan fisiknya terlihat berusia antara 40-50 tahun itu, tiba-tiba menghampiri kami dan menanyakan ihwal kabar kedatangan aktivis 98 itu ke kampus.

Ruang tempat percetakan menjadi saksi ungkapan makian pria tersebut kepada Budiman. Kami hanya bisa mendengarkan luapan amarah dari dia. Poin pentingnya dia menekankan bahwa Budiman aktivis dengan Budiman sekarang, ketika dia menjadi birokrat juah berbeda.

Banyumas dan Cilacap memang menjadi basis pengikut Budiman. Apalagi ia terlahir pada salah satu kecamatan di Cilacap, membuatnya cukup erat dengan karakter masyarakat setempat.  

Pengaruh Budiman terhadap masyarakat lokal terbukti lewat kemenangannya sebagai legislator dalam dua kali masa pemilu (2009-2019). Kendati pada pemilu lalu, suami Kesi Yovana itu gugur untuk mengamankan kursi di Senayan.

Perolehan suara Budiman hanya mampu di angka 48.806. Angka ini terpaut cukup jauh dari perolehan suara dirinya di masa pemilu 2014 yang mencapai 68.861 suara; dan 2009 meraup 96.830 suara.

Membaca dari situ, memang terjadi tren penurunan suara ketua pertama PRD itu, dari periode ke periode. Penurunan itu seakan mengonfirmasi gejala ketidakpercayaan masyarakat terhadap Budiman. Sejalan dengan apa yang dikatakan pria tadi.

Pria itu dalam benaknya melihat Budiman dahulu sebagai lambang penentang penindasan rezim Orde Baru. Namun ketika rezim itu terjungkal dan kini golongan Budiman yang memegang kekuasaan, cara memerintah mereka tak ubahnya dengan rezim yang dahulu ditumbangkan.

Orang-orang ini kecewa karena kata sejahtera amat jauh dari pandangan mata. Kami juga tidak bisa memastikan apakah ketika pria itu berada dalam kursi “kuasa,” mereka dapat amanah.


Kekecewaan semisal pada dasarnya tidak hanya dialami sang pria. Pola seragam juga banyak dialami orang lain dengan tokoh yang berbeda. Sebab membaca sejumlah peristiwa, kami dapati orang-orang semisal ini amat banyak jumlahnya.

Kami ingat betul ketika Prabowo Subianto gagal meraih kuasa atas pemerintahan Indonesia. Rivalnya yang kini menjadi karib, Presiden Joko Widodo atau Jokowi, berhasil kembali menduduki kursi orang nomor satu di negeri ini.

Atas dasar bimbingan yang buta, mereka melancarkan protes menolak hasil pemilihan presiden yang memenangkan Jokowi. Mereka menganggap pujaannya yang harus menduduki kursi yang diisi Jokowi.

Sampai saat itu keterbelahan di tengah masyarakat masih cukup tinggi. Sampai akhirnya, Jokowi meminang mantan Danjen Kopassus itu untuk bergabung ke dalam kabinetnya.

Kami melihat sebagian pendukung Prabowo kecewa, sebagian lagi memilih untuk berhusnuzan bahwa langkah itu merupakan bentuk “kebesaran hati” Prabowo. Sampai saat itu, lambang oposisi sirna dari wajah mantan suami Siti Hediati Hariyadi tersebut.

Lambat laun lambang oposisi diisi oleh Anies Baswedan. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu bahkan terus menuai pengukuhan sebagai antitesis dari Jokowi. Predikat ini lantaran pendukung Prabowo yang dahulu kecewa karena dia bergabung ke kabinet Jokowi, kini menjadikan Anies pujaannya.

Anies telah diusung Partai NasDem untuk menjadi calon presiden (capres) dalam Pilpres 2024 mendatang. Perolehan suara Anies tentu bergantung pada “Jokowi,” yang mana semakin tidak populer kebijakan Jokowi sehingga membuat rakyat kecewa, maka berpotensi besar semakin tinggi perolehan suara Anies.

Sementara lambang penerus Jokowi diisi wajah Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Jika negara ini sebuah kerajaan, Ganjar mungkin layaknya putra sulung mantan Wali Kota Surakarta itu. Di mana warisan Jokowi dalam pemerintahan digadang-gadang bakal dilanjutkan Ganjar.

Tapi sama seperti Anies, perolehan suara Ganjar bergantung kepada Jokowi. Jika Jokowi menuntaskan masa baktinya tanpa meninggalkan kekecewaan, maka Ganjar berpeluang besar untuk menggantikan Jokowi. Namun jika sebaliknya, skenario sebelumnya mungkin bisa terlaksana, di mana rakyat yang kecewa terhadap Jokowi akan berlabu ke Anies.

