Ilustrasi:Wikimedia.org
Yopi Makdori
“And the battle's just begunThere's many lost, but tell me who has won?The trenches dug within our heartsAnd mothers, children, brothers, sisters torn apart.”—Sunday Bloody Sunday-U2
Sudah lebih dari empat bulan ini, penduduk Yaman dirundung wabah kolera. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menganggap wabah kolera yang terjadi di Yaman merupakan wabah kolera terparah di dunia[1]. Sekitar 7.000 kasus baru dilaporkan setiap harinya[2]—sejak akhir April tercatat ada 436.625 orang yang terjangkit wabah ini, dan 1.915 orang telah meninggal[3].
Wabah kolera hanya salah satu bencana kemanusiaan yang terjadi di Yaman, sejumlah 18,8 juta penduduk Yaman membutuhkan bantuan kemanusiaan (dua-pertiga dari total jumlah penduduk Yaman). Berbagai infrastruktur yang menunjang terlaksananya produksi bahan pangan di negara itu juga telah hancur, sehingga menyebabkan 4,5 juta orang—termasuk anak-anak dan wanita—terdampak malnutrisi. Keadaan tersebut semakin diperparah dengan tidak berfungsinya fasilitas kesehatan di sana—hanya 48% fasilitas kesehatan yang berfungsi. Hal tersebut mengakibatkan 14,8 juta penduduk Yaman tidak bisa mengakses perawatan dasar kesehatan[4]. Selain itu, sebagian besar fasilitas yang menunjang kebutuhan dasar, seperti sanitasi dan air juga telah hancur. Hal ini berimplikasi pada penyebaran penyakit kolera yang masif di sana.
Kolera merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang menyebar melalui air yang telah terkontaminasi tinja. Selama 150 tahun, kolera telah membunuh sepuluh juta orang di seluruh dunia[5]. Penyakit ini akan tumbuh subur di wilayah yang tingkat kebersihan dan sanitasinya rendah, seperti halnya yang terjadi di Yaman.
Kerusakan berbagai infrastruktur yang terjadi di Yaman disebabkan karena negara ini sedang dirundung bencana perang. Dimulai sejak bulan September 2014, tatkala para pemberontak Houthi berhasil mengambil kendali ibu kota negara tersebut—Sana’a, dengan bantuan para loyalis presiden sebelumnya—Ali Abdullah Saleh. Banyak pihak, termasuk PBB yang menganggap bahwa wabah kolera di Yaman merupakan akibat dari perang yang sudah terjadi dua tahun belakangan ini[6].
Sejak Maret 2015—di waktu yang sama saat presiden Yaman (post-Arab Spring), Abed Mansour Hadi mencari suaka politik ke Arab Saudi—koalisi Liga Arab yang dipimpin oleh Arab Saudi melakukan serangan udara, laut, dan darat ke wilayah Yaman yang diduduki oleh kelompok Houthi. Dukungan logistik dan persenjataan terhadap koalisi tersebut disuplai oleh Amerika[7] Serikat dan Inggris[8]. Selain itu, Saudi juga mengklaim bahwa kelompok Houthi didukung oleh Iran—sebagai negara rival Saudi di Timur Tengah. Namun demikian, klaim yang diutarakan Saudi tersebut tidak mempunyai bukti yang kuat, selain itu Houthi dan Iran juga menyangkal klaim itu[9].
Sedikitnya sudah ada 10 ribu orang telah meninggal, dan 40 ribu orang luka-luka dalam konflik tersebut[10]. Kedua pihak diketahui telah melanggar hukum internasional dengan kerap kali menyerang warga sipil dan merusak fasilitas-fasilitas vital bagi warga sipil di sana[11]. Namun begitu, Arab Saudi dan koalisinya memiliki “sumber daya” yang lebih besar yang tentu saya menciptakan efek pengrusakan lebih besar pula, baik dalam sekala maupun korban jiwanya. Koalisi Liga Arab—terutama Arab Saudi—deketahui bahwa serangan udara yang mereka lancarkan seringkali tanpa mempertimbangkan warga sipil, artinya pasukan udara Saudi tidak peduli apakah serangannya tersebut dapat merenggut nyawa warga sipil atau tidak[12].
Ditambah lagi, pasukan Saudi juga menyasar objek vital bagi warga sipil, seperti sekolah, ladang pertanian, pasar, infrastruktur air bersih, bahkan pelabuhan, seperti pelabuhan Hodeida. Blockade laut yang dilakukan Saudi dan koalisinya juga meyebabkan kelangkaan bahan-bahan pokok, seperti bahan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan yang sangat dibutuhkan bagi warga sipil di Yaman[13].
