Gagasan

  Sekongkol Wahabi dengan Leluhur Kerajaan Arab

Ilustrasi: Pixabay.com

 

Frasa “Wahabi” belakangan santer terdengar. Kata yang merujuk pada salah satu paham dalam keagamaan ini melekat dengan wajah Kerajaan Arab Saudi. Lantas bagaimana sebetulnya relasi antara Saudi dengan Wahabi?

 

Wahabi atau Wahabisme merujuk pada suatu aliran dalam Islam yang dibangun Muhammad bin Abdul Wahab (1703-87). Abdul Wahab dibesarkan di Uyaynah, sebuah daerah oasis di selatan Najd.

 

Di sana Abdul Wahab sempat mengenyam pendidikan bersama kakeknya untuk mempelajari mazhab Hambali, salah satu dari empat mazhab dalam Islam Suni.

 

Ketika menginjak remaja, Abdul Wahab meninggalkan kampung halamannya guna menimba ilmu ke guru lain. Ia merantau ke Madinah, sampai dengan ke Iraq dan Iran.

 

Pengelanaan Abdul Wahab ke sejumlah negeri membentuk idenya soal ketauhidan atau keesaan Allah Swt. Zaman itu praktik-praktik yang menurut Abdul Wahab sebagai bentuk penyekutuan terhadap Tuhan, marak dilakukan.

 

Semisal yang dilakukan sejumlah kaum Syiah dengan menziarahi kuburan imam mereka demi meminta berkat. Hal yang sama juga ditemui pada sejumlah suku di Jazirah Arab. Mereka mendatangi kuburan, pohon, batu ataupun gua demi meminta rahmat.

 

Praktik seperti ini begitu mengganggu Abdul Wahab. Jelang akhir dekade 1730-an, Abdul Wahab pulang ke kota Huraymila di Najd dan mulai menulis dan berkhotbah melawan praktik populer Syiah dan kepercayaan lokal.

 

Penekanan dakwah Abdul Wahab adalah mengenai tauhid, di mana Allah Swt tidak memberi kuasanya di dunia lewat perantara. Sehingga tak seorang pun layak dipuja selain Tuhan Sang Maha Esa.

 

Dari sana para pengikut Abdul Wahab menjuluki dirinya sebagai “Al Muwahidun” atau bermakan “sang pengikut tauhid.” Akan tetapi penentang mereka menyebut mereka sebagai "Wahabi” atau "pengikut Muhammad bin Abdul Wahab," yang memiliki konotasi peyoratif.

 

Ketika dakwah Abdul Wahab mulai berkembang, dia mencari pemimpin lokal dan berusaha meyakinkan mereka bahwa ada masalah dalam praktik ajaran Islam di tengah umat.

 

Dia menyebut dirinya sebagai "pembaru" dan mencari tokoh politik yang mungkin dapat menyebarkan gagasannya kepada khalayak yang lebih luas.

 

Namun di Huraymila, Abdul Wahab miskin dukungan politik. Ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke Uyaynah, tempat dia dibesarkan.

 

Di sana Abdul Wahab memenangkan hati sejumlah pemimpin lokal. Uyaynah, bagaimanapun, dekat dengan Al Hufuf, yakni salah satu dari pusat-pusat Syiah di Arab timur.

 

Pemimpin di sana jelas terkejut dengan nada anti-Syiah dari isi ceramah Abdul Wahab. Alhasil dia tidak menuai popularitas di tempat itu.

 

Dia kemudian meninggalkan Uyaynah menuju Ad Diriyah, tak jauh dari kota yang kini dikenal sebagai Riyadh. Sebelumnya Abdul Wahab telah melakukan kontak dengan Muhammad bin Saud [Muhammad bin Saud Al Muqrin], pemimpin di Ad Diriyah saat itu.

 

Dia juga sempat melakukan kontak dengan dua saudara laki-laki Muhammad bin Saud yang pernah menemaninya ketika dia menghancurkan makam suci di sekitar Uyaynah.

 

Ketika Abdul Wahab tiba di Ad Diriyah, pihak Al Saud telah siap mendukungnya. Tahun 1744, keduanya bersumpah secara Islam di mana mereka berjanji untuk bekerja sama mendirikan negara yang diperintah menurut prinsip-prinsip Islam.

 

Keduanya membentuk aliansi yang diresmikan melalui pernikahan putri Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Abdul Aziz, putra dan penerus dari Muhammad bin Saud.

