Ilustrasi: Pxfuel.com
Yopi Makdori
Jika kita telaah peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, maka kita bisa belajar banyak dari berbagai kejadian-kejadian tersebut. Kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu kita sering menyebutnya dengan sebutan sejarah. Sejarah sesungguhnya banyak mengajarkan kita terkait berbagai hal, maka tak dipungkiri bahwa slogan Soekarno “Jasmerah—jangan lupakan sejarah!” memang sangatlah tepat untuk selalu mengingatkan kita bahwa sejarah itu merupakan salah satu guru terbaik. Dari sejarah kita bisa banyak belajar berbagai hal, karena “tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari”.
Di dalam coretan ini saya ingin mengajak pembaca untuk belajar sesuatu dari sejarah keruntuhan Imperium Ottoman, sebuah imperium kebanggaan umat Islam di seluruh dunia yang melingkupi wilayah yang kita kenal sekarang sebagai wilayah Timur Tengah.
Ottoman adalah sebuah imperium besar yang di dalamnya menaungi berbagai etnis, suku, dan agama. Pusat pemerintahannya berada di Istambul—sekarang menjadi salah satu kota yang berada di teritorial negara Turki. Di awal abad ke-20, imperium ini mulai banyak mendapatkan tantangan dari berbagai macam ancaman. Namun demikian, ada beberapa aktor yang ikut berperan cukup besar dalam meruntuhkan imperium tersebut, dan yang tak diragukan lagi perannya dalam peristiwa tersebut adalah Inggris.
Kisah dimulai dari peristiwa salah satu perang terbesar sepanjang sejarah, yaitu Perang Dunia I (PD I). PD I meletus pada musim panas 1914 di Eropa, sebuah peperangan yang memakan jutaan korban jiwa. Di dalam peperangan tersebut terbentuk dua aliansi kuat, yaitu Poros dan Sekutu.
Di blok Poros terdiri dari Jerman dan Austria-Hungaria, sedangkan di blok Sekutu terdiri dari Inggris, Prancis dan Rusia—Amerika Serikat belum bergabung. Pada awalnya, Ottoman memilih sebagai entitas yang netral dalam peperangan tersebut, karena posisi Ottoman kala itu begitu lemah karena digerogoti berbagai ancaman, baik internal maupun eksternal. Posisi Sultan Abdul Hamid II—merupakan sultan terakhir Ottoman—kala itu hanyalah simbol belaka.
Ia telah dilengserkan sejak tahun 1908 dan digantikan oleh pemerintahan militer yang dipimpin oleh “Tiga Pasha”. Mereka dari kelompok sekuler yang telah “ter-westernisasi”, yaitu kelompok Turki Muda (Young Turks). Secara finansial, imperium ini sangat terjepit oleh besarnya utang kepada negara-negara Eropa.
Karena besarnya utang-utang tersebut, akhirnya imperium ini tak bisa membayar; dan karena hal ini, akhirnya Ottoman memilih untuk terlibat ke dalam PD II dengan bergabung bersama blok Sekutu.
Namun sayang, keinginan Ottoman untuk bisa sebarisan dengan blok Sekutu tersebut ditolak mentah-mentah. Karena tak ada pilihan lain, pada bulan Oktober 1914, imperium ini merapat ke blok Poros bersama Jerman dan Austria-Hungaria.
Merespons bergabungnya Ottoman dengan blok Poros, Inggris sebagai salah satu anggota blok Sekutu langsung menyusun sebuah rencana untuk meruntuhkan imperium tersebut dengan tujuan memperbesar wilayah jajahannya sampai ke Timur Tengah. Inggris telah mengontrol Mesir dan India masing-masing pada 1888 dan 1857, dan wilayah kekuasaan Ottoman membentang di antara kedua koloni terpenting Inggris tersebut. Maka dari itu, dalam PD I ini merupakan kesempatan emas Inggris untuk memporak-porandakan imperium Ottoman.
Salah satu strategi yang digunakan oleh Inggris untuk meruntuhkan Ottoman adalah dengan membuat bangsa Arab melawan kekuasaan Ottoman. Salah satunya pion yang digunakan oleh Inggris untuk merealisasikan hasratnya tersebut ialah seorang gubernur di Mekkah bernama Sharif Hussein bin Ali.
Ia melakukan sebuah perjanjian dengan pemerintah Inggris melakukan perlawanan kepada Ottoman. Alasan yang melatarbelakangi Sharif Hussein untuk melakukan hal tersebut belum jelas, namun kemungkinan besar adalah bahwa ia merasa kecewa dan tidak setuju dengan pemerintahan nasionalis Turki, tepatnya Tiga Pasha, atau memang ambisi pribadinya untuk mendirikan sebuah kerajaan di tanah Arab.
Perlawanan Arab
Apa pun ambisi yang ada di benak Sharif Hussein, yang pasti adalah bahwa ia akhirnya melakukan perlawanan terhadap Ottoman dengan beraliansi bersama Inggris—Sharif Hussein juga mendapatkan bantuan persenjataan dan pendanaan dari Inggris. Inggris juga menjanjikan kepada Sharif Hussein bahwa setelah perang usai, ia akan mendapatkan kerajaan Arabnya yang mencakup seluruh semenanjung Arab, termasuk Suriah dan Iraq.
Sharif Hussein dan pemerintah Inggris mendiskusikan perlawanan terhadap Ottoman dalam sebuah surat-menyurat (korespondensi) yang dikenal dengan “McMahon-Hussein Correspondence”—Sharif Hussein melakukan korespondensi dengan salah satu staf Kementrian Luar Negeri Inggris bernama Sir Henry McMahon yang berada di Mesir.
