Grenthink Views

Ketika “Sang Penjaga” Justru Menodai


Ilustrasi: Pxfuel.com


Yopi Makdori

Peperangan adalah sebuah peristiwa yang sangat merugikan, baik bagi pihak yang terlibat di dalamnya, maupun bagi mereka yang tidak terlibat, seperti warga sipil. Sejarah dunia ini seakan tak luput dari goresan perang, perang-perang besar dari awal peradaban manusia hingga saat ini terus berkecamuk seakan melekat bersama eksistensi manusia itu sendiri.

Bagi umat manusia, peperangan adalah bencana kemanusiaan yang sangat besar. Meskipun telah banyak dibuat aturan terkait peperangan sebagai upaya untuk melindungi jiwa yang tak berdosa, namun di lapangan, aturan-aturan tersebut layaknya hanya sebuah barang bekas di gudang yang ditinggalkan dan tak berguna.

Perang-perang besar telah banyak terjadi dalam sejarah dunia ini. Tak sedikit di dalam perang-perang tersebut mengorbankan mereka yang tidak berdosa, memusnahkan peradaban yang dibangun dengan megah dan mematikan perkembangan ilmu pengetahuan. Perang banyak menimbulkan kerugian, baik materiel maupun nonmateriel.

Di dalam Perang Dunia II saja, Amerika Serikat (AS) menghabiskan anggaran 2.896,3 miliar dolar atau setara dengan 33% GDP negara itu (The Globalist). Biaya yang sangat besar untuk sebuah kesia-siaan, dan itu pun baru biaya yang dikeluarkan belum termasuk kerugian yang ditimbulkan, belum lagi akumulasi dari semua negara-negara yang terlibat dalam perang tersebut.

Selain kerugian material, ada juga kerugian nomateriel, seperti hilangnya situs-situs bersejarah, traumatis penduduk, hancurnya sendi-sendi ilmu pengetahuan dan lainnya. Namun demikian, kerugian-kerugian tersebut justru banyak yang ditanggung oleh mereka yang tidak berdosa—warga sipil—seperti wanita dan anak-anak. Sepanjang sejarah peperangan manusia, anak-anak dan wanita merupakan korban yang paling menderita. Oleh karena itu, Hukum Perang Internasional (International Humanitarian Law) melindungi kelompok rentan ini. 

Negara-negara di dunia yang tergabung kedalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menganggap perlu untuk membentuk United Nations Peacekeeping (UNP) sebagai upaya nyata untuk melindungi warga sipil di zona konflik. Operasi perdamaian PBB dijalankan oleh Pasukan Penjaga Perdamaian PBB yang merupakan ta]entara dari berbagai negara yang menjadi anggota PBB. 

United Nations Peacekeeping (UNP) pertama kali beroperasi pada tahun 1948, saat itu berperan sebagai pemelihara perdamaian saat genjatan senjata di Perang Arab-Israel 1948. Sejak saat itu, UNP telah terlibat dalam 63 misi perdamaian di seluruh dunia, 17 di antaranya masih berlanjut hingga saat ini. Atas jasa-jasanya bagi warga sipil di zona perang, pada tahun 1988, UNP mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian.

Noda UNP

Hingga saat ini, UNP masih dianggap sebagai alat yang efektif bagi PBB untuk menangani konflik di seluruh dunia. Namun demikian, dengan perolehan-perolehan tersebut tidak menjadikan “Sang Penjaga” bebas dari noda. Pada 16 hingga 30 Januari 2016, Human Rights Watch (HRW) melakuakn riset di Bambari, Republik Afrika Tengah (RAT)—yang tengah dilanda konflik antar penganut Kristen dan Islam—terkait eksploitasi seksual yang dilakukan oleh Pasukan Perdamian PBB. Dalam riset tersebut HRW berhasil mendokumentasikan delapan kasus eksploitasi seksual oleh Pasukan Perdamaian PBB dalam operasi perdamaian MINUSCA terhadap warga RAT. 