Lantas apakah Anies menjamin mereka tidak kecewa? Wah kami pun tidak bisa menjawabnya. Tapi mari kita berkunjung ke tahun-tahun permulaan dekade 20-an. Zaman itu Jokowi berhasil membius sebagian besar warga Jakarta dengan kesederhanaannya. Pelet “kesederhanaan” mengantarkan Jokowi menjadi orang nomor wahid di Ibu Kota.

Dari sana, karier politiknya melejit hingga membius sebagian besar rakyat Indonesia. Jokowi seakan lambang harapan baru bagi Indonesia dengan jubah kesederhanaannya.

Jokowi tentu sosok antitesis dari presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Publik mungkin sudah jemu dengan citra SBY yang berjarak dengan rakyat. Mereka mendambakan pemimpin yang “sewarna” dengan sebagian besar rakyat Indonesia, yakni sederhana. Jokowi memberikan menu ini ke hadapan publik, dan langsung diterima dengan tangan terbuka oleh mereka.

Kesederhanaan Jokowi kala itu bahkan dipuji Majalah Globe Asia dengan menjadikannya tokoh pada edisi Januari 2014. Saat itu Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Globe mendeskripsikan Jokowi sebagai pemimpin yang mendefinisikan ulang arti kepemimpinan. Majalah itu menyebut gaya sederhana dan membumi Jokowi sebagai kunci kepemimpinannya.

Gaya membumi Jokowi dengan cara “blusukan” juga menuai pujian dari  majalah Fortune. Dalam edisi Maret 2014, majalah itu menyebut Jokowi sebagai 50 pemimpin terbaik di dunia. Bukan main-amin, Fortune menempatkan Jokowi pada peringkat ke-37 dalam urutan tersebut.

"Virus blusukan membawa perubahan gaya kepemimpinan di Indonesia," tulis Fortune Indonesia kala itu.

Puncaknya ketika majalah Time memampang wajah suami Iriana itu dalam sampul majalah edisi 27 Oktober 2014. Time menganggap Jokowi sebagai “harapan baru” bagi Indonesia. Hal itu terlihat dari tulisan “A New Hope” yang bersanding dengan wajah Jokowi di sampul majalah itu.

Kalau berkaca lebih jauh lagi, hadirnya SBY dalam panggung nasional juga tak terlepas dari dambaan publik terhadap sosok yang diidam-idamkan. Mantan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam) pada Kabinet Gotong Royong itu, praktis antitesis dari sosok Megawati Soekarnoputri yang kental dengan feminin.

SBY secara tampilan jelas penuh dengan kesan gagah. Hal itulah yang membuat Mega tersungkur saat memperebutkan kursi orang nomor satu di Indonesia melawan SBY.

Sementara pada partai, pola kekecewaan ini juga seakan berulang. Misalnya saja terhadap PKS yang kini terlihat sebagai partai paling kontra terhadap rezim Jokowi.

Dahulu PKS juga sempat mengenyam kekuasaan ketika era kepemimpinan SBY. Pada gilirannya, partai ini terbilang gagal untuk mengemban amanah yang diberikan rakyat kepada mereka.

Kala itu, Presiden partai dengan wajah Islam tersebut,  Luthfi Hasan Ishaq tersandung kasus korupsi kuota impor daging sapi pada 2013. Dalam perkara tersebut, Luthfi divonis 16 tahun penjara lantaran terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

Ini menjadi tamparan keras bagi wajah PKS saat itu. Namun kala itu, sebagian simpatisan PKS menganggap penahanan terhadap Luthfi sebagai wujud konspirasi.

Dari berbagai rekaman sejarah di atas, kami membaca ada pola pengulangan kekecewaan rakyat. Rakyat mengharapkan suatu pimpinan yang dapat mengangkat tingkat kesejahteraan mereka, namun kerap kali berujung pada rasa kecewa.

Rakyat yang kecewa kerap “ditunggangi” mereka yang mengaku sebagai sang “pembela.” Manakala mereka berakhir di tampuk kekuasaan, sama seperti tokoh-tokoh sebelumnya, mereka memilih untuk mengkhianati amanah.

Entah sampai kapan siklus ini berulang. Sehingga rakyat harus sabar dikecewakan bertubi-tubi. Mungkin sudah saatnya berpaling dari siklus ini, dan mencari alternatif baru yang dapat menjamin kesejahteraan bangsa.

About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.