 

Sampai saat itu, Al Saud telah diterima sebagai pemimpin suku yang otoritasnya didasarkan pada aturan yang sudah berlangsung lama namun belum baku.

 

Muhammad bin Saud mulai memimpin pasukan ke kota-kota Najd dan desa-desa untuk membasmi berbagai praktik yang dianggap sebagai bentuk kemusyrikan.

 

 

Sampai pada 1765, pasukan Muhammad bin Saud telah mendirikan Wahabisme, dan dengan itu Al Saud memegang otoritas politik atas sebagian besar Najd.

 

Sepeninggal Muhammad bin Saud pada 1765, putranya yang bernama Abdul Aziz, melanjutkan gerakan ini. Pada 1802, mereka menyerang dan menjarah Karbala yang kini masuk dalam wilayah Irak. Karbala menjadi salah satu pusat keagamaan Syiah.

 

 

Tak berhenti sampai di sana, mereka melanjutkan untuk  menguasai kota-kota Suni di Hijaz.  Di kota-kota tersebut, mereka menghancurkan lambang kemusyrikan berupa kuburan dan sejenisnya yang menjadi tambatan bagi orang meminta berkah.

 

Dalam menghancurkan benda-benda yang menjadi fokus ritual tersebut, para Wahabi berusaha meniru penghancuran terhadap kaum pagan oleh Nabi Muhammad Saw ketika kembali memasuki Mekkah pada tahun 630 M.

 

Laku ini memicu kekhawatiran dunia Islam di sekitarnya. Utamanya ketika mereka menyerang Hijaz. Bagaimana pun tempat itu merupakan simbol penting bagi Kekhalifahan Utsmaniyah dan entitas itu menolak menyerahkan otoritas Hijaz terhadap penguasa lokal.

 

Namun begitu Utsmaniyah dalam kondisi mandul karena pasukan mereka yang dalam keadaan lemah. Karenanya, Utsmaniyahi mendelegasikan tugas untuk merebut kembali Hijaz kepada Muhammad Ali, seorang komandan semi-independen garnisun mereka di Mesir.

 

Muhammad Ali, pada gilirannya, menyerahkan pekerjaan itu kepada putranya Tursun, yang memimpin pasukan ke Hijaz pada tahun 1816. Muhammad Ali nanti bergabung dengan putranya untuk memimpin pasukan secara langsung.

 

Abdul Wahab sendiri telah wafat sejak 1792. Sementara Abdul Aziz (Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud], putra Muhmmad bin Saud wafat tak lama sebelum Mekah direbut pasukan Muhammad Ali dan Tursun.

 

Trah kepemimpinannya diteruskan oleh sang anak, Al Saud [Saud bin Abdul Aziz]. Al Saud juga akhirnya wafat pada 1814, sehingga membuat tampuk kekuasaan dipegang anaknya yang bernama Abdullah [Abdullah bin Saud].

 

Abdullah akhirnya turut menghadang pasukan Mesir yang dipimpin Tursun bersama Muhammad Ali. Pasukan Tursun pun segera merebut Mekah dan Madinah.

 

Sementara itu, Abdullah memilih untuk mundur ke benteng keluarga di Najd. Muhammad Ali memutuskan untuk mengejarnya ke sana. Ia mengirim pasukan tambahan di bawah komando putranya yang lain, bernama Ibrahim.

 

Di sana Wahabi dan Abdullah berhasil bertahan selama dua tahun melawan pasukan dan persenjataan Mesir yang unggul. Namun pada akhirnya, Wahabi terbukti bukan tandingan pasukan Mesir, dan Ad Diriyah bersama Abdullah di dalamnya jatuh ke tangan Utsmaniyah pada 1818.

 

 

Para ahli kerap membagi tiga periode sejarah modern Arab. Yang pertama dimulai dengan aliansi antara Muhammad bin Saud dengan Muhammad bin Abdul Wahab dan diakhiri dengan penangkapan Abdullah oleh pasukan Utsmaniyahi.

 

 

Kedua periode meluas dari titik ini hingga munculnya Abdul Aziz bin Saud, pendiri negara modern Arab Saudi. Dan yang ketiga terdiri dari pendirian dan sejarah Kerajaan Saudi saat ini.

 

Referensi

 

Federal Research Division. Saudi Arabia: A Country Study. Amerika Serikat (AS): Library of Congress, 1992.

 

James Wynbrandt. A Brief History of Saudi Arabia. Infobase Publishing, 2010.

About Yopi Makdori

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.