Ilustrasi: Pxfuel.com
Oleh Yopi Makdori
Perang Dingin berlangsung sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua sampai runtuhnya kekuatan komunis terbesar di muka bumi, Uni Soviet. Selama ini diketahui secara umum bahwa Perang Dingin merupakan perang dua ideologi yang diemban oleh dua negara besar, Amerika Serikat mewakili demokratis-kapitalis dan Uni Soviet mewakili komunisme.
Perang Dingin (PD) digambarkan oleh sejarawan John Lewis Gaddis sebagai “perdamaian panjang” karena tidak adanya perang semacam itu dibanding era sebelumnya (Gaddis, 1989). Maksud Gaddis dengan kalimat ‘perdamaian panjang’ tersebut ialah Perang Dingin telah meniadakan perang besar antar negara-negara. Gaddis menyebutkan perdamaian panjang bukan berarti sama sekali tidak ada perang, perang masih tetap ada namun tidak membenturkan negara-negara besar secara langsung.
Penyebab pecahnya Perang Dingin dilihat dari tingkatan analisis sistem global akan terfokus pada distribusi bipolar kekuatan militer. Penjelasan ini merupakan khas dari neorealis yang menekankan bahwa bipolaritas pasca-perang berarti bahwa satu-satunya ancaman keamanan besar bagi masing-masing negara adidaya adalah negara adidaya lainnya, sehingga menciptakan dilema keamanan (security dilemma).
Seorang filsuf Prancis, Alexis de Tocqueville (1805-1859), telah memprediksi bahwa dua negara besar akan berbenturan karena kekuatan yang terus tumbuh dan kebudayaan yang sangat berbeda:
Saat ini ada dua bangsa besar di dunia yang tampaknya condong pada tujuan yang sama, meskipun mereka berangkat dari titik yang berbeda: saya mengacu pada Rusa dan Amerika. Keduanya tumbuh tanpa diketahui; dan ketika perhatian manusia tertuju pada tempat lain, mereka tiba-tiba sudah punya tempat paling menonjol di antara bangsa-bangsa... Semua bangsa lain tampak sudah mencapai batas-batas alaminya, dan hanya sibuk menjaga kekuatan mereka; tetapi dua negara ini sedang dalam proses tumbuh; semua yang lain sudah berhenti, atau terus maju dengan sangat sulit...Anglo-Amerika mengandalkan kepentingan personal untuk mencapai tujuan, dan memberikan ruang yang bebas bagi tindakan dan akal sehat warga negaranya; Rusia memusatkan semua kekuasaan rakyatnya di satu tangan; instrumen utama bagi Amerika adalah kebebasan; bagi rusia ialah pelayanan. Titik tolak mereka berbeda, dan jalan yang ditempuh tidak sama; namun masing-masing dari mereka tampaknya ditandai oleh kehendak Langit yang menentukan nasib separuh dunia (Tocqueville, 1835).
Perang Antara Amerika-Soviet?
Lalu benarkan demikian, bahwa Perang Dingin merupakan perang antara Amerika Serikat (AS) melawan Uni Soviet?. Blum (2013), mengemukakan bahwa Perang Dingin merupakan perjuangan Amerika Serikat melawan Dunia Ketiga. Rakyat dari seluruh Dunia Ketiga berjuang demi perubahan ekonomi dan politik melawan rezim-rezim penindas yang didukung oleh AS atau membangun pemerintahan-pemerintahan progresif mereka sendiri.
Aksi-aksi penentuan nasib sendiri ini kerap kali tidak seiring sejalan dengan kebutuhan para elit yang berkuasa di AS sehingga AS bergerak untuk menghancurkan pemerintahan-pemerintahan dan gerakan-gerakan tersebut, meskipun Uni Soviet—yang katanya musuh utama AS dalam Perang Dingin—hampir tidak memainkan peran sama sekali dalam skenario-skenario ini. Para pejabat Washington tentunya tidak dapat mengatakan bahwa mereka melakukan intervensi untuk mengadang perubahan ekonomi atau politik sehingga mereka menyebutnya dengan “melawan komunisme”, melawan sebuah konspirasi komunisme, melawan untuk kebebasan dan demokrasi.
Pola yang digunakan AS dalam memerangi rakyat-rakyat Dunia Ketiga adalah dengan menggunakan tentara Dunia Ketiga untuk menghabisi rakyatnya sendiri. Seperti halnya yang terjadi di El Salvador, Jose Salgado, seorang tentara pemerintah pada saat perang saudara 1980-1992 yang terjadi di negara itu.
Salgado secara antusias taktik bumi hangus yang diberikan oleh para bos militernya, bahkan pembantaian terhadap anak-anak, orang tua, orang sakit—seluruh desa. Semua cara tersebut dilakukan demi mengalahkan komunisme. Salgado mengatakan bahwa dia ingat pernah diberi tahu tentang hal tersebut. Namun, saat ini dia dihantui oleh keragu-raguan tentang apa yang dia saksikan, apa yang dia lakukan, dan bahkan apa yang dia perjuangkan.
Sebuah perang yang didukung oleh AS yang dimaknai sebagai pertempuran melawan komunisme pada saat itu, kini dilihat oleh para mantan tentara pemerintah dan para mantan griliyawan tidak kurang dari pertempuran atas kemiskinan dan hak-hak dasar manusia. Salgado mengatakan :
“Kami, para tentara dikelabui, mereka mengatakan kepada kami bahwa ancamannya adalah komunisme. Tapi, kalau saya tengok kembali dan menyadari bahwa bukan komunisme yang kita perangi, melainkan rakyat sebuah negeri yang miskin dan kelaparan”.