Singkat cerita pada Juni 1916, Sharif Hussein memimpin kelompoknya untuk melawan Ottoman, dalam beberapa bulan saja pasukan Arab tersebut berhasil mengambil alih kota-kota penting di Hijaz, termasuk Mekkah dan Jeddah. Keberhasilan mereka dalam memenangkan pertempuran melawan Ottoman tak terlepas dari sumbangsi Inggris, mulai dari tentara, persenjataan, pendanaan, bendera, bahkan sampai kepada penasehat—seperti sang legenda “Lawrence of Arabia”.
Pasukan Arab menggunakan bendera yang didesain oleh Inggris yang dikenal sebagai “Bendera Perlawanan Arab”. Bendera ini yang kemudian hari digunakan oleh beberapa negara Arab modern, seperti Jordan, Palestina, Sudan, Kuwait, dan Suriah.
Sampai tahun 1917-18, Arab dengan bantuan Inggris telah berhasil menaklukkan beberapa kota-kota besar, seperti Jerusalem, Bagdad, Amman, dan Aqaba. Perlu ditekankan bahwa “perlawanan Arab ini tidaklah mendapatkan dukungan dari mayoritas bangsa Arab”, mereka hanya gerakan dari minoritas penduduk Arab—kurang lebih dua ribuan orang. Sementara mayoritas dari penduduk Arab tidak ikut campur dalam konflik tersebut—mereka tidak mendukung para pemberontak maupun pemerintahan Ottoman.
Perjanjian Gelap
Sebelum Arab memenangkan pemberontakan melawan Ottoman—bahkan sebelum pemberontakan itu dimulai, Inggris dan Prancis telah terlebih dahulu melakukan perjanjian untuk membagi wilayah Timur Tengah untuk mereka sendiri—dikenal dengan Sykes-Picot Agreement yang dilakukan antara Sir Mark Sykes, seorang diplomat Inggris dan François Georges-Picot, diplomat Prancis pada musim dingin tahun 1915-16. Di dalam kesepakatan yang dibuat tersebut, Inggris mendapatkan wilayah yang sekarang dikenal dengan Kuwait, Iraq, dan Jordan. Sedangkan Prancis, mendapatkan Lebanon dan Suriah. Status Palestina ditentukan kemudian hari, bersamaan dengan ambisi Zionis untuk mendapatkan wilayah tersebut. Meskipun demikian, di bebrapa wilayah, Inggris dan Prancis mengizinkan beberapa pemimpin Arab untuk mengontrol wilayahnya (pada dasarnya Inggris dan Prancislah yang mengontrol secara penuh wilayah tersebut).
Makar yang dilakukan oleh Sharif Hussein bersama Inggris terhadap Ottoman ternyata dikhianati oleh Inggris bersama Prancis dalam Perjanjian Sykes-Picot tersebut. Perjanjian ini diketahui oleh publik pada 1917 ketika pemerintahan Bolshevik Rusia mengungkapkannya. Perjanjian Sykes-Picot jelas bertentangan dengan janji Inggris yang diberikan kepada Sharif Hussein. Kejadian tersebut membuat hubungan di antara mereka begitu tegang.
Inggris juga telah berkhianat terhadap bangsa Arab dengan adanya Deklarasi Balfour. Deklarasi Balfour berisi surat pernyataan yang dikirim oleh Sekretaris Luar Negeri Inggris Arthur Balfour kepada Baron Rothschild—seorang pimpinan komunitas Zionis— pada 2 November 1917, yang menyatakan bahwa pemerintah Inggris secara resmi mendukung tujuan gerakan Zionisme untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina.
Sampai tahun 1917, Inggris telah melakukan tiga perjanjian berbeda dengan tiga pihak yang berbeda, yaitu dengan Arab, Prancis, dan Zionis. Pasca PD I telah usai dan kekuasaan Ottoman telah diruntuhkan, situasi di Timur Tengah justru semakin rumit. Wilayah Timur Tengah dibagi-bagi oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB—embrio PBB) menjadi beberapa negara modern seperti yang kita kenal sekarang ini.
Organisasi ini membagi wilayah Timur Tengah tanpa memandang letak geografis, etnis maupun agama. Tindakan LBB dan negara-negara Eropa yang dengan “sewenang-wenang” membagi Timur Tengah pada dasarnya bertujuan untuk memecah belah Arab supaya saling berkonflik satu sama lain.
Demikianlah sejarah mengajarkan kita tentang bagaimana sebuah kelompok negara imperialis meruntuhkan sebuah imperium dan memecah belah bekas wilayah kekuasaannya, beserta menempatkan pemimpin-pemimpin yang haus akan kekuasaan di sana. Implikasi dari hal ini akhirnya berujung kepada “kebutaan” mereka tentang siapa musuh yang sesungguhnya, yang selama seratus tahun telah mengeksploitasi mereka.
Pada dasarnya, hingga saat ini karakter imperialis Barat tidak pernah berubah, hanya perubahan tampilan dengan polesan yang lebih “manis”, namun tetap dengan tujuan yang sama, tujuan untuk menguasai total dan memeras rakyat di sebuah wilayah.
SUMBER
Fromkin, David. A Peace to End All Peace: The Fall of the Ottoman Empire and the Creation of the Modern Middle East. New York: H. Holt, 2001.
Hourani, Albert Habib. A History Of The Arab Peoples. New York: Mjf Books, 1997. Print.
Ochsenwald, William, and Sydney Fisher. The Middle East: A History. 6th. New York: McGraw-Hill, 2003. Print.
*Ditulis ulang dari Lost Islamic History: Reclaiming Muslim Civilisation from the Past—Firas Alkhateeb.