Oleh Muhammad Iskandar Syah
North
Atlantic Treaty Organization (NATO) merupakan aliansi pertahanan kolektif
yang berdasarkan perjanjian North Atlantic Treaty yang ditandatangani pada 4 April 1949. NATO dikenal juga sebagai
Aliansi Atlantik Utara, yang mana pada saat itu dibentuknya NATO sangat
bersifat politis, untuk membendung pengaruh komunisme di wilayah Eropa Barat.
Sejak
berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan dirobohkannya tembok Berlin dan
runtuhnya Uni Soviet yang berimplikasi pada bubarnya Pakta Warsawa yang
merupakan rival NATO, maka sejak saat itu pula NATO digugat eksistensinya.
Pakta Pertahanan Atlantik Utara itu menurut Blum (2013), telah mengambil
langkah-langkah yang ambisius selama bertahun-tahun, seperti mengebom
Yugoslavia pada 1999; berpatroli di Balkan seperti gubernur jenderal;
menyediakan keamanan untuk Olimpiade di Yunani pada 2004; mengambil komando formal
dalam Perang Afganistan; melatih pasukan-pasukan keamanan Iraq; menggabungkan
dirinya sendiri ke dalam perang melawan teror; mengibarkan perang yang kejam
selama tujuh bulan melawan Libya pada 2011; mencoba melakukan hal yang sama di
Suriah pada 2012 hingga saat ini dengan jastifikasi menggempur ISIS.
Lalu
pertanyaannya, dari mana NATO mendapatkan semua kewenangan itu? Warga negara mana
yang pernah memberikan suara bagi mereka untuk melakukan semua hal tersebut? Dan yang terpenting, mengapa mereka harus ada?
Dalam pendudukannya di Afganistan, tepatnya
pada 11 Maret 2012, 16 orang terbunuh di distrik Kandahar Panjwai, selatan
Afganistan. Banyak dari mereka merupakan anak-anak, wanita, dan orang tua.
Mereka semua dibantai secara brutal pada malam hari oleh seorang tentara NATO
dari AS berpangkat Sersan, yaitu Sersan Robert Bales.
Menurut laporan resmi,
Bales meninggalkan kempnya dan memasuki dua perkampungan warga terdekat
kemudian membantai warga di sana.
Sebelum
peradilan terhadap Bales diadakan, militer dan media mendeskripsikan Bales
sebagai seorang yang labil, menderita depresi dan sakit psikologis lainnya.
Narasi itu terus digembar-gemborkan, dan pada 2013 Bales dihukum seumur hidup
di penjara atas keputusan pengadilan militer di Seattle.
Temuan Fakta
Lalu apakah narasi yang
digembar-gemborkan oleh media dan militer itu benar? Menurut sebuah tim
investigasi yang dikirim oleh pemerintah yang berada di Kabul ke Panjwai di
hari pertama setelah pembantaian tersebut, sedikitnya 15 sampai dengan 20
tentara AS berada di perkampungan tersebut pada malam itu (19/03/2016, Telsurtv.net). Hal ini menandakan bahwa pembantaian tersebut tidak dilakukan
oleh Bales seorang diri, ditambah dua perkampungan tersebut letaknya berjauhan
dan memakan waktu yang lama jika dijangkau dengan berjalan kaki.
Kasus
di atas merupakan salah satu contoh kejahatan perang yang dilakukan oleh NATO. Kasus
lainnya terjadi pada bulan September 2009, pesawat jet NATO menyerang dua tanki
gas di utara provinsi Kunduz. Tanki gas tersebut telah diduduki oleh pasukan
Taliban.
Dalam aksi serangan tersebut, lebih dari 150 orang terbunuh, dan
semuanya merupakan warga sipil yang sedang mencari minyak di dekat tangki, dan
yang sangat disayangkan tak ada seorang pun yang bertanggung jawab atas tindakan
biadab tersebut.
Begitu
banyak yang menderita disebabkan aliansi warisan Perang Dingin tersebut, kita
diberi tahu bahwa di era Perang Dingin NATO dibentuk untuk melindungi Eropa
Barat dari invasi Uni Soviet. Kita sudah ketahui bersama bahwa Uni Soviet telah
terhapus dari muka bumi ini sejak lama.
Kita juga telah diberi tahu bahwa NATO
ada untuk menandingi Pakta Warsawa, Pakta Warsawa juga telah musnah berbarengan
dengan Uni Soviet musnah. Dan sekarang, kami menginginkan hal yang sama terjadi
pada NATO, hilang ditelan sejarah. Karena pakta pertahanan warisan Perang Dingin
yang sudah tak berguna sedari awal pembentukannya adalah NATO.
Kepustakaan
Emeran Feroz, NATO War Crime in
Afghanistan: a Never Ending Story, http://www.telesur.tv/english/opinion/NATO-War-Crimes-in-Afghanistan-A-Never-Ending-Story-20160319-0047.html. Diakses pada 4/10/2016.
William Blum, Americas’s Deadliest Export Democracy: The Truth
About US Foreign Policy and Everything Else, (London: Zed Book Ltd, 2013).