Mimpi Kesejahteraan
Salgado mengatakan bahwa ia pernah berpikir bahwa para griliyawan memimpikan komunisme, tetapi sekarang ketika orang-orang tersebut (para griliyawan) menjadi koleganya, ia menyadari bahwa apa yang mereka inginkan sama dengan apa yang dia inginkan: kemakmuran, sebuah kesempatan untuk lebih dekat dengan dunia, dan bebas dari penindasan. Namun perjuangan itu ternyata sia-sia, El Salvador ternyata menjadi salah satu negara termiskin di wilayah belahan Barat—lebih dari 40% rakyat El Salvador hidup di bawah US$ 2 per hari, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Tak ubahnya dengan Salgado, para mantan griliyawan yang dahulu diperangi oleh Salgado juga merasakan hal yang sama. Seorang mantan griliyawan bernama Benito Argueta mengungkapkan bahwa meskipun kelompok koalisi tentara griliyawan adalah orang-orang Marxis, namun ideologi tidak ada hubungannya dengan keputusannya mengangkat senjata. Ideologi juga tidak memotivasi kawan-kawannya di Tentara Revolusi Rakyat. Dia teringat pernah berjuang “untuk sepetak tanah, demi sebuah kesempatan agar kelak anak-anaknya dapat bersekolah hingga universitas” (Washington Post, 29 Januari 2007).
Pemerintah El Salvador tidak akan pernah dapat mengibarkan perang yang begitu menghancurkan dan selama itu tanpa adanya bantuan dan pelatihan militer dari AS. Diperkirakan nilai bantuan tersebut sebesar US$ 60 juta. Akibat dari bantuan tersebut 75 ribu rakyat El Salvador meninggal; dan negara itu masih didominasi rakyat miskin dengan kelas makmur masih mengendalikan negara tersebut. Namun, lupakan saja hal tersebut, yang terpenting “komunisme” sudah dikalahkan dan El Salvador menjadi bagian dari “Dunia Bebas” dan kawan setia imperium, yang ikut mengirim tentara ke Iraq.
Pola yang sama juga diaplikasikan di Indonesia, tentara dulu diduga membantai rakyatnya sendiri yang lemah dan miskin dengan alasan bahwa mereka adalah seorang komunis. Terkadang tuduhan tersebut tak berdasar. Para petani yang tak tahu apa-apa tentang komunisme tetap tak terhindar dari pembantaian. Perang terhadap komunisme di Indonesia yang dijalankan oleh AS cukup unik, mereka (TNI) memanfaatkan rakyatnya sendiri untuk membantai tetangga-tetangganya yang terduga atau dituduh komunis.
Dokumen Rahasia AS
Pada 2001, AS merilis sebuah dokumen negara yang diberi nama “Foreign Relations of the United States, 1964-1968”. Dokumen tersebut berisikan dokumen rahasia negara di periode tersebut. Di dalam dokumen tersebut dijelaskan bagaimana AS secara resmi mendorong pemerintah Indonesia untuk memberangus Partai Komunis Indonesia (PKI), menyediakan bantuan rahasia dan mendorong TNI untuk menyelesaikan tugas tersebut (Scott dalam NYR Daily). Namun, sayangnya dokumen tersebut tidak mengungkapkan kapan pembantaian tersebut direncanakan, dan kapan AS mengetahui hal tersebut.
El Salvdor dan Indonesia merupakan dua contoh negara dari sekian banyak negara-negara Dunia Ketiga yang rakyat miskinnya diperangi oleh AS dengan meminjam kekuatan tentara nasionalnya maupun tangan-tangan tetangganya seperti yang terjadi di Indonesia. Gaddis mengemukakan kalau era Perang Dingin merupakan era perdamaian yang panjang, namun Gaddis sepertinya lupa kalau sepanjang Perang Dingin banyak rakyat dari negara-negara Dunia Ketiga yang miskin dibantai atas dasar ideologi yang sama sekali tak mereka pahami.
Seperti yang dikatakan oleh Argueta, mereka berjuang “untuk sepetak tanah, demi sebuah kesempatan agar kelak anak-anaknya dapat bersekolah hingga universitas”, mungkin pada saat itu sebagian besar dari mereka yang dibantai hanya demi hal tersebut, bukan sebuah ideologi. Karena mereka tidak pernah peduli ideologi apa yang diterapkan, selama bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka hal itu tidak jadi masalah. Namun ketika realitas mengatakan sebaliknya, mau tidak mau mereka mesti angkat senjata. Sekali lagi bukan karena sebuah ideologi, tapi karena mereka lapar.
Kepustakaan
Alexis de Tocqueville, Democracy in America, vol. 1, ch. 18, http://xroads.virginia.edu/~HYPER/DETOC/1_ch18.htm. Diakses pada 3/10/2016.
John Lewis Gaddis, The Long Peace: Inquiries into the History of the Cold War, new ed. (New York: Oxford University Press, 1989).
Margaret Scott, The Indonesia Massacre: What Did the US Know?, The New York Review, http://www.nybooks.com/daily/2015/11/02/indonesia-massacre-what-did-us-know. Diakses pada 03/10/2016
Washington Post, 29 Januari 2007.
William Blum, America's Deadliest Export Democracy: The Truth About US Foreign Policy and Everything Else, (London: Zed Book Ltd, 2013).