Wabah kolera yang melanda Yaman bukanlah sebuah konsekuensi dari perang, namun merupakan hasil dari tindakan Arab Saudi yang secara sengaja menargetkan warga sipil dan infrastruktur di wilayah para pemberontak. Namun bukan hanya Saudi dan koalisinya yang harus bertanggung jawab atas hal tersebut, AS dan Inggris juga memiliki andil yang besar dalam menciptakan neraka bagi warga sipil Yaman. Meskipun pada bulan Desember 2016, di bawah pemerintahan Obama, AS melarang penjualan senjata ke Saudi karena serangan Saudi yang menargetkan warga sipil Yaman, namun di bawah kepemimpinan presiden baru—Donald Trump, AS kembali menjual senjata kepada Saudi dengan nilai kesepakatan mencapai U$D 110 miliar[14].
Pada bulan Juli lalu, pengadilan tinggi Inggris menolak klaim para aktivis kemanusiaan yang mengklaim bahwa pemerintah Inggris telah melakukan kesalahan dengan menjual peralatan militer kepada Saudi yang digunakan untuk menyerang warga sipil Yaman[15]. Artinya, kedua negara tersebut hingga saat ini ikut berkontribusi dalam pembantaian warga sipil di Yaman.
Tanpa adanya tekanan yang kuat terhadap Saudi—selaku pimpinan koalisi—oleh komunitas internasional dan negara-negara Islam di bawah bendera OKI (Organisasi Konferensi Islam), maka rakyat Yaman akan lebih lama lagi mengalami penderitaan. Indonesia juga seharusnya ikut berperan aktif dalam menghentikan krisis kemanusiaan yang melanda Yaman, karena posisi Indonesia yang kerap kali mengklaim dirinya “netral” bisa lebih leluasa dalam memfasilitasi perdamaian antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut.
Terakhir, kritikan saya terhadap Saudi bukan berarti saya mengkritik Islam ataupun kelompok tertentu—karena Saudi kerap kali dipersepsikan sebagai perwakilan dunia muslim, kritikan saya lebih ditujukan kepada rezim Saudi dan negara-negara yang tergabung kedalam koalisi Liga Arab (ditambah AS dan Inggris). Kritikan ini sama seperti kritikan saya sebelumnya kepada Israel, tatkala saya mengkritik Israel bukan berarti saya anti-Semit, begitupun saat saya mengkritik Arab bukan berarti anti-Islam maupun kelompok tertentu. Coba kita berfikir lebih jernih dan melihat fakta, fakta terkadang memang menyakitkan, namun hal ini bisa mengantarkan kita kepada kebenaran.
REFERENSI
[1] http://www.who.int/mediacentre/news/statements/2017/Cholera-Yemen/en/. Diakses pada 4/8/2017
[2] http://www.bbc.co.uk/news/world-middle-east-40558828. Diakses pada 4/8/2017
[3] http://www.emro.who.int/images/stories/Yemen_daily_epi_update_20170731.pdf?ua=1. Diunduh pada 4/8/2017
[4] http://www.unocha.org/yemen/crisis-overview. Diakses pada 4/8/2017
[5] http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs107/en/. Diakses pada 4/8/2017
[6] http://www.who.int/mediacentre/news/statements/2017/Cholera-Yemen/en/. Diakses pada 4/8/2017
[7] https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2017/05/02/alarm-grows-in-washington-as-saudi-coalition-attack-on-yemen-port-appears-imminent/?utm_term=.f8e297c7453c. Diakses pada 4/8/2017
[8] https://www.theguardian.com/uk-news/2016/dec/18/uk-cluster-bombs-used-in-yemen-by-saudi-arabia-finds-research. Diakses pada 4/8/2017
[9] http://foreignpolicy.com/2017/02/27/the-houthis-are-not-hezbollah/. Diakses pada 4/8/2017
[10] http://www.bbc.co.uk/news/world-middle-east-38646066. Diakses pada 4/8/2017
[11] https://www.amnesty.org/en/countries/middle-east-and-north-africa/yemen/report-yemen/. Diakses pada 4/8/2017
[12] http://www.latimes.com/world/middleeast/la-fg-yemen-us-arms-2017-story.html. Diakses pada 4/8/2017
[13] https://www.theguardian.com/world/2015/jun/05/saudi-led-naval-blockade-worsens-yemen-humanitarian-disaster. Diakses pada 4/8/2017
[14] http://www.bbc.co.uk/news/world-us-canada-38310870. Diakses pada 4/8/2017
[15] http://www.bbc.co.uk/news/uk-40553741. Diakses pada 4/8/2017