HRW mewawancarai korban eksploitasi seksual tersebut dan merka mengatakan jika yang melakukan tindakan keji tersebut merupakan kontingan pasukan perdamaian dari Republik Demokratik Kongo (RDK) dan Republik Kongo (RK). 

Salah satu korban masih berusia 14 tahun, ia menceritakan bahwa saat ia berjalan di dekat Bandara Bambari salah satu dari pasukan perdamaian tersebut menarik lengannya dan yang lainnya melepaskan baju yang dikenkannya. Kemudian mereka memerkosa si gadis malang itu di rerumputan (Human Rights Watch).

Terjadi di Bosnia

Kasus di RAT mirip dengan yang terjadi di Bosnia pada 1990-an, hal ini ditegaskan oleh Kathryn Bolkovac, penulis buku The Whistleblower: Sex Trafficking, Military Contractors, and One Woman’s Fight for Justic yang kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul The Whistleblower pad 2010. Dalam wawancara yang dilakukan oleh Deutsche Welle (DW) (29/2/2016), Bolkovac berpendapat bahwa persamaan kasus di RAT dengan yang terjadi di Bosnia adalah penyalahgunaan kelemahan suatu populasi manusia yang rentan oleh organisasi yang seharusnya melindungi mereka. 

PBB seakan menutup manta dengan pelanggaran yang serius tersebut. Saat kasus di Bosnia, PBB mengetahui bahwa ada anggotanya yang terlibat dengan kasus eksploitasi seksual di sana, namun Jacques Klein, selaku kepala misi PBB di Bosnia kala itu tidak mengindahkan laporan yang diberikan oleh Bolkovac terkait kasus tersebut. 

DynCorp tempat Bolkovac bekerja, dikontrak oleh PBB untuk mengamankan situasi di Bosnia yang sedang dilanda konflik, kala itu memecat  Bolkovac karena ia berusaha untuk menginvestigasi kasus eksploitasi seksual di sana.

Menutup Kanker

Namun, Bolkovac berhasil menuntut DynCorp di pengadilan Inggris dan memenangkan gugatannya. Masih menurut Bolkovac, PBB selama 15 hingga 20 tahun ini tidak serius dalam menangani kasus eksplotasi seksual yang dilakukan oleh Pasukan Penjaga Perdamaian-nya. Bolkovac menganggap petinggi-petinggi di PBB selama ini cenderung menutupi “kanker di dalam tubuhnya”. Hal itu dilakukan untuk melindungi reputasi mereka. 

Bukanya seharusnya mereka melakukan hal yang tepat supaya kasus tersebut tidak terulang lagi, namun yang dilakukan justru sebaliknya, menutup-nutupi untuk melindungi kepentingan pribadi mereka.

Perlu diketahui bahwa pemerkosaan, transaksi seksual dengan uang, barang maupun jasa, dan berhubungan badan dengan remaja di bawa umur 18 tahun merupakan bentuk dari eksploitasi seksual dan hal tersebut dilarang oleh PBB. Meskipun di tahun 2005, PBB membentuk Conduct and Discipline Unit (CDU) untuk memberikan data terkait kesalahan pada setiap misi perdamaiannya. Namun tanpa keseriusan dari petinggi-petinggi di PBB, mustahil untuk memutus mata rantai kasus yang menjadi kanker di tubuh organisasi pemersatu bangsa-bangsa itu. 

Idealnya seorang yang diamanahi untuk melindungi seharusnya menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu melindungi mereka yang rentan karena dikoyak oleh konflik. Namun di lapangan, kelemahan tersebut justru dimanfaatkan oleh sekelompok “Sang Penjaga” untuk memuaskan nafsu mereka. Perlu desakan yang kuat dari komunitas internasional supaya para petinggi di PBB serius menyelesaikan dan ke depannya bisa menghentikan kasus ini supaya tidak terulang kembali.

About Yopi Makdori

Diberdayakan oleh Blogger.