Yopi Makdori
“Kawan dengarkanlah kengerian terlalu lamaDi tanah yang harusnya kita rasakan banggaBila kau tak bicara kita telah menanam dustaBukankah penderita adalah kita juga?Perjalanan ini tak mungkin disegani, karena mengalami tangis yang tak hentiSeperti cumbui tajamnya ujung belatiKapankah kau akhiri pembantaian ini?”—Hey Negeri-Pas Band
Salah
satu korban dalam perang yang telah terjadi selama dua tahun belakangan di
Yaman adalah anak-anak. Mereka adalah entitas yang akan selalu kalah dalam
setiap peperangan, dan selalu memikul bagian terberat dalam peristiwa itu.
Demikian juga dengan yang terjadi di Yaman, 80% anak-anak di sana membutuhkan
bantuan dan sebesar 2 juta di antara mereka menderita malnutrisi akut [1].
Beban
mereka semakin bertambah berat tatkala wabah kolera merebak di sana. Tercatat 12,5 juta
anak-anak muda di negara itu menderita wabah ini, dan menurut World Health
Organization, UN Children’s Fund, dan World Food Programme, wabah kolera yang
terjadi di sana merupakan krisis kemanusiaan terparah di dunia [2]. Anak-anak di
sana bukan hanya meninggal karena tembakan rudal maupun
tembakan peluru, namun mereka juga meninggal karena efek tidak langsung dari
perang, seperti kelaparan dan wabah penyakit. Konflik yang terjadi di sana
antara koalisi Arab Saudi dan Houthi selama dua tahun ini juga
membuat jutaan penduduk Yaman menghadapi kelaparan yang parah [3].
Wabah
kolera yang menjangkiti penduduk Yaman merupakan efek dari serangan udara yang
dilakukan oleh koalisi Arab Saudi. Serangan udara tersebut menyasar infrastruktur vital bagi warga
sipil, seperti fasilitas kesehatan dan air bersih. Rusaknya fasilitas air
bersih menyebabkan 14,5 juta orang—termasuk 8 juta anak-anak—tidak dapat
mengakses air bersih dan sanitasi. Tentu saja hal ini merupakan faktor
pendorong utama merebaknya wabah kolera yang terjadi di sana.
Caroline
Anning, seorang penasehat advokasi kemanusiaan Save the Children mengatakan, krisis kemanusiaan yang terjadi di Yaman jauh lebih besar dari apa yang
kita lihat di Suriah, dan bahkan jauh lebih besar dari apa yang terjadi di
belahan dunia lain. Ia juga mengatakan bahwa setiap malamnya jutaan anak-anak
di sana tertidur dengan keadaan kelaparan, dan 2 juta anak-anak putus sekolah
[4]. Bantuan bagi warga sipil di Yaman juga sulit masuk lantaran terhambat akses menuju pelabuhan utama Yaman—Hodeidah, dan ditutupnya bandar
udara Sana’a.
Satu-satunya
harapan untuk menghentikan krisis kemanusiaan yang terjadi di sana adalah
perdamaian antara pihak-pihak yang berkonflik—dalam hal ini koalisi Arab dan Houthi. Namun sayang, komunitas internasional yang bisa
diharapkan, seperti negara-negara muslim dan negara-negara yang memiliki
“power” untuk menekan kedua belah pihak justru seakan-akan abai terhadap krisis
Yaman. Mereka cenderung tak acuh.
Butuh kesungguhan usaha dari mereka untuk
bisa segera menghentikan krisis kemanusiaan di sana. Tanpa adanya kemauan dari
elemen-elemen tersebut, anak-anak dalam hal ini akan selalu menjadi korban dalam
setiap peperangan. Mereka yang akan selalu memikul beban perang yang paling
berat. Mereka juga yang menjadi pihak yang selalu kalah dalam setiap
peperangan, meskipun di kubu yang pemenang perang sekalipun.
END
NOTE
1. https://www.theguardian.com/society/children.
Diakses pada 6/8/2017
2. https://www.theguardian.com/world/2017/jul/13/cholera-is-everywhere-yemen-epidemic-spiralling-out-of-control.
Diakses pada 6/8/2017
3. https://www.theguardian.com/global-development/2017/may/03/yemen-hunger-norwegian-refugee-council-chief-jan-egeland-shocked-to-the-bones.
Diakses pada 6/8/2017
4. https://www.theguardian.com/global-development/2017/jul/27/childrens-crisis-yemen-conflict-80-percent-kids-urgent-aid-acute-malnutrition.
Diakses pada 6/8/2017